Membayangkan sekolah yang bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga menjadi tempat kesehatan mental diprioritaskan tidak terdengar utopis-utopis amat. Malahan, ini bisa menyulut transformasi besar apabila terjadi.
•••
Kenyataan bahwa isu kesehatan mental sesungguhnya bukan perkara baru adalah pengingat bahwa kita telah berjuang dengan tantangan ini sejak masa lampau. Dari zaman purba hingga era digital saat ini, berbagai gangguan mental telah hadir dan memengaruhi kehidupan manusia. Dahulu, gangguan mental mungkin dianggap ulah santetan roh jahat, tetapi kita sekarang punya label-label ilmiah layak “bipolar” dan “schizophrenia.” Kalau dahulu mereka cukup dengan teriak-teriak mantra, sekarang kita punya terapi dan obat-obatan. Meski begitu, kita masih berjuang dengan masalah yang sama, hanya dengan kemasan yang lebih modern. Gangguan jiwa tetap ada, ia masih relevan, dan turut besar bersama umur manusia.
Maka, perlakuan cemen terhadap masalah ini bukan pilihan bijak. Apalagi kalau bicara lingkungan institusi pendidikan, seperti sekolah. Sekolah, sebagai tempat generasi masa depan tumbuh dan berkembang, semestinya menjadi lingkungan yang mendukung kesehatan mental, tempat setiap anggota komunitas sekolah merasa dihargai dan dipahami. Ya, setiap anggota komunitas sekolah, tanpa terkecuali. Itulah makanya saya cenderung menggunakan istilah “Sekolah Ramah Kesejahteraan“ dibanding “Sekolah Ramah Anak” [Istilah baru, memang. Baru saya buat, maksudnya]. Sebagaimana salah satu tujuan bangsa yang telah diamanatkan dalam konstitusi kita, sebutan “Sekolah Ramah Kesejahteraan” merujuk pada terciptanya suatu kondisi sejahtera yang berhak dirasakan & dinikmati oleh semua anggota komunitas sekolah dan sekolah harus ramah akan itu. Tidak boleh menolak bahkan mengabaikan.
Nyatanya, sekolah bisa menjadi medan perang mental tersendiri bagi banyak siswa, guru, bahkan seluruh komunitas sekolah. Persoalan jiwa yang sehat di sekolah kerap menjadi perhatian terakhir, jika bukan yang paling diabaikan. Tak sedikit yang terlena dalam angan bahwa sekolah sebagai tempat aman yang netral. Yang hanya berfokus pada lingkaran tuntutan akademik semata, tiada henti. Kala fokus yang berlebihan tak memperhitungkan kesejahteraan emosional, itu hanya akan memperburuk keadaan. Pada akhirnya, banyak individu yang merasa terperangkap dalam tekanan tanpa jalan keluar yang jelas.
Lantas, apakah ini berarti kita harus pasrah? Tentu saja, tidak. Bagi saya, status quo yang mengabaikan pentingnya kondisi mental yang sejahtera tidak boleh dibiarkan berlanjut. “Namun, mampukah negara tercinta kita menciptakan sekolah-sekolah yang perhatian akan mental tiap individu?” Izinkan saya menawarkan keyakinan mengenai gagasan vital ini dan mudah-mudahan menggugah inspirasi Anda. Paling tidak, membuat Anda berpikir. Semoga.
Jujur saja, mimpi sekolah yang ramah akan kesejahteraan mental itu sesuatu yang dapat diwujudkan
Saya sendiri optimis kalau ini bukan sekadar “omong kosong belaka” ke depannya. Menjawab keraguan tentang mimpi ini, ada beberapa hal yang mempermudah terciptanya keadaan sejahtera dalam urusan memelihara jiwa di sekolah. Kemungkinan pertama adalah soal kesadaran. Dilansir dari situs halodoc.com, kesadaran akan krusialnya kesehatan mental kini semakin meningkat, terutama karena didorong oleh generasi muda yang lebih terbuka dalam membahas isu-isu psikologis dan mencari bantuan profesional. Kalau setiap individu sudah sadar dan berani ngomong tentang kesehatan mental mereka, hal mula yang dapat terjadi ialah berkurangnya stigma terkait masalah kesehatan mental. Dan, pemahaman tentang cara mengidentifikasi dan menangani masalah tersebut bakal meningkat.
Yang kedua, sudah diadopsinya berbagai inisiatif dalam rangka mendukung kesejahteraan mental di lingkungan sekolah. Mulai dari penyediaan layanan konseling yang memberikan bantuan psikologis kepada siswa yang membutuhkan, program kesadaran mental yang mengajarkan trik-trik mengatasi stres dan kecemasan, hingga program Peer Support yang melibatkan para peserta didik untuk menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman mereka. Belum lagi, ada program pemberdayaan untuk guru dan staf sekolah agar lebih paham tentang kesehatan mental dan cara menghadapi stres.
Terakhir ialah tentang regulasi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menjadi salah satu bukti yang relevan. Peraturan tersebut menegaskan perlunya penyediaan layanan bimbingan dan konseling yang lengkap, mencakup aspek kesejahteraan mental secara menyeluruh. Bukankah ini bisa jadi landasan yang kokoh bagi sekolah untuk mengimplementasikan rancangan-rancangan yang mendukung bagi kesejahteraan mental?
Bila sekolah ramah kesejahteraan sudah bisa terealisasi di seluruh Indonesia, apa yang terjadi?
Kalau memang sudah bisa terealisasi secara 100%, saya membayangkan peluang-peluang ini. Garis besarnya, ekosistem pendidikan bakal mencapai keharmonisannya dan jiwa yang sejahtera akan menjadi prioritas utama. Namun, jika lebih dispesifikkan, yang paling disoroti kala bicara kesejahteraan mental ialah kondisi emosional. Ketika sekolah berfokus pada kesejahteraan mental, tingkat stres dan kecemasan di kalangan komunitas sekolah—yang sering kali dikaitkan dengan tekanan akademik yang tinggi—bisa berkurang. Mental yang sejahtera juga berhubungan dengan kesehatan fisik yang lebih baik sehingga seluruh komunitas sekolah bisa memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi secara keseluruhan. Itu peluang kedua. Lebih-lebih, hubungan antar satu anggota masyarakat sekolah semakin lebih kuat dan lebih terintegrasi.
Jadi, apakah ini hanya impian yang muluk? Tidak juga. Kita bisa terus membiarkan sekolah menjadi pabrik kemunculan stres yang mengabaikan aspek penting dari kemanusiaan kita atau justru mengambil langkah nyata untuk mengubahnya. Pilihan ada di tangan kita. Tetapi, saya pikir kita tidak mungkin tidak mendukung bahkan menentang upaya-upaya yang saat ini sudah berjalan menuju sekolah ramah kesejahteraan karena pada hakikinya, tiap manusia—bahkan Anda yang sekarang membaca tulisan ini—rindu hidup yang benar-benar sejahtera. Iya, ‘kan?
•••
Tulisan ini didedikasikan untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional sembari menyoroti betapa urgensinya mendukung kesehatan mental di sekolah.
Rujukan:
- https://kumparan.com/berita-terkini/apa-yang-dimaksud-kesejahteraan-umum-dalam-kehidupan-masyarakat-1ziEOHvwo8r.
- https://www.halodoc.com/artikel/ini-alasan-gen-z-lebih-terbuka-soal-kesehatan-mental.
- https://achmadnurhidayat.id/2023/12/krisis-kesehatan-mental-indonesia-mengurai-tantangan-dengan-misi-inovatif/.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan