Demokrasi Palsu: Ketika Rakyat Tak Percaya Lagi Pada Wakilnya

 

Serangkaian peristiwa yang terjadi pada akhir bulan Agustus, dari demonstrasi kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), penjarahan rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya hingga Eko Patrio, hingga muncul tuntutan 17+8 rakyat Indonesia menunjukkan bukan hanya terjadi resistansi, melainkan krisis kepercayaan publik yang melanda dan semakin kronis. Fenomena ini menjadi alarm bagi masa depan demokrasi di Tanah Air, membuat kita bertanya-tanya: mengapa rakyat tak percaya lagi pada wakilnya?

 

Indonesia merupakan negara demokrasi yang menganut asas trias politika, di mana peran legislatif dipegang oleh wakil rakyat yang menduduki jabatan di DPR melalui fraksi-fraksi partai politik, sementara eksekutif berada di tangan Presiden dan jajaran menteri, serta yudikatif berada pada kendali Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, masalahnya terletak pada sistem pemilihan wakil rakyat yang menimbulkan efek samping, membuat keberpihakan rakyat semakin terkikis. Selanjutnya, hal ini semakin  diperparah oleh tingginya modal politik dan ego dari masing-masing calon legislatif. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa untuk menjadi seorang anggota DPR RI, diperlukan beberapa tahapan. Pertama, proses internal partai yang seringkali memerlukan modal finansial besar untuk mendapatkan tiket pencalonan. Kedua, kampanye politik yang sangat mahal dan masif, di mana calon berlomba-lomba menarik suara dengan cara-cara yang terkadang tidak etis, seperti politik uang. Ketiga, persaingan ketat antar calon dalam satu daerah pemilihan yang sering kali membuat ideologi dan program kerja menjadi nomor dua, digantikan oleh popularitas dan kekuatan finansial.

 

Semua langkah-langkah ini membuat keterkaitan antara nilai dan idealisme yang seharusnya dibawa oleh seorang calon menjadi semakin terkikis. Mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dianggap sebagai suatu “modal usaha” dengan harapan besar bahwa menjadi anggota dewan akan meningkatkan taraf hidup dan  kesejahteraan pribadi melalui gaji dan tunjangannya. Ini yang menyebabkan banyak wakil rakyat inkompeten yang bisa dengan leluasa menduduki parlemen, asal punya popularitas dan modal besar, makai ia akan bisa dengan mudah mendapatkan kursi tersebut. Hal ini diperparah dengan tingginya kesenjangan antara pendapatan rata-rata masyarakat dan anggota dewan yang sangat fantastis. Menurut data, perbandingan gaji dan tunjangan antara anggota dewan dan masyarakat berada pada rasio yang sangat timpang. Sebagai contoh, gaji pokok dan tunjangan seorang anggota DPR dapat mencapai puluhan juta rupiah per bulan, perlu dicatat bahwa ini belum termasuk berbagai fasilitas dan tunjangan lainnya, jauh di atas Upah Minimum Regional (UMR) yang diterima sebagian besar rakyat. Kesenjangan ini semakin menciptakan jurang sosial dan psikologis, di mana rakyat merasa tidak diwakili oleh sosok yang memahami realitas ekonomi mereka. Hingga akhirnya kepercayaan public ‘meledak’ akibat ramainya pemberitaan mengenai wacana kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR RI.

 

Krisis kepercayaan ini bukan sekadar tentang perbedaan pendapatan atau biaya politik yang mahal. Ini adalah akumulasi ‘bom waktu’ dari serangkaian kegagalan DPR dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat. Ketika rakyat menyaksikan wakilnya justru lebih sibuk mengurus kenaikan tunjangan, studi banding ke luar negeri, atau sibuk berpolitik praktis ketimbang memperjuangkan kesejahteraan, rasa kecewa itu berubah menjadi ketidakpercayaan yang mendalam. Beberapa alasan mendasar mengapa kepercayaan publik terhadap DPR semakin terkikis diantaranya adalah kurangnya kepekaan dan empati. 

 

DPR seringkali terlihat tidak relevan dengan masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat, seperti kenaikan harga bahan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, atau biaya hidup yang kian tinggi. Ketika rakyat berteriak menyuarakan penderitaan mereka, respon yang diberikan oleh wakil rakyat sering kali terkesan tone-deaf, bahkan kadang kala melontarkan pernyataan yang justru melukai hati. 

 

Selain itu, kualitas legislasi yang meragukan juga menjadi faktor krusial. Banyak undang-undang yang disahkan oleh DPR dianggap kontroversial dan tidak pro-rakyat, seperti revisi UU KPK atau UU Cipta Kerja, yang memicu gelombang protes besar-besaran di berbagai daerah. Proses pembuatannya sering kali dilakukan secara terburu-buru, minim partisipasi publik, dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau elit tertentu daripada kepentingan umum. Masalah ini diperparah oleh kasus korupsi yang tak berkesudahan. Anggota DPR kerap kali menjadi pusat perhatian dalam berbagai skandal korupsi. Meskipun penegak hukum telah berupaya, citra DPR sebagai "sarang korupsi" sulit untuk dihilangkan dari benak masyarakat. Setiap kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan adalah pukulan telak yang mengikis habis kepercayaan publik. Terakhir, sistem pemilu yang mahal telah melahirkan oligarki politik dan praktik dagang sapi. Kekuasaan politik cenderung dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki modal besar. Akibatnya, kebijakan yang dibuat oleh wakil rakyat lebih melayani kepentingan para pendukung finansial mereka, bukan aspirasi dari rakyat yang seharusnya mereka wakili. Fenomena ini menciptakan demokrasi semu, di mana suara rakyat seolah tidak lagi berarti.

 

Meskipun DPR adalah lembaga independen, pemerintah (eksekutif) memiliki tugas besar untuk menciptakan ekosistem yang kondusif agar DPR dapat bekerja optimal dan mendapatkan kembali kepercayaan rakyat. Mengembalikan kepercayaan publik bukanlah tugas yang mudah, tetapi harus dimulai dari langkah-langkah konkret.

 

Pertama, pemerintah harus bersinergi dengan DPR untuk menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel. Ini bisa dimulai dengan mendesak revisi UU partai politik dan pemilu untuk menekan biaya politik yang tinggi. Tanpa reformasi ini, politik akan terus menjadi arena bagi para pemilik modal, bukan idealis.

 

Kedua, pemerintah harus menjadi contoh dalam pemberantasan korupsi. Jika eksekutif menunjukkan komitmen kuat melawan korupsi, hal ini dapat mendorong DPR untuk melakukan hal yang sama. Sinergi antara pemerintah dan lembaga penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, sangat krusial.

 

Ketiga, pemerintah perlu menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan DPR. Pemerintah harus proaktif mendengarkan keluhan masyarakat dan menyampaikannya sebagai masukan dalam proses legislasi. Keterbukaan informasi dan pelibatan publik dalam setiap proses perumusan kebijakan harus menjadi norma, bukan pengecualian.

 

Pada akhirnya, krisis kepercayaan ini adalah PR bersama. Pemerintah, DPR, partai politik, hingga masyarakat harus bahu-membahu. Tanpa perbaikan mendasar, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi sebuah jargon kosong, sebuah demokrasi palsu yang pada akhirnya hanya melayani segelintir elite, bukan seluruh rakyat.

 

(Foto: Wikipedia)

  10 Views    Likes  

Pemakaman Bangsawan Toraja yang Mistis dan Megah

previous post

Menjelajahi Pesona Pantai Wisata Bulukumba: Surga
Pemakaman Bangsawan Toraja yang Mistis dan Megah

next post

Pemakaman Bangsawan Toraja yang Mistis dan Megah

related posts