Hari ini, sulit membayangkan kehidupan mahasiswa atau biasa kita sebut kaum intelektual tanpa yang namanya media sosial. Dari grup tugas, berburu info beasiswa, hingga sekadar melepas penat dan mencari pasangan hidup, Upsss HAHAHA. Semua ada di genggaman. Tapi di balik kemudahan itu, ada dilema yang sering tak disadari apakah media sosial benar-benar membuat kaum intelektual lebih kuat, atau justru perlahan melemahkan fokus dan daya kritisnya?
Tidak bisa dipungkiri, media sosial punya peran penting dalam kehidupan mahasiswa. Platform seperti Youtube, Instagram, Twitter (X), Threads, atau Tiktok sering jadi jembatan informasi yang sangat cepat. Mulai dari materi kuliah tambahan, info magang, sampai forum diskusi bahkan, sampai tempat mencari jodoh. Banyak pula gerakan sosial dan kampus yang bermula dari ruang digital.
Mahasiswa juga bisa membangun personal branding lewat media sosial. Itu untk menunjukkan karya, opini, atau portofolio. Hal ini membuka peluang lebih besar untuk dikenal, bahkan di luar lingkungan kampus. Singkatnya, media sosial bisa memperluas jaringan, relasi sekaligus memperkuat eksistensi akademik maupun non-akademik.
Namun, ada sisi lain yang sering menjerat atau yang mendistraksi tanpa henti. Banyak mahasiswa yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk scroll medsos ketimbang mengerjakan tugas kuliahnya. Notifikasi seolah tak pernah berhenti, membuat konsentrasi mudah pecah.
Lebih dari itu, arus informasi yang terlalu deras dan kencang kadang menumpulkan daya kritis. Hoaks, kabar setengah jadi, buzzer brengsek hingga budaya instan cepat viral seringkali diterima mentah-mentah tanpa verifikasi yang mendalam
Tak jarang, media sosial juga menciptakan tekanan sosial dan di pergunakan untuk sesuatu yang buruk. Mulai dari membandingkan diri dengan orang lain hingga standar kehidupan
Media sosial pada akhirnya ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi rahim peradaban, ruang belajar, ruang berkarya, sekaligus ruang jejaring. Tapi di saat yang sama, ia juga bisa menjadi jebakan batman yang melemahkan jika digunakan tanpa kendali. Generasi kampus perlu bijak menempatkan dirinya bukan sekedar jadi penonton di medsos, melainkan pengguna yang mampu memanfaatkan media sosial untuk memperkuat kapasitas diri atau menjadi kaum intelektual seutuhnya.