Waktu yang Hilang
Khalima
Siang itu kelas kami kedatangan dosen baru yang cukup eksentrik, kelas antropologi yang biasanya diisi dengan gagasan barat mengenai dinamika manusia bergeser menuju ide-ide dari negeri gurun pasir di timur sana. Aku pribadi sebenarnya tidak keberatan, karena separuh diriku saat ini juga berasal dari sana,
untuk waktu yang lama.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Baghdad, dengan gemerlap cahaya ilmu pengetahuan di setiap sudut kota, dengan Baitul hikmah sebagai bintang utama, seperti oasis bagi para musafir yang ingin menghilangkan dahaga hausnya pengetahuan. Institusi intelektual ini adalah markas besar, pusat penelitian, dari berbagai ilmu pengetahuan. Di sini tidak ada batas antara timur dan barat, semua melebur di dalam transkrip kuno, catatan bersejarah, dan buku-buku tua yang dipelajari para cendikiawan.
Mereka bergelut dengan naskah kuno dari bahasa antah-berantah, ditafsirkan, dipelajari dan dikembangkan. Dan, belum ada sosok yang bisa menandingi kemampuan Aigerim putri Thabit sang ahli astronomi yang menguasai berbagai bahasa di dunia. Dia seperti pemeran utama di Departemen Alih Bahasa dan Astronomi, yang telah membuat salah seorang pemuda di pinggiran kota baghdad menjadi penggemar beratnya.
Omar membawa sekeping dinar berharga miliknya dan segera menuju pasar untuk membeli salinan buku dari penulis idolanaya setelah mendengar kabar dari temannya, Ershad, si pengrajin logam, kalau siswa dari Baitul hikma sudah mulai menggandakan buku tersebut. Pasar Safafeer yang ditujunya ramai riuh dengan denting logam yang ditempa dan aktivitas perdagangan, tidak hanya itu banyak penyair, seniman, bahkan para penjelajah yang menyebarkan ilmu, pengalaman, bahkan berita dari penjuru negeri di sudut sudut pasar.
Langkah Omar berhenti di depan toko buku tua dengan rak buku besar yang memenuhi depan toko, seperti pembatas yang hanya memberikan celah sempit sebagai pintu untuk masuk ke dalam.
“Assalamu’alaikum, Paman Ahmer!”
“Waalaikum salam, Hai Syibl, pembeli kesayanganku. Apa yang kau cari kali ini?”
Omar tersenyum lebar, Paman Ahmer adalah penjual buku langganan nya semenjak kecil, dia dipanggil demikian karena janggutnya yang kemerahan. Dan Syibl adalah penggilan istimewa darinya untuk Omar yang berarti singa kecil, karena ketika kecil dia sering sekali masuk kedalam rak dan membongkar isinya untuk mengambil buku yang dia cari, seperti anak singa yang baru belajar berburu, dia keluar dari dalam rak dengan baju penuh debu dan buku buruan di genggamannya.
“Paman, Apakah siswa Baitul Hikma sudah datang kemari untuk menggandakan buku terbaru Al-Adibati Aigerim?” tanya Omar.
Paman Ahmer tertawa hingga janggut merahnya bergoyang,
“Hahaha, Syibl, kau memang tidak pernah ketinggalan informasi mengenai penulis favoritmu, Tunggu sebentar, aku tau kau sudah tidak sabar. Aku akan mengambil salinannya di belakang”
Omar hanya menunduk malu, Paman Ahmer sudah tau kebiasaannya. Dari dalam toko terdengar keributan, Omar mengintip keluar dari celah rak buku. Terlihat beberapa orang bergerombol di depan kios Sammon. Terdengar beberapa orang yang berbicara tentang penyerangan dan pengepungan bangsa berkulit merah ke daerah di timur Baghdad, yang lain menyebutkan bahwa mereka bahkan lebih kejam dari tentara romawi, bahkan ada yang mengatakan mereka biasa mengarak kepala terpenggal tawanan mereka untuk mengancam warga. Ada satu orang yang berseru keras bahwa terompet perang kan berkumandang dan akan ada pertumpahan darah di Baghdad. Mendengar desas desus tersebut membuat tubuhnya bergidik ngeri, apakah berita berita yang mereka bicarakan benar adanya.
“Orang orang berandalan, jangan kau dengarkan mereka Syibl ku. Mereka hanya meneriakan apa yang mereka dengar” Celetuk Paman Ahmer dari belakang dengan sebundel kertas di tangannya.
Omar berbalik, ketika melihat tumpukan kertas itu mata Omar bersinar, dia bahkan sudah melupakan keributan yang sedetik lalu didengarnya.
“Wah, cepat sekali penggandaannya!” serunya girang.
“Mana ada, itu baru setengah aku gandakan. Buku Al-Adibati Aigerim yang baru memiliki 2 jilid. Dan aku tau, kau pasti tidak akan bisa tidur sebelum memiliki minimal jilid pertamanya”
“Kau memang paling mengenal aku Paman, aku akan membawa ini terlebih dahu. Jangan lupa kabari aku jika jilid kedua sudah kau cetak ya paman.”
“Tentu saja Syibl. Setengah dinar untuk cetakan pertama ”
Omar memberikan sekeping dinar dari sakunya, setelah menerima kembalian, Omar pamit pulang dan keluar dengan wajah berseri kegirangan. Saking senangnya dia membawa buku baru, dia tidak menyadari bahwa langkahnya menginjak jubah seseorang. Brukk, barang yang dibawa orang tersebut berhamburan, suara logam tembaga riuh menggema dan membuat semua kepala menoleh ke arah mereka. Omar segera membantu sosok berjubah tersebut yang ternyata adalah Sahza, Adik dari Ershad yang lebih muda darinya. Sahza yang menyadari bahwa pelaku yang membuatnya terjatuh adalah orang yang dia kenal langsung berkacak pinggang menunggu Omar mengutip barangnya yang berceceran.
“Ah, Ternyata kau Sahza, maafkan aku ya”
Sahza mendelik, “Awas saja kalau aku dimarahi kak Ershad karena telat mengirimkan barang” ancamnya.
“Galak nya anak kecil ini, memangnya kamu ingin mengirimkan barang ini kemana?” tanya Omar
Sahza melirik bundelan kertas di tangan Omar, dia tau bahwa Omar sangat mengidolakan Al-Adibati Aigerim, dan orang itulah yang memesan barang yang diantarnya sekarang. Sebuah ide licik muncul di kepala Sahza.
“Kau tau?, barang yang kau jatuhkan itu adalah pesanan milik Al-Adibati Aigerim. Dan aku disuruh kakak ku untuk mengirimkannya ke Baitul Hikmah. ” jawab Sahza berlagak tak peduli, “dan secara tidak langsung aku memiliki akses untuk bertemu langsung dengan Al-Adibati Aigerim untuk menjelaskan cara kerja barang ini” lanjutnya sombong.
Mata Omar melebar, tak habis pikir bagaimana bisa bocah tengil ini mendapat kesempatan untuk bertemu penulis idolanya! “Tunggu!, apa kau bilang tadi? Akses bertemu langsung?! Kenapa tidak kakakmu saja, atau pelayan mu yang mengirimkan barang ini? Kenapa harus bocah menyebalkan seperti mu yang melakukannya?” protes Omar tidak terima.
Sahza hanya melirik acuh, “Nyenyenye, jangan lupa kalau Al-Adibati Aigerim itu perempuan. Lagipula dia juga belum menikah, mana mau dia bertemu laki laki sembarangan. Kecuali,”
Sahza melempar barang antarannya dan segera ditangkap oleh Omar “kau membantuku membawakan barang ini dan aku akan memohon izin untuk kau masuk sebagai pelayanku” tawarnya.
Omar hanya bisa menggeram kesal, namun dia tidak bisa membantah. Bagaimana dia bisa menolak kesempatan untuk bertemu penulis idolanya secara langsung. “Bagaimana?, aku anggap diam mu adalah setuju.” ujar Sahza. Omar hanya mendesis, “baiklah, tapi tolong bawakan buku ku” jawab Omar menyodorkan sebundel kertas di tangannya, Sahza mengambil kertas itu dan menyimpannya ke dalam tasnya. Mereka segera menyewa keledai menuju Baitul hikmah yang ada di tengah kota.
Sampai di sana, mereka langsung disapa dengan gapura besar berukir ‘Baitul Hikmah’ dengan ornamen kaligrafi arab yang rumit. Bangunannya megah terbuat dari batu berwarna pasir keemasan, dihiasi pilar-pilar tinggi yang juga berukir kaligrafi arab, dengan kubah besar yang berkilau dibawah sinar matahari. Omar yang belum pernah berkunjung kemari tak henti hentinya mengagumi arsitektur di sana. Melihat hal itu Sahza menyikut Omar karena lagaknya yang terlihat kampungan. Omar mengaduh kesakitan. “Aih, kenapa kau menyikut ku?!”
“Agar kau bisa menutup mulutmu, aku takut lalat akan masuk kalau kau menganga selebar gapura di depan tadi.” sindirnya. Omar hanya melengos acuh.
Sebenarnya mereka berdua tidak begitu mengetahui bagian bagian dan denah disana, sesaat kemudian, beberapa penjaga di sana menghampiri mereka berdua yang terlihat kebingungan. Sahza menjelaskan bahwa mereka adalah pengrajin logam yang ingin mengantarkan pesanan milik Al-Adibati Aigerim. Penjaga itu langsung memandu mereka menuju ruangan Al-Adibati Aigerim.
Mereka masuk dan melewati kompleks taman yang berada di tengah tengah Baitul Hikmah, terdapat air kolam mancur dan beberapa majelis ilmu yang sedang di buka di sekitar kolam. Omar sedikit mengintip ruangan ruangan yang mereka lewati. Ruang ruang luas beratap tinggi dengan lampu-lampu minyak yang menggantung di langit-langit menguarkan kekhidmatan, dan ketenangan.
Mereka berhenti di depan Marsad yang tak jauh dari kompleks utama Baitul Hikmah. Lagi lagi Omar tidak dapat menyembunyikan kekagumannya, “tutup mulut mu, atau kolam disana akan terisi oleh air liur mu, hihihi” ledek Sahza. Omar menggerutu dalam hati, sepertinya adik temannya ini harus diajarkan sopan santun.
TREEEEEETTTT!!
Mendadak ribuan burung membanjiri langit seperti awan hitam,tiupan terompet merupakan tanda bahaya atau peringatan siaga bagi warga untuk segera berlindung di rumah masing masing. Orang orang di dalam Baitul Hikmah segera berlari berhamburan, entah kedalam atau keluar gedung. Terdengar kegaduhan dari luar gedung sesaat setelah terompet berbunyi. Warga berbondong bondong menghentikan aktivitas dan segera kembali ke rumah masing masing.
Penjaga yang mengantar mereka juga terlihat panik dan langsung menyuruh mereka untuk segera memasuki marsad yang lebih aman daripada meninggalkan Baitul Hikmah, spesan para penjaga sebelum pergi. Mereka berdua yang khawatir dan bingung apa yang terjadi hanya bisa mengiyakan dan segera masuk.
Omar yang pertama kali membuka pintu marsad, didalam sana tidak jauh berbeda dengan ruangan ruangan yang mereka berdua lewati tadi, rak buku yang menjulang hapir menempel langit langit dan dipenuhi ratusan buku. Yang membuat tempat itu berbeda dari yang lain adalah sebuah teleskop besar yang memenuhi area lingkaran besar tepat di tengah tengah ruangan.
“Assalamu’alaikum, kami pengrajin logam dari pasar Safafeer” ujar Omar.
Dukk, Terdengar suara beberapa barang terjatuh dari balik salah satu rak. “Wa’alaikumsalam ” jawab seseorang dari tempat yang sama. Seorang perempuan muda keluar dari balik rak sambik mengibas ibaskan gamisnya yang penuh debu, khimar hijau muda nya dilapisi debu tipis. Wajahnya penuh dengan kelelahan namun syarat akan pengetahuan. Wanita muda itu menatap mereka berdua tajam, “Maafkan ketidaksopanan ku, tapi sebelumnya aku yakin sudah memberitahu dengan jelas kalau aku meminta adik perempuan pengrajin logam yang datang kemari” Ujar wanita muda itu
Omar langsung membeku, dia yakin wanita muda didepannya itu adalah Al-Adibati Aigerim, Aigerim putri Thabit sang ahli astronomi, Aigerim penulis yang dia idolakan itu. Omar mematung, lidahnya kelu, dia bahkan tidak bisa menjelaskan hal sederhana yang dia lakukan. Omar benar benar tidak menyangka bahwa penulis yang digemarinya tak setua yang dibayangkannya, atau bahkan sangat muda dibanding subtansi tulisannya yang setara bertahun tahun penelitian. Untung saja Sahza langsung muncul dibalik punggung Omar,
“Oh, apakah kau Al-Adibati Aigerim? saya Sahza, Adik dari Ershad si pengrajin logam. Maafkan pelayanku ini. saya yang memintanya ikut untuk membantuku membawakan barang pesanan anda.” Jelas Sahza. Wanita itu tersenyum mengerti, “Panggil aku Aigerim saja, maafkan sambutanku yang kurang mengenakan. Mari ikut ke dalam”.
Omar dan Sahza membuntuti Aigerim masuk lebih dalam, mereka dipersilakan masuk kedalam ruang kecil berpartisi pendek sebagai ruang kerja pribadinya. “Beberapa saat yang lalu aku mendengar terompet siaga dibunyikan, aku khawatir ada sesuatu diluar sana” ucap Aigerim membuka pembicaraan. “Tenang saja nona Aigerim, tembok pertahanan kota ini sudah bertahan lebih dari 500 tahun, kalau terjadi sesuatu saya yakin tidak dapat mencelakai kita yang ada disini, insya allah” balas Sahza sambil merangkai benda logam yang dibawa Omar tadi.
Di atas meja kayu itu terletak sebuah piringan bundar dan berkilau di bawah cahaya lampu minyak. Ukiran rumit menghiasi permukaannya, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang seolah memetakan rahasia langit. Jarumnya berputar perlahan, memantulkan bayangan bintang yang menari di permukaannya. “Baiklah nona Aigerim, sekarang saya akan menunjukan keterampilan saya sesuai dengan pesanan nona yang cukup rumit al-Asthurlab sudah selesai.”
Ketika mereka semua masih mengagumi Astrolab hasil keterampilan Sahza di dalam marsad. Di luar sana gemuruh langkah pasukan Mongol mulai menyerbu benteng kota, mereka semua merupakan prajurit berkulit merah yang sudah masyhur akan kekejian yang mereka lakukan. Pintu pintu kota Baghdad tertutup rapat, Khalifah sudah menyerukan peperangan, tanah bergetar dengan ribuan derap prajurit pengaman benteng kota. Panah-panah api meluncur menghujani langit Baghdad. Desing logam mulai terdengar , ringkikan kuda mendekati wilayah perkampungan. Anak anak bersembunyi dibalik pelukan ibu mereka. Kota yang tadinya tenang dalam sekejap sudah menjadi medan pertempuran yang mencekam.
Di Baitul Hikmah, tidak jauh berbeda, dentum meriam membuat lentera lentera minyak berjatuhan, kedamaian seketika sirna tergantikan dengan ketegangan, para cendekiawan segera menyimpan arsip arsip berharga, buku buku kuno, dan hasil penelitian bertahun tahun mereka. Bergegas keluar dan segera menyelamatkan diri.
Namun terlambat, pasukan berkulit merah sudah terlebih dahulu menghadang mereka. Tidak ada seorangpun yang bisa lolos dari cengkeraman para tentara mongol. Dalam sekejap, tinta tinta hitam yang terukir di atas lembaran arsip kuno tersebut luntur dengan darah para cendekiawan yang mempertaruhkan nyawa mereka.
Di waktu yang sama sungai tigris menjadi hitam karena ribuan buku yang dibuang disana, tidak ada kepedulian sedikitpun. Ribuan ilmu telah lenyap mengalir hilang, hanyut bersama darah para pejuang.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Aku terbangun, nafasku memburu, Mimpi itu kembali lagi, padahal itu sudah bertahun tahun yang lalu. Tidak, bahkan berabad abad yang lalu. Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan bersiap. Ada kelas antropologi hari ini, siapa sangka dosen yang ku kira unik itu sama kejamnya dengan dosen dosen yang lain, bedanya pemikirannya lebih antik. Aku seperti diajar oleh manusia yang pernah hidup di masa lalu.
Atau jangan jangan, dia sama sepertiku.
Aku segera mengenyahkan pikiran liar ku. Ini adalah rahasia yang sudah ku simpan selama bertahun tahun, bisa saja aku dimasukan ke rumah sakit jiwa, lagi. Cukup sekali, dan biar saja aku simpan masalalu ini entah sampai kapan. Walaupun aku ingin kembali, tidak ada sisa bagi ku disana.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Kepulan debu melambung tinggi, tepat setelah suara dentuman menggema. Semua terjadi begitu cepat. Jeritan Sahza, suara runtuhan tembok, dan rak buku besar di belakang mereka.
Omar merintih, tubuhnya tidak dapat digerakkan, kakinya tertahan dengan sesuatu yang menimpa dirinya. Matanya mengerjap, mencari keberadaan Aigerim dan Sahza. Astrolab yang beberapa saat yang lalu sedang mereka amati telah koyak di antara reruntuhan. Suaranya tersangkut di ujung lidah, dia tidak bisa meminta tolong, matanya mulai berat, pandangannya kabur. Dia hanya bisa mengingat, khimar hijau muda yang membelai lembut wajahnya.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Omar mengerjapkan matanya, kesadarannya kembali perlahan. Napasnya berat, dia melihat sekeliling. Ruangan terang dengan cat putih, susunan ruang yang aneh. Dia baru menyadari banyak benda benda aneh menempel di tubuhnya. Seorang wanita masuk dengan baju didominasi biru. Wanita itu mengatakan sesuatu dengan bahasa yang hampir dia mengerti. Kalimat kalimat aneh yang terucap secara ajaib langsung dipahaminya, walaupun belum pernah dia dengar sebelumnya.
Omar masih mencerna apa yang terjadi, Dentum meriam, suara buku berjatuhan, dan wanita berhkimar hijau itu masih berputar di benaknya.
“Pak, apakah masih ada keluhan lain yang bisa saya bantu?” Tanya wanita itu. Omar hanya menggeleng. “Baiklah, saya jelaskan kembali sebelum pergi. Silahkan Bapak tekan tombol hijau di samping tempat tidur untuk memanggil perawat kemari jika bapak butuh bantuan. Terima kasih” Omar hanya mengangguk dan wanita itu pun keluar.
‘Memanggil perawat’ dari kalimat itu Omar menyimpulkan kemungkinan besar dia sedang berada di rumah sakit. Omar mengumpulkan energi untuk bangkit dari tempat tidur dan mencoba melihat sekitar. Dengan tertatih tatih, dan langkahnya terhenti saat dia melihat pemandangan dibalik kaca transparan. Matanya membelak, dadanya seakan berhenti saat itu juga. Sebuah lanskap kota dengan Bangunan tinggi dipenuhi kaca yang memantulkan matahari. Kendaraan beroda aneh yang melintas di atas jalan hitam. Baru beberapa saat yang lalu dai masih ada di kota yang amat dikenalnya, jalan jalan yang dihafalnya diluar kepala. sekarang semua terasa sangat asing, aneh dan ... janggal. Omar merasa tersesat di tengah keterasingannya.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Waktu terus berjalan, tidak ada yang bisa menghentikan jarum kehidupan yang terus berdetak maju. Omar mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya, ingatannya mulai terangkai bersatu di kehidupannya kali ini.
Perawatannya tidak begitu lama dan hal yang pertama kali dicarinya setelah sembuh adalah apa yang terjadi pada dirinya, dirinya di masa lalu. Dan bagaimana dia bisa ada di waktu ini, namun nihil. Semua informasi hanyalah Baitul hikmah yang porak poranda oleh bangsa tartar. Kekejaman, dan kebengisan mereka, tindakan bodoh yang mereka lakukan dengan ribuan ilmu di baitul hikmah. Dan dirinya yang dijelaskan dalam narasi diantara paragraf sebagai ‘korban bergelimpangan di tengah invasi bangsa mongol’. Omar menyerah, dan diat tak mampu lagi menantang takdir, kecuali menghadapinya dan menyelesaikan apa yang raga ini lakukan di kehidupan kali ini.
??? ?⋅ ?⋅? ???
Aku masuk kedalam kelas, banyak bangku kosong hari ini. Sepertinya mahasiswa lain malas untuk masuk karena cuaca mulai hangat dan sebentar lagi libur musim panas.
Kelas dimulai terlambat dari biasanya, Dosen yang masuk dan terlihat tidak heran dengan kondisi kelas yang lebih sepi hari ini.
“Karena cuaca mulai hangat, dan sepertinya teman teman kalian sudah bersemangat dengan liburan musim panasnya. Bagaimana kalau hari ini kita isi diskusi ringan mengenai ilmuan di masa keemasan islam. Topik kali ini adalah perpustakaan yang amat terkenal dengan kemegahannya. Baitul Hikmah ”
Dosen itu mulai melihat daftar hadir hari ini. “Nah, Hila. Bagaimana pendapatmu?” tunjuk dosen itu
Aku terjengat, mendengar nama Baitul hikmah saja sudah membuat dadaku perih. Aku harus bersembunyi dari diriku yang sebenarnya tapi aku tak sanggup lagi. Mau bagaimnapun aku tetaplah Aigerim putri Thabit. Astronom dan penerjemah ahli di baitul hikamah. Nama Hila tidak akan bisa membentengi identitas asliku.
“Menurut saya…,” jeda ku sejenak. Aku melihat sekitar, semua orang menatapku. Aku menghembuskan napas perlahan mengatur intonasi, ini kesempatan untuk mempertahankan eksistensi ku disini, Aigerim masih belum hilang.
“Menurut saya, masih terdapat kekosongan dalam penulisan sejarah yang menyoroti kontribusi ilmuwan muslimah di bidang astronomi. Hingga kini, belum banyak penelitian yang secara komprehensif membahas peran mereka dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh yang kerap luput dari perhatian adalah Aigerim binti Thabit, seorang ilmuwan yang diketahui menulis beberapa kitab astronomi yang kemudian banyak disitasi oleh para astronom sesudahnya. Sayangnya, keterbatasan sumber dan kehancuran akibat invasi bangsa Tartar menyebabkan banyak khazanah ilmu dari masa itu musnah. Akibatnya, sebagian besar cabang ilmu yang telah mencapai kematangan intelektual pada masa keemasan Islam mungkin hilang, tertunda perkembangannya, atau bahkan belum berhasil dihidupkan kembali hingga kini. Mungkin cukup dari saya,Terima kasih..”
Semua orang bertepuk tangan kecuali seseorang, Dosen itu berdiri mematung bergeming. Menatapku dengan pandangan misterius. Celaka, aku tidak tau apakah dia ahli dalam masalah ini atau tidak. Bisa saja aku ditegur karena sudah memberikan informasi tidak kredibel, karena semua informasi tentang ku di masa lalu memang sudah lenyap tak bersisa.
Tapi, untungnya dia tidak berkomentar apapun dan diskusi kembali berlanjut. Aku selamat kali ini, namun sepertinya aku akan dicurigai.
Setelah kelas selesai aku segera keluar dari kelas, suara bariton memanggilku dari belakang. “Hila, apakah kau senggang?” Aku menoleh, sepertinya kemalangan memang sedang mengunjungi, dosen itu mencurigaiku.
Aku mengangguk, “Untuk sekarang saya senggang, tapi sepertinya saya memiliki jadwal lain sore ini.” jawabku seadanya. Dosen itu mengangguk, “Aku hanya ingin mengobrol mengenai sumber tentang ilmuwan muslimah yang kau nukil tadi, apa kau berkenan?” tanya nya, aku mengangguk ragu.
Kami duduk berhadapan di bangku taman area kampus, beliau banyak membahas tentang sejarah dan astronomi serta pendanganku tentang itu. Sebenarnya aku sangat jarang berinteraksi langsung bersama lawan jenis, di masa lalu dan juga masa kini. Ini sesuatu yang baru bagi ku.
“Santai saja, aku hanya ingin mengobrol mengenai ketertarikan mu yang cukup besar pada penemuan di masa keemasan islam. Setelah aku telusuri kau pernah cuti cukup lama, apakah kau masih masa pemulihan setelah kejadian setahun yang lalu.” Ujar beliau..
Aku membenarkan posisi duduk ku, sejujurnya kurang nyaman membicarakan topik ini dengan orang diluar keluarga ku disini.”Mohon maaf pak, kalau menyangkut kejadian setahun lalu yang saya alami sepertinya saya kurang berkenan.” aku bersiap untuk pamit dan beranjak, “Bukan itu maksudku,” Selanya, Gerakanku terhenti
“Setahun yang lalu, aku juga sepertimu. Mungkin ini sedikit lancang,. Tapi, apakah kau ingat pelayan dari pengrajin logam pasar Safafeer?”
previous post
Menjelajahi Pesona Pantai Wisata Bulukumba: Surga