Internet tidak akan pernah lepas dari kepentingan korporasi global
Ini adalah satu dari sekian banyak ikhtisar menarik yang disampaikan oleh Profesor Carleton University, yang juga merupakan anggota dari Royal Society of Canada, Professor Merlyna Lim di acara peluncuran Magister Ilmu Komunikasi (03/05) di Universitas Islam Indonesia.
WNI lulusan ITB yang sudah melanglang buana di dunia akademik internasional ini menjadi narasumber utama dalam peluncuran Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Universitas Islam Indonesia pada Selasa (29/04) lalu. Pada kesempatan ini, Prof Mer --panggilan akrabnya-- membedah isi bukunya yang berjudul "Social Media and Politics in Southeast Asia" yang membahas tentang 'Algorithmic Enclave' yang terjadi pada berbagai platform media sosial yang memperkuat tribalisme dan polarisasi yang terjadi pada politik di Asia Tenggara.
Prof Mer menjelaskan bahwa sedari dulu, internet bukanlah 'public sphere' yang netral, seperti yang sering digembar-gemborkan sebagai tempat 'freedom of speech', namun yang terjadi ialah tempat dimana hukum rimba berkuasa, orang kuat yang akan berkuasa. Ia membuktikan hal tersebut melalui analisis data Scale-Free network, dalam hal ini ketika satu platform ramai digunakan oleh khayalak maka pengelola platform tersebut dapat mengendalikan banyak hal melalui kebijakan dan algoritma yang mereka bangun.
Oleh karenanya terdapat istilah yang menyebutkan bahwa internet tidak akan pernah lepas dari kepentingan korporasi global, itu benar adanya.
Dalam penyelenggaraan korporasi sosial media, banyak sosial media membangun platform dengan asas marketing culture, yaitu ketika sosial media membangun interaksi yang akan membuat pengguna menyukai bahkan menjadi penggemar sosial media yang mereka bangun. Korporasi membangun asas tersebut dengan membentuk algoritma umpan (feed) media sosial. Algoritma yang dibangun oleh platform media sosial biasanya menggunakan engagement seperti like, views dan interest untuk memberikan rekomendasi umpan kepada pengguna. Terkadang ketika suatu isu mencuat, algoritma akan membentuk apa yang disebut sebagai 'algorithmic enclave' (cekungan algoritma) secara tanpa sadar ketika banyak pengguna menyukai konten dengan isu atau pendapat yang sama. Sehingga umpan yang ia terima akan terus menerus menggaungkan isu tersebut.
"Where individuals afforded by their constant interactions with algorithms interact with each other and collective based on a perceived shared identity onlinefor defending their beliefs" ujarnya dalam bukunya yang sedang dibahas.
Hal ini pula yang dikritisi oleh Prof Masduki, seorang aktivis politik sosial Universitas Islam Indonesia. Dari buku Prof Merlyna Lim, ia menjelaskan bahwa sosial media dapat dimanfaatkan ketika isu politik mencuat, sebut saja demo #IndonesiaGelap demo #TolakRUUTNI yang merupakan gejolak politik dan sosial yang terjadi di ranah internet. Secara alur ketika isu mencuat, maka akan banyak pengguna yang mendapatkan umpan dengan konten serupa, membentuk massa untuk melawan rezim yang berkuasa. Namun ketika hal ini terjadi pemerintah terutama dengan kekuatan kekuasaan dan dana yang banyak, mereka bisa saja memberikan tekanan serupa terutama kepada kelompok akar rumput (grassroots) dengan menggunakan metode kotor, sebut saja buzzer, white campaign atau bahkan bekerja sama dengan platform media sosial untuk mengontrol dan mengatur pengguna di balik layar.
Sehingga dapat disimpulkan, Prof Merlyna Lim ingin menyebutkan bahwa kultur internet seperti ini dapat memberikan tekanan yang besar kepada rezim otokratis, namun juga dapat dilawan dan membentuk kultur yang tidak sehat.
Naskah dan sumber foto: M. Zaki Tasnim
previous post
12 Makanan Sehari-hari yang Bisa Menyebabkan Keracunan