Mengapa Pernikahan Dini Tak Kunjung Hilang di Indonesia?"

Faktor Budaya dan Norma Sosial

Di banyak daerah tradisi dan norma sosial masih memengaruhi praktek kawin di usia muda. Misalnya di Tana Toraja, budaya setempat mengharuskan anak perempuan yang sudah menstruasi dan laki-laki yang sudah bekerja untuk segera menikah karena dianggap sudah dewasa; orang tua yang menunda dinikahi anaknya dianggap membawa aib bagi keluarga. Di Madura pula terdapat tradisi “nikah ngodheh” (menikah muda) yang dianggap warisan leluhur dan dipertahankan sebagai adat. Dalam budaya patriarki seperti ini, ada anggapan bahwa menikah muda dapat menjaga kehormatan atau menghindari pergaulan bebas. Sayangnya, sebagian masyarakat memiliki pemahaman agama yang keliru sehingga mendukung praktik tersebut. Hal-hal tadi menumbuhkan tekanan sosial bagi anak dan keluarga untuk menikah dini, meski risikonya tinggi.

Faktor Ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga sering menjadi pemicu langsung pernikahan anak. Banyak keluarga miskin menganggap menikahkan anak (terutama putri) muda dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Misalnya selama pandemi COVID-19 angka permohonan dispensasi kawin naik drastis (34.000 kasus pada Jan–Jun 2020 dibandingkan 23.700 sepanjang 2019) karena orang tua menganggap pernikahan dapat mengurangi beban keluarga. Ironisnya, pernikahan anak justru memperdalam lingkaran kemiskinan. Menurut Menteri PPPA, pemanfaatan pernikahan anak sering berujung pada kemiskinan lintas generasi; anak-anak yang menikah dini lebih rentan putus sekolah dan memiliki pendapatan rendah, sehingga anak-anak mereka kelak juga hidup dalam kemiskinan. Beban ekonomi tambahan misalnya anak berusia belasan tahun harus bekerja untuk menafkahi keluarga justru meningkatkan angka pekerja anak.

Faktor Pendidikan dan Literasi Seksual

Rendahnya akses pendidikan dan minimnya literasi kesehatan reproduksi turut memperbesar angka pernikahan dini. Banyak remaja belum memahami risiko kehamilan di luar rencana atau hak-hak reproduksinya. Kurangnya edukasi kesehatan reproduksi membuat remaja “terjebak” kawin muda sebagai hasilnya mereka sering hamil tak direncanakan dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Kementerian PPPA dan BKKBN menekankan pentingnya edukasi reproduksi bagi remaja karena usia perkawinan yang matang sangat tergantung pemahaman tersebut. Lebih jauh lagi, angka pernikahan anak jauh lebih tinggi di daerah pedesaan dibanding perkotaan. Hal ini kemungkinan karena di pedesaan akses sekolah dan informasi kesehatan reproduksi umumnya lebih rendah. Dengan sedikitnya alternatif pendidikan, banyak remaja di desa akhirnya menikah muda dan berhenti sekolah, yang kemudian menurunkan kualitas SDM jangka panjang.

Faktor Hukum dan Penegakan Usia Minimal

Secara formal, Indonesia telah menaikkan batas usia minimal nikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan lewat Undang-Undang No.16 Tahun 2019 (sebelumnya usia perempuan 16 tahun). Namun dalam praktiknya masih banyak celah. Misalnya, Mahkamah Agung mencatat permohonan dispensasi kawin (izin kawin di bawah batas usia) melonjak pasca-amandemen UU 2019, dengan 97% permohonan dikabulkan dan 60% pemohon masih di bawah 18 tahun. Belum lagi banyak pasangan memilih kawin “siri” (tidak tercatat negara) untuk menghindari proses hukum sehingga pemerintah sulit mendata dan menindak pelaku pernikahan anak. Survei Yayasan Tulodo (2019) bahkan menemukan 7 dari 10 orang tua tidak mengetahui bahwa nikah anak itu dilarang. Rendahnya kesadaran dan lemahnya pengawasan membuat UU usia minimal sulit ditegakkan. Kalaupun ada peraturan daerah yang tegas (misalnya Perda NTB No.5/2021 dan Pergub NTB No.34/2023), penegakannya sering terhambat oleh norma adat atau kurangnya sanksi riil.

Statistik Terkini Pernikahan Anak

Data terbaru menunjukkan angka perkawinan anak di Indonesia cenderung menurun. Menurut BPS (diolah lembaga “GoodStats”), persentase perempuan usia 20–24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun adalah 6,92% pada 2023, turun dari 8,06% di 2022. Artinya, proporsi anak perempuan yang kawin muda semakin menurun. Namun penyebarannya tidak merata. Provinsi Nusa Tenggara Barat tercatat paling tinggi (~17,3% pada 2023), diikuti Sumatera Selatan (~11,4%) dan Kalimantan Barat (~11,3%). Beberapa daerah lain juga memiliki angka signifikan – misalnya Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali melaporkan peningkatan kasus pernikahan anak (335 kasus di 2023 menjadi 368 kasus di 2024). Tingginya prevalensi di NTB disebut-sebut oleh UNICEF sebagai yang tertinggi se-Indonesia. UNICEF pun mencatat Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dan tertinggi di ASEAN untuk kasus perkawinan anak. Dengan tren penurunan ini, pemerintah menargetkan angka perkawinan anak turun menjadi 8,74% pada 2024 dan 6,94% pada 2030.

Upaya Pemerintah dan LSM dalam Pencegahan

Berbagai program pemerintah dan LSM berupaya mencegah kawin muda. Misalnya, pemerintah mengembangkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan program pendukung seperti RAN-PIJAR (pendidikan usia sekolah/remaja) serta pendidikan anak usia dini. Kementerian PPPA dan BKKBN aktif menyosialisasikan pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi remaja. Di tingkat lokal, beberapa provinsi memberlakukan peraturan khusus. Di NTB misalnya, selain Perda dan Pergub, dibentuk Satuan Tugas Pencegahan Perkawinan Anak dengan dukungan tokoh agama dan adat untuk menerapkan sanksi sosial bagi pasangan di bawah umur. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan juga gencar melakukan kampanye. Wahana Visi Indonesia mengingatkan bahwa perkawinan anak sejatinya merupakan kekerasan terhadap anak dan perlu dicegah bersama. UNICEF, Yayasan Tulodo, serta kelompok advokasi anak (seperti Koalisi Perempuan Indonesia/Girls Not Brides) aktif menggelar pendidikan seksual dan mendampingi keluarga agar tidak menikahkan anak dini.

Para pelajar SMP di Buru Selatan (Maluku) berunjuk rasa menolak pernikahan dini setelah salah satu siswinya dinikahi orang tuanya. Pemerintah berusaha menekan angka ini melalui sosialisasi, pelibatan tokoh masyarakat, dan program pemantauan. Kemenko PMK melaporkan penurunan prevalensi (11,21% pada 2023, atau sekitar satu dari sembilan perempuan usia 20–24 tahun pernah menikah sebelum 18 tahun) dan terus mendorong koordinasi lintas sektor. Meskipun demikian, efektivitas upaya sering terhambat karena lemahnya penegakan dan norma yang masih membenarkan praktik tua. Misalnya, di lapangan masih banyak orang tua yang menganggap menikahkan anak muda sebagai “menyelamatkan muka” sehingga menolak intervensi.

Ilustrasi kampanye “Stop Perkawinan Anak” yang terus digalakkan di berbagai daerah untuk mengingatkan bahaya menikahkan anak di bawah umur. Selain aksi pemerintah, dukungan masyarakat sipil juga penting. Banyak sekolah dan KPAD (Komisi Perlindungan Anak Daerah) menyelenggarakan lokakarya untuk remaja dan orang tua, meningkatkan literasi reproduksi dan hak anak. Hasilnya, terjadi peningkatan kesadaran—meski secara keseluruhan nikah dini masih terjadi. Masyarakat diharapkan aktif melaporkan kasus pernikahan anak serta memberikan sanksi sosial (misalnya boikot) bagi keluarga yang nekad menikahkan anak di bawah umur. Upaya bersama inilah yang diharapkan dapat menekan angka pernikahan dini lebih lanjut dan melindungi hak anak di Indonesia.

Sumber: Data dan informasi di atas disarikan dari berbagai laporan resmi pemerintah, media, dan organisasi anak seperti UNICEF dan KPAI

  20 Views    Likes  

Liburan Semester Modal Nol Rupiah? Ini 50 Tempat Gratis di Jakarta

previous post

12 Makanan Sehari-hari yang Bisa Menyebabkan Keracunan
Liburan Semester Modal Nol Rupiah? Ini 50 Tempat Gratis di Jakarta

next post

Liburan Semester Modal Nol Rupiah? Ini 50 Tempat Gratis di Jakarta

related posts