Budaya 'Mohon Izin' Itu Sebenarnya Siapa Yang Mulai Sih?

Pernah nggak sih lagi beli makan, udah buka dompet, eh tiba-tiba ditanya, "Mohon izin, Kak, saya lihat bukti pembayarannya?" Atau pas lagi ngobrol seru sama temen, ada yang nyeletuk, "Izin nyela ya, menurutku..." Mungkin awalnya terdengar sopan, tapi lama-lama jadi bikin mikir: emangnya kita harus selalu minta izin untuk sekadar ngomong?

Fenomena ini makin sering kita temui di masyarakat, apalagi di ruang-ruang digital. Di grup WhatsApp, di kolom komentar, bahkan di kelas online, frasa “izin bertanya”, “izin menyela”, “izin menanggapi”, atau “izin bertanya kembali” jadi semacam tata krama baru yang nggak tertulis tapi dianggap norma baru. Seolah tanpa kata “izin”, kita bisa saja dianggap nggak sopan. Tapi sebenarnya… ada apa sih di balik budaya “izin” ini?

Budaya Militeristik dan Bahasa Sopan

Jawabannya nggak sesederhana cuma “karena sopan”. Di balik frasa-frasa itu ada jejak panjang budaya hierarki dan ketimpangan kekuasaan dalam komunikasi. Di masyarakat yang menjunjung tinggi status sosial, usia, atau jabatan (seperti di banyak konteks Asia, termasuk Indonesia), berbicara tanpa “izin” sering dianggap melanggar norma, bahkan ofensif.

Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran, menganggap bahwa kesopanan merupakan bagian dari adab baik yang perlu ditanamkan sejak dini. Sehingga frasa “mohon izin” ini dianggap sebagai sesuatu yang baik untuk dilakukan. Jika kita lihat pada konteks komunikasi formal, dalam budaya militer di Indonesia, frasa “mohon izin” sudah menjadi frasa legendaris yang wajib dan harus selalu dituturkan oleh para prajurit. Tanpa sadar, frasa ini selalu digunakan oleh para prajurit dalam interaksi sehari-hari, termasuk dalam interaksi, semi formal bahkan informal.

Dalam teori komunikasi yang disebut dengan teori habitualisasi dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyebutkan bahwa ketika suatu aktifitas atau suatu hal dilakukan secara terus-menerus, maka hal-hal ini akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar dan dilembagakan di masyarakat. Sehingga frasa seperti “mohon izin” seperti ini akan dianggap sebagai sebuah norma, atau bahkan dijadikan aturan tertentu dalam kehidupan sehari-hari, walaupun dalam konteks komunikasi non-formal.

Efeknya: Hati-Hati atau Justru Terbatas?

Di satu sisi, budaya minta izin bisa menciptakan komunikasi yang lebih hati-hati, lebih reflektif. Orang jadi nggak sembarangan motong percakapan, tidak asal mengomentari, dan lebih sadar kalau setiap percakapan itu punya konteks. Tapi di sisi lain, budaya ini juga bisa jadi bumerang. Banyak orang, terutama generasi muda akhirnya malah jadi ragu menya "boleh nggak sih aku ngomong?" daripada fokus pada "apa yang sebenarnya mau aku sampaikan?"

Apakah Harus Dihilangkan?

Nggak juga. Tapi perlu kita pahami bersama. Dalam forum formal, wajar kalau kita buka percakapan dengan “izin bertanya” atau “maaf menyela”, apalagi kalau diskusinya padat dan kita ingin menghormati giliran bicara. Tapi dalam konteks percakapan antar teman, rekan kerja, atau komunitas yang memang setara, mungkin kita bisa mulai belajar untuk lebih percaya diri.

Bukan berarti jadi kasar. Tapi belajar untuk menyampaikan pikiran tanpa merasa perlu merendahkan diri. Karena valid atau nggaknya suara kita bukan ditentukan dari kata pengantar, tapi dari substansi yang dibawa.

Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Mulailah dari hal kecil. Coba amati cara kamu membuka percakapan. Apakah kamu selalu menyisipkan kata “izin”, “maaf”, atau “mau nanya sedikit”? Kalau iya, coba tanya ke diri sendiri: apakah ini karena kebutuhan sopan santun, atau karena ketakutan untuk terdengar dominan?

Karena kadang, minta izin itu bukan soal etika... tapi soal rasa tidak percaya diri yang sudah terlalu diajarkan sejak lama.

(Foto oleh RDNE Stock Project/Pexels)

  30 Views    Likes  

Aura Farming Via Pacu Jalur

previous post

Rahasia Penting dalam Pelatihan Kerja: Gen Z Harus Tau!
Aura Farming Via Pacu Jalur

next post

Aura Farming Via Pacu Jalur

related posts