TERKIKISNYA BUDAYA MALU DI KALANGAN REMAJA
Oleh Nurlaila S.AP, Alumni Mahasiswa Universitas Negeri Makassar
Budaya malu merupakan bagian penting dalam perkembangan remaja di Indonesia. Secara umum, budaya malu di kalangan remaja dapat didefinisikan sebagai rasa enggan atau ketidaknyamanan yang ditunjukkan remaja ketika melakukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat. Rasa malu ini sebenarnya memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan etika sosial remaja.
Rasa malu yang sehat dapat mendorong remaja untuk melakukan introspeksi dan menjaga perilaku mereka agar tetap dalam koridor yang positif. Hilangnya budaya malu merupakan masalah besar yang dihadapi remaja saat ini. Budaya malu merupakan identitas budaya timur yang penting untuk menjaga kesopanan dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat, namun sayangnya rasa malu sudah tidak dimiliki banyak orang akibat gaya hidup yang tergoda oleh kemewahan dunia khususnya dikalangan para remaja.
Di era modern ini, fenomena terkikisnya budaya malu di kalangan remaja menjadi topik yang semakin penting untuk dibahas. Budaya malu, yang selama ini dipandang sebagai salah satu indikator moral dan etika dalam masyarakat, kini mengalami pergeseran yang signifikan. Melalui artikel ini, kita akan mengeksplorasi berbagai aspek yang menyelimuti isu ini, mulai dari definisi dasar budaya malu hingga dampak yang ditimbulkan oleh sosialisasi modern.
Dalam konteks remaja, budaya malu seringkali berfungsi sebagai pengatur moral, membedakan perilaku yang diterima secara sosial dan yang tidak. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan akses informasi yang cepat, pemahaman dan penerapan budaya malu ini mulai mengalami perubahan.
GAYA HIDUP ANTI MALU
Dalam dunia remaja, perasaan malu lambat laun mulai terkikis oleh gaya hidup kekinian yang cenderung selfish abis. Ekspresi remaja tidak terkendali kalau sudah update konten sosial media. Dari perkataan, perbuatan, hingga joget-joget yang tidak keruan. Yang penting, viral! Di tambah lagi dengan gaya berpakaian yang sudah tidak lagi sesuai dengan norma-norma agama bagi seorang muslimah maupun norma masyarakat.
Oleh karenanya, kita harus hati-hati dengan opini gaya hidup antimalu yang banyak membidik remaja. Kalau rasa malu dikikis untuk hal positif seperti saat latihan berbicara di depan umum itu tidak masalah, justru bagus. Tapi kalau harus mengikis perasaan malu yang menjaga martabat kita sebagai manusia, itu yang perlu harus diperbaiki.
Meskipun tantangan besar dihadapi, pelestarian budaya malu masih sangat mungkin dilakukan. Pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika dalam konteks modern harus diintegrasikan ke dalam kurikulum. Selain itu, dialog antar generasi juga penting untuk mendiskusikan nilai-nilai budaya ini dan bagaimana cara untuk mempertahankannya tanpa mengabaikan kemajuan teknologi.
Sebuah studi terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa remaja yang terpapar lebih banyak pada konten negatif di media sosial menunjukkan penurunan signifikan dalam rasa malu terhadap perilaku yang tidak sesuai. Sebaliknya, remaja yang terlibat dalam kegiatan komunitas yang berbasis nilai budaya luhur cenderung mempertahankan rasa malu mereka. Ini menunjukkan pentingnya intervensi yang proaktif untuk membentuk perilaku positif di kalangan remaja.
Terkikisnya budaya malu di kalangan remaja merupakan isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor modern. Melalui pemahaman yang mendalam mengenai definisi, dampak, dan konteks budaya, kita dapat intervensi yang lebih baik untuk mendorong pelestarian nilai-nilai moral di era digital. Sebagai masyarakat, ada tanggung jawab bersama untuk melindungi dan mempertahankan budaya yang mendorong perilaku positif di masa mendatang
DAFTAR PUSTAKA
https://kumparan.com/odjie-samroji/terkikisnya-budaya-malu-di-kalangan-remaja-23GwA3D3XHB/full (Diakses tanggal 21/08/2025)
https://www.scribd.com/document/422156080/Hilangnya-Budaya-Malu(Diakses tanggal 21/08/2025)
https://baladena.id/darurat-krisis-budaya-malu/ (Diakses tanggal 21/08/2025)
previous post
MABA 2025, SIAP CETAK NILAI A TANPA STRESS?