ANALISIS EKOKRITIK SASTRA PADA PUISI BERJUDUL DEKAHAN KARYA KHOIRUL MUTTAQIN

Hallo Sobat OSC ! Gimana ni kabarnya ?

Pada kesempatan kali ini, saya akan mengajak Sobat OSC untuk melihat hasil Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Kritik Sastra yang sedang saya tempuh. Mata kuliah ini ada pada semester 5 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Nah, sebelum pembahasannya lebih dalam, saya akan menjelaskan sistem pengerjaannya terlebih dahulu. Jadi, yang pertama Dosen memberikan mahasiswa sebuah kumpulan puisi. Kebetulan Dosen saya mengirimkan kumpulan puisi karya Beliau sendiri yang berjudul "Sajak Pemantik Rindu." Selanjutnya, setiap mahasiswa memilih satu puisi atau lebih untuk dianalisis menggunakan salah satu pendekatan kritik sastra yang telah dipelajari. Beberapa pendekatan kritik sastra yang biasa digunakan antara lain pendekatan ekokritik sasta, gastronomi sastra, feminisme sastra, dan sebagainya. 

Pada buku kumpulan puisi format pdf karya Khoirul Muttaqin tersebut, terdapat sekitar 30 judul puisi dengan ketebalan buku mencapai 35 halaman. Kumpulan puisi tersebut juga dilengkapi dengan biodata penulis, surat pernyataan keaslian karya, serta Kartu Identitas Penduduk (KTP) penulis. Ada banyak tema puisi yang diangkat, seperti kisah kekasih hati, pandemi, filosofi kopi, dan masih banyak lagi. Sehingga mahasiswa bisa lebih mudah untuk memilih satu atau bahkan semua judul puisi untuk dianalisis. Nah, setelah beberapa pertimbangan, akhirnya saya memilih untuk menganalisis satu judul puisi berjudul 'Dekahan' yang akan dianalisis menggunakan pendekatan ekokritik sastra. Yuk simak selengkapnya !

Kumpulan Puisi Karya Khoirul Muttaqin Berjudul Sajak Pemantik Rindu

            Khoirul Muttaqin senantiasa merasa bersuyukur atas pemberian kehidupan dari Yang Maha Kuasa karena telah menciptakan alam untuk memenuhi kebutuhan para insan di bumi. Ungkapan rasa syukur itu Beliau tuangkan dalam sajak puisi, sesuai dengan kemahirannya untuk merangkai kata-kata. Beliau ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca melalui salah satu karya puisinya dalam kumpulan puisi yang berjudul ‘Sajak Pemantik Rindu.’ Berikut isi puisi Khoirul Muttaqin.

Dekahan

 

Tentang sebuah pemberian

Pantaskah diri tak merasa bahagia

Saat tanah memberi berkah

Hujan tercurah tanpa diminta

 

Tentang sebuah kasih sayang

Alam tak pernah durhaka

Pada diri yang tak berhenti mengeja

 

Palawija telah tercernah

Air terteguk dan tak surut

Waktu membagi kasih

Pada bumi dan insan

 

Tentang sebuah persembahan

Untuk Pencipta

Tetapi sesama

Jauh lebih merasa

Analisis dan Paradigma Ekokritik Sastra

            Secara sederhana, ekokritik dapat dipahami sebagai kritik berwawasan lingkungan. Menurut Greg Garrard (2004), ekokritisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan mengambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang budaya. Ekokritisme dapat pula sebagai sikap kritis dari gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: Pencemaran (Pollution) hutan belantara (Wilderness) bencana (Apocalypse), perumahan atau tempat tinggal (Dweling), binatang (Animals), dan Bumi (Earth).

Ekokiritik muncul karena adanya kesadaran dalam diri manusia tentang kebaradaan alam semesta yang sepertinya layak untuk diperhatikan. Karya sastra lahir dari imajinasi pengarang dengan menggunakan alam semesta sebagai bentuk cerminan untuk menggambarkan isi sebuah karya sastra. Alam telah menjadi bagian dari sastra. Hal ini dibuktikan oleh segala fenomena yang membangun sebuah alur dan latar karya sastra selalu menjadikan alam semesta sebagai objek karya sastra.

Dikutip dari https://www.riausastra.com/2020/02/10/analisis-ekokritik-sastra-pada-puisi-williem-iskandar-berjudul-mandailing/ dijelaskan bahwa ekokritik dapat diaplikasikan dalam sebuah karya sastra untuk menjawab sejumlah tujuh pertanyaan terkait dengan ekokritisme dalam sastra, salah satunya, yaitu Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi? Maka yang akan diuraikan pada analisis berikut adalah untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Bagaimana Alam Diinterpresentasikan dalam Puisi Dekahan karya Khoirul Muttaqin?

            Pada puisi Dekahan karya Khoirul Muttaqin terdapat beberapa kata dan frasa yang mengungkapkan alam. Berikut pemaparannya:

Pada bait ke-1

Tentang sebuah pemberian

Pantaskah diri tak merasa bahagia

Saat tanah memberi berkah

Hujan tercurah tanpa diminta

Bait di atas menyebutkan nama tanah yang disediakan oleh Allah SWT., kepada manusia untuk diolah menjadi lahan yang dapat membuahkan hasil. Bait ini mengingatkan saya pada lirik ‘Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,’ yang ada di salah satu iklan TV. Tanah bisa memberikan keberkahan bagi orang-orang yang mau berusaha dan tlaten mengurusnya. Misalnya, masyarakat yang berpenghasilan dari petani, tentu akan mengolah tanahnya menjadi lahan yang subur dengan menanami berbagai macam tanaman, seperti padi, singkong, jagung, dan lainnya. Sementara bagi masyarakat yang berkecimpung dalam dunia perkantoran, tentu akan mengolah tanah menjadi bangunan tinggi menjulang. Rumah yang kita tempati saat ini pun juga berada di atas tanah. Tanpa kita sadari, Tuhan telah menciptakan tanah yang begitu luas, sehingga manusia puas, tetapi terkadang kita lupa akan hal itu.

Selanjutnya, manusia tentu tidak akan mampu untuk membuat tanah di bumi menjadi lembab dalam waktu sebentar. Namun, dengan kuasa Allah SWT., Ia pun menurunkan hujan ke bumi tanpa harus manusia yang meminta (Meskipun terkadang tak demikian). Hujan membawa kebermanfaatan bagi makhluk hidup. Salah satunya adalah tumbuh-tumbuhan dapat hidup subur, binatang-binatang dapat minum dengan nyaman, dan manusia juga pasti senang apabila musim cocok tanam datang karena hujan yang tercurah juga membantu mempercepat masa panen tiba.

Pada bait ke-2

Tentang sebuah kasih sayang

Alam tak pernah durhaka

Pada diri yang tak berhenti mengeja

            Bait berikutnya, pengarang menyinggung tentang kebaktian alam terhadap manusia, meskipun terkadang ada orang yang dengan sengaja ingin merusaknya. Alam tak pernah memberikan bencana apabila manusia mampu memahaminya. Alam melimpahkan kekayaannya, mulai dari tumbuhan yang beracun hingga tumbuhan yang dapat dimakan secara langsung. Alam seolah tak pernah ingin habis sumber kekayaannya karena manusia sangat bergantung padanya.

Alam bukan seperti pikiran manusia yang apabila disakiti langsung dibalas. Contohnya, manusia menebang pohon di hutan secara liar. Apakah pada saat itu Hutan akan langsung terjadi longsor? Tentu beberapa waktu yang akan datang, jika hal it uterus berulang, maka tak menutup kemungkinan Alam menjadi durhaka padanya. Dengan menjaga kelestarian alam, maka itu adalah bentuk kasih sayang kita kepada ciptaan Tuhan.

Pada bait ke-3

Palawija telah tercernah

Air terteguk dan tak surut

Waktu membagi kasih

Pada bumi dan insan

            Dari bait puisi di atas, Khoirul Muttaqin menegaskan kembali bahwa kekayaan alam ini sangat melimpah. Tak hanya soal hujan yang dapat menyuburkan tanaman para petani, tetapi ada tanaman palawija (Tanaman yang biasa ditanam petani saat musim kemarau). Artinya, begitu adil Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia ini lewat ketersediaan bahan-bahan dari alam. Kita bisa memakan kentang, mentimun, wortel, ubi jalar, labu siam, dan sebagainya yang termasuk dalam jenis tanaman palawija. Bahkan dahulu, karena sumber daya alam Indonesia yang melimpah, Belanda menjajah dan mengeksploitasinya.

Tak hanya itu, ketika menulis puisi, Khoirul Muttaqin juga sadar akan sumber alam yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di bumi ini, yaitu air. Coba perhatikan, ada berapa puluhan juta penduduk di dunia ini! Lalu semuanya perlu air. Manusia butuh air untuk keperluan rumah tangga, tumbuhan perlu air untuk proses fotosintesis, dan hewan pun membutuhkan air untuk minum. Namun, pengarang tak menemukan kondisi di mana air menjadi surut. Pada kondisi saat ini, air justru melimpah ruah sampai meluap ke beberapa daerah. Entah karena manusia berulah atau memang bumi yang sudah merasa bahwa manusia tak bisa membagi waktunya antara urusan sosial dengan reboisasi.

Dekahan sendiri merupakan tradisi yang mengandung makna untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rezeki melalui tanaman yang ditanam oleh masyarakat dan memohon keselamatan, ketentraman, serta kesejahteraan dalam hidup. Oleh karena itu, pengarang mencoba melihat keadaan alam di sekitarnya, terutama pada dunia pertanian yang identik dengan lahan tanah, rintik hujan, tumbuhan palawija, dan aliran air.

Demikianlah uraian ekokritik pada karya puisi Khoirul Muttaqin yang berjudul Dekahan. Pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Khoirul Muttaqin akan menjadi panutan dan refleksi yang sangat bernilai untuk generasi di masa kini dan yang akan datang. Pesan moral yang disampaikan sesuai dengan nilai-nilai dalam mengolah kekayaan alam Indonesia dan tradisi masyarakat setempat yang disejajarkan dengan sikap religius. Sehingga kehidupan manusia dalam keadaan harmonis, baik antara dirinya dengan Tuhannya maupun dirinya dengan orang lain.

Referensi:

Kumpulan Puisi Sajak Pemantik Rindu karya Khoirul Muttaqin yang berhasil diselesaikan pada tahun 2021 di Kota Malang.

Artikel Analisis Ekokritik Sastra pada Puisi Williem Iskandar Berjudul Mandailing yang ditulis oleh Listi Mora Rangkuti pada tahun 2020 di laman Riau Sastra.

Demikian Sobat OSC hasil dari UTS Mata Kuliah Kritik Sastra milik saya. Semoga dapat menjadi referensi Sobat OSC yang akan mengalisis sebuah karya sastra. Semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk membagikan artikel ini ke berbagai media sosial kalian ya ! Sampai jumpa pada artikel selanjutnya :) 

  3967 Views    Likes  

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MODEL KOLB DAN MODEL GROUP INVESTIGATION

previous post

Pelantikan Bantara Pramuka: Membangun Generasi Berkarakter
PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MODEL KOLB DAN MODEL GROUP INVESTIGATION

next post

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MODEL KOLB DAN MODEL GROUP INVESTIGATION

related posts