Perlu kita ketahui bahwa setiap individu membutuhkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika belajar waktu sekolah dasar dulu, tentu kita telah diajarkan mengenai pembagian kebutuhan hidup yaitu pangan, sandang, dan papan. Namun tentu saja kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan pangan. Sejak zaman nenek moyang, naluri alamiah telah memerintahkan mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka terlebih dahulu, dan pemenuhan tersebut harus dilakukan rutin berkali-kali. Sebagai contoh dahulu nenek moyang kita berburu hewan sebagai bahan makanan, dagingnya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan dan kulitnya dipakai untuk kebutuhan sandang. Metode perburuan terus berlanjut hingga menjadi lebih berkembang berkat kemampuan dan pengetahuan manusia seiring berjalan dengan revolusi.
Hasil revolusi tersebut juga telah membawa banyak perkembangan dan inovasi, mulai dari segi cara, alat, efisiensi, dan cara pemanfaatan serta pengolahannya.
Pada masa sekarang ini kebutuhan pangan tetap menjadi prioritas utama manusia. Semakin banyak populasi manusia maka semakin banyak pula kebutuhan pangan itu sendiri terutama pada wilayah urban atau perkotaan.
Memang untuk di Indonesia sendiri penghasil atau produsen pangan lebih dominan dihasilkan pada wilayah pedesaan yang jauh dari perkotaan dimana jumlah penduduknya sedikit bahkan hasil produksi daerah pedesaan berlebih sehingga hasil pangan di kirim ke wilayah kota untuk menunjang kebutuhan pangan.
Namun yang menjadi masalah adalah saat ini wilayah urban atau perkotaan terlalu bergantung pada hasil produksi pangan yang dihasilkan wilayah pedesaan. Alasan utama penyebab ketergantungan kota adalah jumlah lahan yang tidak memungkinkan untuk menunjang produksi pangan diwilayah kota. Selain itu, zat hara yang membuat kualitas tanah berkurang akibat pembangunan juga turut menjadi alasan kenapa produksi pangan tidak bisa dilakukan. Serta alasan-alasan lain yang membuat wilayah urban atau perkotaan tidak dapat melakukan produksi pangan secara mandiri. Salah satu kota besar yang sekaligus menjadi ibukota adalah DKI Jakarta. Sebagai kota metropolitan dengan jumlah serta tingkat kepadatan penduduk tentu saja membutuhkan ketersediaan pangan. Namun produksi secara mandiri oleh DKI juga tidak bisa dilakukan secara mandiri sebab berdasarkan data statistik provinsi DKI Jakarta, jumlah air tanah pada tahun 2018 jauh lebih banyak yang tercemar (tercemar ringan dan berat) tentu saja membuat DKI Jakarta tidak bisa mempersiapkan lahan secara baik dan benar.
Tentu saja menjadi sebuah permasalahan untuk wilayah kota, namun bukan berarti tidak ada cara lain agar pemenuhan pangan dapat dilakukan.
Solusinya adalah dengan melakukan "URBAN FARMING" pada wilayah-wilayah kota yang berpotensi.
Memang kuantitas yang dihasilkan tidak sebanyak produksi pangan pada lahan yang luas di wilayah pedesaan, sebab urban farming dilakukan pada tempat yang ukurannya terbatas. Namun, setidaknya wilayah perkotaan mampu mengurangi ketergantungan kebutuhan pangan dari wilayah pedesaan.
Selain itu, urban farming juga cocok dijalankan oleh masyarakat kota yang ingin mejalani hidup sehat. Urban farming biasanya dilakukan dengan cara metode hidroponik yaitu dengan lahan dan tempat yang sangat terbatas. Sistem hidroponik sendiri meiliki keunggulan yaitu hasil panen yang lebih menyehatkan sebab memaksimalkan cara penanaman organik dan tidak menggunakan pupuk atau insektisida yang membuat kadar suatu tanaman terpengaruh.
Selain itu, urban farming juga sebagai solusi atas permasalahan krisis dari ruang terbuka hijau. Berbagai sistem penanaman seperti hidroponik, vertikultur, dan aquakultur yang dapat diterapkan di tempat terbatas. Terkadang para pelaku urban farming menempatkan penanaman di atas atap rumah mereka sendiri. menjadi konsep kebun atap, lalu pagar yang diubah menjadi pagar alami dengan konsep taman vertikal dan pipa atau sisa pipa diubah menjadi wadah tanaman hidroponik.
Jika terus dikembangkan urban farming dapat diprediksi kebutuhan pangan dan ketahanan pangan kota itu sendiri. Pemerintah setempat juga harus berperan dalam pembuatan regulasi mengenai urban farming ini.
Selain berdekatan dan berdampingan dengan alam, tentu saja kegiatan urban farming ini bisa mendekatkan diri dengan pegiat lainnya terutama dalam lingkungan bertetangga pada perumahan. Tentu saja dapat menciptakan kebersamaan dan gotong royong dalam lingkungan bertetangga. Tidak hanya itu, urban farming dapat menjadi kegiatan pemberdayaan masyarakat bahkan sebagai penunjang ekonomi dengan melakukan pemasaran secara online.
Jika seluruh kota-kota besar melakukan urban farming maka mungkin saja dapat menghasilkan banyak bahan pangan bahkan selama setahun dan berpotensi menurunkan pencemaran lingkungan. Sebab potensi urban farming berpotensi menghemat pemakaian energi 15 miliar kilowatt perjam dalam setahun dan hanya menghasilkan 170.000 ton nitrogen ke udara. Itu artinya sama saja mencegah 57 meter kubik limpasan badai yang turun yang mencemari sungai dan air bersih.
Nah, untuk kamu yang tengah mempersiapkan kehidupan baru di wilayah perkotaan atau sudah lama tinggal diwilayah perkotaan namun masih bergantung pada hasil produksi pangan di wilayah pedesaan. Apakah kamu sudah mempertimbangkan bagaimana cara kamu agar mampu memenuhi kebutuhan pangan bahkan disaat krisis sekalipun? Mungkin solusi urban farming menjadi hal yang saat ini sangat tepat untuk dilakukan.
previous post
7 Langkah kecil untuk meredakan emosi