Ilmu komunikasi merupakan bidang keilmuan yang umum dipelajari di Indonesia. Berbagai universitas negeri hingga swasta banyak membuka progran studi ini hingga laris diserbu calon mahasiswa baru. Berdasarkan data dari Databoks (2024) jumlah peminat pada Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2024 menempatkan program studi ini pada jajaran tiga teratas program studi dengan persaingan ketat di beberapa universitas. Namun jika dilihat dari sejarah perkembangannya, ternyata bidang keilmuan ini sarat akan kepentingan elit politik.
Perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tidak lepas dari kepentingan politik pada era orde baru. Pada tahun 1960-an, Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan dan jurnalis senior asal Indonesia memperkenalkan ilmu komunikasi sebagai 'ilmu publisistik'. Penamaan tersebut dipicu dari paradigma Adinegoro yang banyak menempuh studi di eropa, tepatnya di Jerman dimana pada masa itu berkembang teori kritis dari Franfurt School dan teori mass media oleh Paul Alex Lazarsfield. Selanjutnya ia menjadi salah satu anggota tim panitia penegrian Fakultas Ilmu Komunikasi yang dinamai 'Fakultas Publisistik' di Universitas Padjajaran.
Namun penamaan tersebut berubah seiring waktu. Perubahan haluan ideologi yang ditanamkan oleh Presiden Soeharto yang lebih condong menerapkan prinsip pembangunan developmentalism ala Amerika Serikat, mulai mengintervensi bidang-bidang keilmuan untuk mendukung misi geopolitik negara maju, yang melihat negara berkembang seperti Indonesia sebagai pasar dan alat untuk modernisasi. Menjadikan pendidikan komunikasi diarahkan untuk mendukung pembangunan dengan pendekatan teori-teori difusi inovasi. Oleh karenanya, pemerintah melakukan intervensi, dengan melakukan perubahan nama 'Fakultas Publisistik' yang dianggap berbau pemikiran 'kiri', diubah menjadi 'Fakultas Ilmu Komunikasi' melalui SK presiden RI No. 47 tahun 1982 tertanggal 7 September 1982 tentang susunan organisasi Unpad, dan Kepmendikbud RI No.133/O/1983 tanggal 5 Maret 1983 tentang organisasi dan tata kerja UNPAD.
Tak sampai di situ, pada sepuluh tahun sebelumnya, pemerintah juga secara tak langsung membentuk citra sarjana komunikasi secara sempit. Melalui kebijakan pembentukan BAKOHUMAS (Badan Koordinasi Kehumasan) berdasarkan Surat Menteri Penerangan Nomor 31 Tahun 1971. Pemerintah berusaha menyelaraskan citra publik, perusahaan dan pemerintah agar dapat mengamankan modal asing. Dalam hal ini, sarjana komunikasi menjadi pion yang digunakan untuk mengubah citra publik tersebut, sehingga anggapan bahwa sarjana komunikasi hanya dapat berkarir sebagai penyiar, jurnalis dan orang yang mentransmisikan pesan terus menerus terdengar hingga saat ini.
Secara garis besar, perubahan ideologi politik di Indonesia banyak memengaruhi perkembangan berbagai keilmuan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Dari intervensi perubahan nama fakultas, pembentukan BAKOHUMAS, hingga perubahan kurikulum yang saat ini condong terhadap teori barat menunjukkan bahwa tidak ada keilmuan yang 100% netral. Seperti halnya ilmu komunikasi yang terus menerus berubah karena sarat kepentingan elit politik.
Sumber foto: Pexels (Frans van Heerden)