Di tengah tantangan juvenile delinquency (kenakalan remaja) yang semakin kompleks, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi meluncurkan program pendidikan karakter berbasis barak militer. Program ini menyasar siswa yang terlibat dalam perilaku menyimpang seperti tawuran, pergaulan bebas, hingga kecanduan media sosial. Tujuannya adalah membentuk pola hidup disiplin, sehat, dan terarah bagi para remaja.
Program ini bukanlah pelatihan militer untuk tujuan perang. Sebaliknya, kegiatan yang dilakukan lebih kepada olahraga, kesenian, pengembangan minat dan bakat, serta pembentukan karakter melalui kedisiplinan. Sebelum mengikuti program, peserta menjalani tes psikologi dan pemeriksaan medis untuk memastikan kesiapan mereka. Ia menilai terdapat urgensi dari implementasi program ini di Jawa Barat.
"Problem kenakalannya sudah akut sampai tindak kriminal, mulai dari penganiayaan hingga pembunuhan. Ini tidak bisa dibiarkan, karena kita akan kehilangan satu generasi yang memiliki sifat-sifat azasi sebagai manusia Indonesia," ucap Dedi melalui akun media sosial resmi miliknya yang dikonfirmasi oleh Kompas.com, Selasa (29/4/2025).
Namun, program ini menuai kontroversi. Seorang wali murid di Bekasi melaporkan Dedi Mulyadi ke Komnas HAM, Adhel Setiawan menilai bahwa program ini melanggar hak anak. Laporan itu dilakukan Adhel bersama kuasa hukumnya, Rezekinta Sofrizal, pada Kamis (8/5/2025). "Pelaporan tersebut (sebagai) bentuk protes atas kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menempatkan anak-anak bermasalah di barak militer," kata Adhel di Babelan, Senin (12/5/2025). Ia berujar, terdapat pelanggaran HAM dalam kebijakan Dedi Mulyadi yang menempatkan anak sebagai obyek di lingkungan militer dengan dalih pembentukan karakter.
Menanggapi hal ini, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa program tersebut telah dikonsultasikan dan tidak melanggar hak-hak anak. Bahkan, Ketua LPAI Kak Seto yang mengunjungi barak militer menyebut program ini positif karena membantu menyalurkan energi remaja ke arah yang lebih baik. Program ini telah dimulai di Purwakarta dan Bandung, dengan melibatkan sekitar 120 pelajar. Mereka mengikuti pelatihan selama 30 hari, yang terdiri dari masa orientasi, pendidikan dasar, dan lanjutan. Kurikulum mencakup bela negara, kedisiplinan, dan kearifan budaya lokal.
Meskipun menuai pro dan kontra, program pendidikan barak militer ini menjadi langkah berani dalam menghadapi tantangan kenakalan remaja. Apakah pendekatan ini akan efektif dalam jangka panjang? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Sumber: Kompas.com