Persahabatan Melemah & Kesepian Menguat Selama Pandemi, Apa Kamu Salah Satunya?

Membangun persahabatan adalah hal yang sulit, apalagi mempertahankannya untuk waktu yang lama. Suka atau tidak, krisis pandemi COVID-19 jelas mempengaruhi situasi hubungan sosial kita dengan semua orang di luar rumah.

Berapa kali kalian mengeluh karena whatsapp kalian sepi?

Berapa kali kalian ingin nekat bertemu dan nongkrong dengan teman-teman?

Atau, berapa kali kalian merasa kesepian?

Masih segar ingatan kita tentang hari-hari sebelum pandemi COVID-19 hadir; sekolah dan kuliah offline, bebas nongkrong bareng teman, pergi nonton ke bioskop dan konser, atau bahkan melancong ke tempat-tempat yang indah. Namun dalam sekejab, dengan dibatasinya kegiatan dan jarak fisik hingga lockdown, kita dipaksa berhenti menemui langsung teman-teman bahkan keluarga serta harus mengalihkan interaksi menjadi online.

Ayo vidcall-an!”, “Ayo Zoom-an!”; adalah ajakan yang awal-awal terasa menyenangkan dan cukup untuk tetap saling berkabar dengan kawan-kawan. Namun perasaan itu mulai samar sejak lama. Bosan di layanan tatap muka online, kita beralih hanya berkirim pesan seperti biasa. Meski obrolan serius dari hati-ke-hati masih bisa terjadi, rasanya tidaklah sama seperti saat bertemu langsung dan duduk bersama sambil makan mie ayam di tenda langganan. Melamun sedikit, kesepian menyerang dan perasaan pertemanan yang erat itu menguap entah kemana.

Nyatanya, situasi kekurangan teman (lack of friends) atau hilangnya rasa pertemanan ini tumbuh menjadi suatu masalah. Kita tidak hanya bicara tentang Indonesia, tapi secara global. Ini bukan asumsi semata, lho, ada data dan penelitiannya! Studi dari American Enterprise Institute (AEI) tahun 2021, misalnya, menemukan bahwa orang Amerika yang bisa menyebutkan 6 nama sahabatnya telah menurun dari 55% menjadi hanya 27% sejak tahun 1990-an. Satu dari 5 pria lajang menyatakan mereka tidak memiliki sahabat dekat, dan hanya 59% orang Amerika memiliki apa yang mereka anggap “sahabat”.

Pandemi COVID-19 memang menjadi salah satu penyebab paling jelas dalam penurunan tingkat pertemanan secara nasional di Amerika. AEI juga menemukan bahwa separuh dari laporan warga Amerika telah hilang kontak dengan setidaknya satu teman selama pandemi. Namun bahkan sebelum lockdown-pun, mereka sudah memiliki masalah dengan hubungan pertemanan, khususnya anak-anak muda, yang diakibatkan tekanan struktural yang meluas. Studi dari YouGov pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang di rentang usia 19-24 tahun menderita karena kesepian hingga tingkat tertentu, dan nyaris separuhnya kesulitan membuat teman baru.

Bagaimana dengan dunia persahabatan di Indonesia sendiri?

Survey online terbaru dari perusahaan Alter Agents bersama Snap Inc. menemukan bahwa pandemi memang berkontribusi merubah persahabatan di dunia. Studi ini melibatkan 2.500 responden dari Indonesia. Hasilnya, 72% responden menyatakan mereka merasa tak dekat lagi dengan teman-teman mereka. Studi ini juga menemukan bahwa tingkat kesepian di antara responden Indonesia meningkat hingga 42%, atau 18% lebih tinggi dibandingkan saat sebelum pandemi COVID-19 melanda.

Memang ada beberapa alternatif solusi terkait hal ini, misalnya mencari teman baru lewat aplikasi tertentu. Namun sekedar bertemu orang baru nyatanya tidak cukup menyelesaikan masalah kesepian. Kesepian tidak sama dengan kesendirian. Kesepian lebih didefinisikan sebagai perasaan kekurangan dalam merespon tidak cukupnya hubungan maupun kedekatan secara emosional. Setiap orang disebut memiliki tingkat kontak yang berbeda-beda untuk membuat mereka merasa nyaman; karena itulah, ada orang yang sendirian pun sudah merasa nyaman dan puas, tapi ada juga orang yang tetap merasa kesepian meskipun tampaknya dikelilingi lingkaran pertemanan yang luas.

Karena itu, kesepian bukanlah tentang angka. Kesepian adalah mengenai dalamnya ikatan, perasaan bahwa kita dilihat dan dicintai. Apa ada yang lebih buruk dari sekedar rasa kesepian? Jawabannya, ada. Yaitu kelanjutan dari kesepian itu sendiri.

Obat sederhana untuk kesepian adalah kedekatan atau keintiman. Masalahnya, hal-hal semacam itu bisa menjadi menakutkan karena ada resiko ditolak atau bertengkar karena konflik tertentu— dan kedua hal ini terasa sulit diatasi, terutama oleh seseorang yang kesepian sejak lama.

Ada sebuah buku non-fiksi yang cukup populer saat terbit di tahun 2016 silam, berjudul The Lonely City: Adventures in the Art of Being Alone” karya Olivia Laing. Buku ini mengisahkan bagaimana Olivia Laing yang pindah ke New York di usia pertengahan 30-an, harus hidup dalam kesepian setiap harinya. Salah satu hal menarik yang bisa kita pelajari dari buku ini, adalah bahwa kesepian merubah persepsi manusia dan memperbesar perasaan terancam secara sosial. Artinya, ketika kesepian, manusia jadi jauh lebih sering teringat pengalaman-pengalaman sosialnya yang sulit atau canggung ketimbang pengalaman yang berjalan lancar atau menyenangkan. Kenangan-kenangan ketika ditolak atau diperlakukan dengan kurang ramah, misalnya, akan semakin terasa sehingga membuat orang yang kesepian jadi semakin menarik diri dan tidak ingin keluar dari zona-nya.

Namun penting untuk dipahami bahwa perasaan-perasaan ini hanyalah kesalahan persepsi— yang tidak mewakili realita sebenarnya. Perlu sekali untuk melawan perasaan ini setiap waktu, meski efek pandemi cenderung lebih kuat sehingga seringkali orang kembali jatuh ke dalam paranoid sebagai ciri khas dari kesepian.

Memang Sulit, Namun Bukan Berarti Kita Menyerah Saja pada Kesepian

Pembatasan kegiatan dan lockdown tak dipungkiri berdampak pada hubungan pertemanan manusia. Meskipun saat ini sulit bertemu langsung dengan orang-orang yang kita sayang, adalah hal yang krusial untuk tetap mempertahankan persahabatan yang berharga. Apa saja yang bisa kita lakukan?

1. Menginvestasikan waktu untuk hubungan yang membantu kita tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih lebih; hubungan dengan orang-orang yang bisa kita andalkan saat senang maupun sedih.

2. Terus terhubung dengan teman-teman dan keluarga dengan mengirimkan kartu, surat, atau hadiah kecil.

3. Berbagi perasaan kepada mereka yang kita percayai. Sikap ini dapat memperkuat persahabatan serta memungkinkan kalian saling memahami dan mendukung satu sama lain.

Persahabatan, sama halnya seperti hubungan romansa, merupakan subjek bagi berbagai tekanan eksternal yang berpeluang entah memperkuat atau justru melemahkan kualitas hubungan tersebut. Ketika COVID-19 menjadi salah satu tekanan yang mengancam, situasi ini juga menyadarkan kita betapa pentingnya peran sahabat.

Penelitian sejak lama membuktikan bahwa persahabatan yang erat meningkatkan harapan hidup. Studi dari Universitas Harvard tahun 2017 menunjukkan bahwa hubungan sosial yang bermakna memainkan peran penting dalam kesehatan, kebahagiaan, dan umur panjang manusia.

Di Indonesia sendiri, harapan juga datang di tengah-tengah pandemi ini. Studi oleh Alter Agents dan Snap Inc. ternyata juga menemukan bahwa 53% responden merasakan bahwa persahabatan menjadi jauh lebih penting sekarang, dan 48% di antaranya telah mencoba membangun hubungan kembali dengan teman-teman lama yang sempat hilang kontak. Sebagaimana para responden ini, manusia— siapapun dan dimana pun dia —masih perlu untuk belajar bagaimana mempertahankan hubungan persahabatan jarak jauh dan bukan tidak mungkin untuk menghubungi kembali teman-teman berharga yang sempat terlupakan seiring hiruk pikuk kehidupan sebelum hadirnya pandemi COVID-19.

Kehilangan rasa pertemanan dengan banyak orang mungkin terasa benar-benar menyedihkan. Namun jika kita kemudian memiliki kelompok pertemanan yang lebih kecil namun menjadi lebih intim karena pandemi, baik disengaja maupun tidak, berarti kita memiliki lebih banyak waktu untuk mencurahkan diri dan hati ke persahabatan tersebut. Dan hasilnya, bukan tidak mungkin kita berakhir memiliki ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya.

 

 

 

Referensi:

Alter Agents & Snapchat. (2020). The Friendship Report 2020. Diakses dari https://alteragents.com/wp-content/uploads/2020/10/Snap_Inc._The_Friendship_Report_2020_-Global-1.pdf

Laing, O. (2021). Loneliness: coping with the gap where friends used to be. Diakses dari https://www.theguardian.com/society/2021/jul/18/loneliness-coping-with-the-gap-where-friends-used-to-be

Cox, D. (2021). The State of American Friendship:Change, Challenges, and Loss. Survey Center of American Life. Diakses dari https://www.aei.org/research-products/report/the-state-of-american-friendship-change-challenges-and-loss/

Charisma, T. (2021). Has the pandemic changed our friendships forever?. Diakses dari https://www.harpersbazaar.com/uk/culture/a36198358/pandemic-changed-our-friendships-forever/

Laing, O. (2016). The Lonely City: Adventures in the Art of Being Alone. London: Picador.

BBC. (2021). Friendship breakups: How the pandemic is impacting our social circles. Diakses dari https://www.bbc.co.uk/bitesize/articles/z8jjkty.

 

Referensi Gambar:

cszdoodles.blogspot.com

www.ai-ap.com

www.dailyadvent.com

pascalcampion.tumblr.com

  264 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts