Era Society 5.0 membawa perubahan besar dalam cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi. Sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020, hampir seluruh aspek kehidupan, mulai dari dunia kerja, pendidikan, hingga kegiatan sosial telah beralih ke sistem digital. Pertemuan daring melalui Zoom Meeting, Google Meet, dan berbagai platform daring menjadi hal yang lumrah. Fenomena ini melahirkan gaya hidup baru, dimana manusia dapat beraktivitas tanpa mengenal batas ruang dan waktu, sehingga muncul istilah baru yang disebut dengan ‘Digital Nomad’ yakni orang yang bekerja secara digital, mereka tidak memerlukan ruang khusus, karena dapat bekerja dimana saja. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga menimbulkan tantangan baru, salah satunya menurunnya intensitas masyarakat untuk hadir di ruang sosial dan spiritual, termasuk masjid.
Jika kita lihat dari sejarah, sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, masjid telah menjadi pusat segala aktivitas kehidupan umat. Di Madinah sendiri misalnya, Masjid Quba pada masanya berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang musyawarah, pendidikan, dan perlindungan bagi musafir yang singgah. Disini dapat kita lihat, secara fungsi sosial, sejak awal, masjid dibangun untuk memfasilitasi kebutuhan manusia secara utuh, tempat ibadah sekaligus tempat bermasyarakat. Konsep inilah yang menjadi inspirasi dasar dari gagasan Masjid Rangga, yaitu menghidupkan kembali ruh masjid sebagai ruang peradaban yang ramah, terbuka, dan penuh kegiatan manusiawi.
Sayangnya, di era modern, banyak sekali kita temui, masjid mulai kehilangan ruh tersebut. Banyak pengurus masjid masih memiliki pandangan sempit dan kolot, selalu menganggap masjid hanya layak untuk ibadah formal saja dan harus dijaga kesakralannya dengan menjauhkan kegiatan duniawi. Padahal seperti yang kita tahu, masifnya arus ‘Digital Nomad’ seharusnya menjadi kelebihan besar, terutama populasi umat muslim yang sangat banyak, dapat kita optimalkan supaya mengatasi isu sepinya jamaah masjid yang terus terjadi. Akibat dari kolotnya pemikiran tersebut, kini, dapat kita lihat sendiri akibatnya, generasi muda merasa terasing, bahkan canggung untuk menjadikan masjid sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka lebih senang untuk bekerja, bermain dan belajar melalui kafe-kafe skena, hingga taman-taman. Padahal, nilai kesakralan tidak akan pudar hanya karena masjid menjadi tempat manusia beraktivitas dan belajar. Justru, ketika masjid dihidupkan dengan kegiatan bermanfaat, nilai spiritualnya tumbuh lebih kuat dan terpatri dalam kehidupan masyarakat.
Semangat untuk menghidupkan kembali fungsi sosial masjid sebetulnya sudah mulai tampak dalam beberapa inisiatif modern, misalnya dapat kita lihat Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi. Masjid tersebut menjadi contoh nyata masjid yang ramah terhadap musafir dan anak muda. Masjid ini buka selama 24 jam, menyediakan tempat istirahat bagi musafir, terdapat area creative space, bar kopi, hingga studio konten digital. Masjid ini juga mempunyai program sosial seperti dapur umum yang menyediakan ribuan porsi makanan gratis setiap bulannya, bahkan mempunyai pelatihan kewirausahaan bagi generasi muda. Ini hanyalah satu dari beberapa Masjid Progresif di Indonesia yang menunjukkan bahwa masjid, dapat menjadi ruang pemberdayaan dan kreativitas, bukan sekadar tempat ibadah mahdhoh saja.
Dari semangat tersebut, tercipta sebuah konsep Masjid Progresif yang akan mendisrupsi kondisi stagnan pengelolaan masjid saat ini, yakni konsep Masjid Rangga, merupakan singkatan dari Masjid sebagai Area Karya dan Tempat Singgah. Gagasan ini berangkat dari kebutuhan untuk menghadirkan masjid yang relevan dengan kehidupan masyarakat modern tanpa kehilangan nilai spiritual dan kesakralannya. Konsep Masjid Rangga berfungsi sebagai ruang ibadah sekaligus coworking space berbasis nilai-nilai Islam, di mana masyarakat dapat belajar, bekerja, berkreasi, atau sekadar beristirahat dalam suasana yang damai dan religius. Sehingga, masjid tidak hanya selalu kaku berperan sebagai tempat ibadah,, tetapi juga menjadi pusat aktivitas sosial dan intelektual masyarakat.
Konsep Masjid Rangga akan diwujudkan melalui tiga langkah utama:
Pertama, transformasi birokrasi dan perubahan pola pikir. Selalu terjadi pertentangan di masyarakat, khususnya pada masyarakat yang masih menganut nilai-nilai konservatif mengenai kesakralan masjid. Hal ini perlu diedukasi melalui pemuka agama pada setiap kesempatan ibadah, maupun perkumpulan warga. Menganut konsep Masjid Rangga juga berarti pengurus Masjid harus siap untuk melayani jamaah, bukan sebagai penguasa masjid. Sehingga orientasi pengelolaan masjid bukan sebagai tempat yang perlu dijaga, melainkan sebagai pelayan tamu Allah.
Selanjutnya, pengurus dapat memulai transformasi ruang fisik, sebagai contoh dengan menghadirkan area belajar dan diskusi yang dilengkapi fasilitas digital seperti Wi-Fi, proyektor, dan perpustakaan mini. Ruang terbuka masjid pun dapat dimanfaatkan untuk creative hub anak muda yang ingin mengembangkan ide-ide produktif tanpa meninggalkan nilai religius.
Kedua, pengurus masjid dapat mengembangkan program kolaboratif seperti pelatihan kewirausahaan, bimbingan literasi digital, serta forum kajian tematik yang melibatkan mahasiswa, komunitas, dan pelaku usaha sekitar.
Ketiga, pola manajemen partisipatif yang melibatkan generasi muda sebagai relawan, pengelola, maupun inisiator program agar tercipta rasa memiliki terhadap masjid.
Konsep ini juga memperkuat sinergi antara masjid dan dunia pendidikan. Beberapa masjid kampus di Indonesia sudah menerapkan sebagian prinsip serupa. Masjid Kampus UGM, misalnya, menjadi pusat kegiatan intelektual yang rutin mengadakan diskusi publik dan seminar lintas disiplin. Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) dirancang sebagai ruang rohani sekaligus pusat pengabdian masyarakat, sementara Masjid Al Hurriyyah IPB menyediakan ruang belajar, toko buku, hingga aula multifungsi yang digunakan mahasiswa untuk kegiatan akademik dan sosial. Praktik ini menunjukkan bahwa masjid mampu menjadi tempat bertemunya spiritualitas, ilmu pengetahuan, dan aktivitas sosial tanpa menghilangkan nilai kesuciannya. Dengan konsep yang telah dijabarkan, Masjid Rangga akan mengakomodir masifnya ‘Digital Nomad’ menjadi katalis solusi atas hilangnya ruh peradaban manusia melalui masjid, sehingga kita dapat tetap mengangkat nilai keislaman di tengah era masyarakat 5.0.
(Foto: Khairul Onggon/Pexels)
Referensi:
Nugraha, R. M. B., & Haryono, K. (2020). Sistem Informasi Kegiatan dan Infaq Masjid: Studi Kasus Masjid Ulil Albab UII Yogyakarta. AUTOMATA. Diakses dari https://journal.uii.ac.id/AUTOMATA/article/view/15394
IPB University. (n.d.). Masjid Al Hurriyyah IPB. Diakses tanggal [07 Oktober 2025], dari https://www.ipb.ac.id/page/masjid/
Detik.com. (2025). Sosok penting di balik eksistensi Masjid Sejuta Pemuda Sukabumi. Diakses pada tanggal [07 Oktober 2025], dari https://www.detik.com/jabar/berita/d-7814188/sosok-penting-di-balik-eksistensi-masjid-sejuta-pemuda-sukabumi
previous post
Menjelajahi Pesona Pantai Wisata Bulukumba: Surga