Dunia pendidikan Indonesia kembali mengalami perubahan baru. Setelah beberapa tahun Ujian Nasional (UN) resmi ditiadakan, kini muncul bentuk evaluasi baru bernama Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan mulai diberlakukan pada November 2025. Namun, berbeda dengan UN yang dulu sempat menjadi penentu kelulusan, TKA justru membawa pendekatan yang lebih fleksibel dan fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Apa saja bedanya?
Sebelumnya, dunia pendidikan sudah terlebih dahulu mengenal Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) atau yang biasa disebut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). ANBK ini difokuskan pada tiga aspek utama yaitu literasi membaca, numerasi, dan karakter siswa. Uniknya, peserta ANBK tidak berasal dari seluruh siswa, melainkan hanya sampel dari kelas 5 (SD), kelas 8 (SMP), dan kelas 11 (SMA). Hal ini menjadikan ANBK sebagai alat evaluasi sistem pendidikan secara keseluruhan, bukan penentu nasib kelulusan siswa satu per satu.
Pemerintah ingin menghadirkan format evaluasi baru yang lebih tajam pada aspek akademik individu, oleh karena itu TKA akan diikuti oleh siswa kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan kelas 12 SMA/SMK/MA. Tes ini mencakup Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan dua mata pelajaran pilihan. Berbeda dari ANBK yang bersifat sistemik, TKA bersifat individual dan hasilnya bisa dijadikan nilai tambahan saat mengikuti jalur prestasi dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) maupun dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di jenjang berikutnya.
Wacana TKA ini disambut dengan beragam respon. Sebagian pihak menyambut baik karena adanya data nasional akan membantu penyusunan kebijakan yang lebih presisi. Namun di sisi lain, beberapa kalangan khawatir evaluasi berskala nasional akan kembali menciptakan tekanan yang berlebihan jika tidak dikelola dengan bijak. Namun untungnya, TKA ini bersifat tidak wajib. Artinya, siswa bebas memilih untuk ikut atau tidak. Meski begitu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti menyebut bahwa siswa yang tidak mengikuti TKA secara otomatis tidak akan memiliki nilai individual akademik yang bisa dijadikan portofolio dalam jalur prestasi.
“Jadi dia untuk ikut itu tidak harus. Tapi kalau dia tidak ikut otomatis dia tidak punya nilai individual,” kata Mu’ti di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Senin (03/02/2025). (Mu'ti, 2025)
Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan kesehatan mental siswa. Pemerintah menyadari bahwa tekanan akibat ujian akhir selama ini menjadi beban yang cukup berat bagi sebagian peserta didik. Oleh karena itu, siswa yang rentan stres disarankan untuk tidak ikut serta.
Meski begitu, nilai TKA justru bisa menjadi golden ticket bagi siswa yang ingin melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, bahkan hingga ke luar negeri. Nilai tersebut dapat memperkuat daya tawar akademik dan menjadi salah satu indikator seleksi masuk di berbagai lembaga pendidikan bergengsi.
Sebagai informasi, pelaksanaan TKA akan dimulai pada November 2025 untuk jenjang SMA sederajat, sementara untuk jenjang SD dan SMP akan menyusul pada 2026. Nantinya, hasil TKA bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam PPDB tahun berikutnya, sekaligus indikator prestasi siswa secara nasional.
Dengan banyaknya pergeseran dan inovasi di dunia pendidikan saat ini, bisa disimpulkan bahwa arah kebijakan pemerintah semakin mengarah pada penguatan kualitas, bukan sekadar hasil ujian. Baik ANBK maupun TKA hadir sebagai refleksi bahwa pendidikan bukan hanya tentang nilai, tetapi tentang membentuk karakter dan kemampuan berpikir kritis generasi masa depan.
Sumber Foto: Zaki Tasnim