Seberapa jauh kamu bisa mengorbankan tubuhmu demi wanita yang kamu cintai? Coba cek apakah kamu berani melakukan hal yang sama seperti Eddie Cochran dalam lagunya yang berjudul “Twenty Flight Rock”.
Dibawakan dengan genre rock and roll yang populer pada tahun 1950-an, “Twenty Flight Rock” adalah sebuah lagu berdurasi 1 menit 46 detik, terbilang sangat singkat untuk standar lagu zaman sekarang. Dengan suara gitar elektrik, melodi lagu ini mudah dihafal oleh pendengar karena progresi kordnya hanya terdiri atas repetisi kunci A, D, and E7.
Bagian yang menjadi daya tarik utama lagu “Twenty Flight Rock” ini adalah isi liriknya yang lugas dan memiliki alur plot. Alih-alih mendengarkan musik biasa dengan tempo cepat yang bisa membuat tubuh berdendang, kita disuguhkan sebuah cerita mengenai perjuangan seorang pria demi kekasihnya.
Ooh well, I got a girl with a record machine, when it comes to rockin’, she’s a queen / Went to dance on a Saturday night, all alone where I could hold her tight / She lives on the twentieth floor uptown, the elevator’s broken down
Di bagian verse, kisah ini diawali dengan sang pria yang dengan bangga memberitahu para pendengar bahwa ia memiliki kekasih yang jago menari. Sebelum masuk ke chorus, timbul sebuah masalah yang unik: kekasihnya tinggal di lantai 20, tetapi lift di gedung tempat tinggal tersebut rusak.
So I walk one, two flight, three flight four / five, six, seven flight, eight floor more /
Up on the twelfth I’m starting to sag / Fifteen before I’m ready to drag /
Get to the top and I’m too tired to rock
Karena tidak sabar bertemu dengan kekasihnya, ia rela menghabiskan waktu dan tenaga untuk naik tangga menuju lantai 20! Tidak sampai di situ saja, di bagian verse kedua, kita juga diberitahu kembali bahwa walaupun perjuangannya ini melelahkan, pada akhirnya sang pria rela melakukan hal yang sama lagi karena ia tidak tahan ingin bertemu dengan kekasihnya.
Well she, she called me up on the telephone, said, “Come on over, baby, I’m all alone.” /
I said, “Baby, you’re mighty sweet, but I’m in bed with aching feet.” /
This went on for a couple of days, but I couldn’t stay away/
Lalu kita kembali mendengarkan chorus yang sama dengan sebelumnya. Bagian chorus ini terdengar adiktif dan seru untuk didengarkan berkat alunan ritme dari double bass serta backing vocal yang dengan apik bisa mengiringi suara baritone rendah Eddie Cochran. Penyebutan berbagai macam angka di dalam chorus juga menjadi aksen unik yang membuat chorus ini tidak pernah terdengar membosankan.
Pengalaman mendengarkan musik dari tujuh dekade lalu ini terasa berkesan karena rasanya dewasa ini jarang ada lagu yang secara spesifik menceritakan suatu kejadian dalam situasi kehidupan nyata. Tren lagu selama beberapa dekade terakhir ialah mencipatakan lirik yang general agar bisa dipahami oleh banyak orang dari berbagai latar belakang, namun hal ini membuat lagu-lagu zaman sekarang rasanya cuma mewakilkan suara hati pendengar alih-alih menjadi pendongeng yang menceritakan sebuah kisah unik ke pendengar. Pun dengan durasi singkat, “Twenty Flight Rock” bisa menjadi tempat kabur sejenak yang menyenangkan dari genre-genre musik mainstream di zaman ini.
Sungguh disayangkan bahwa Eddie Cochran harus meregang nyawa di usianya yang saat itu masih 21 tahun. Banyak orang menyebutnya punya potensi besar untuk menjadi artis rock and roll sebesar Elvis Presley. Beruntung, kita masih bisa mendengarkan karya-karyanya yang abadi dan tidak lekang oleh waktu. Kalau belum pernah mendengarkan lagu “Twenty Flight Rock”, coba dengarkan lewat link di bawah ini!
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan