Survey American Time Use (2019) menemukan bahwa kaum Ayah jauh lebih bahagia, tidak lebih stress dan tidak lebih lelah dari kaum Ibu. Belum lagi berbagai laporan dan fakta yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari bahwa kaum Ibu melakukan lebih banyak pekerjaan rumah dan mengasuh anak ketimbang kaum Ayah; bahkan ketika keduanya bekerja. Ada juga laporan yang menyebutkan bahwa sebesar apapun kontribusi kedua orang tua dalam bekerja secara full-time di luar rumah, kaum Ibu merasakan perasaan bersalah lebih besar daripada kaum Ayah atas dampak negatif terhadap anaknya akibat sibuk bekerja.
Salah satu argumen yang paling sering kita temukan untuk penjelasan akan pengalaman kaum Ibu ini adalah: bahwa fenomena ini terjadi karena pria dan wanita tersebut tidak hidup “sebagaimana alamiahnya”. Argumen yang menarik, karena aliran pemikiran ini berpandangan bahwa pria secara alami adalah yang mendominasi, sementara wanita secara alami hanyalah ibu rumah tangga.
Benarkah begitu kodratnya?
Tidak. Patriarki bukanlah situasi manusia yang natural, alami, atau “sesuai kodratnya”. Kalian tahu fenomena dimana patriarki bisa menjadi penentuan hidup atau mati? Menurut United Nations Population Fund atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa, setidaknya 126 juta wanita dan anak perempuan di seluruh dunia “menghilang” akibat aborsi yang memihak satu gender tertentu, pembunuhan bayi, hingga penelantaran. Perempuan di beberapa negara tertentu memiliki sedikit sekali kewenangan sehingga tidak mampu bepergian, menyetir, bahkan menunjukkan wajah mereka tanpa seizin pria. Negara seperti Inggris saja, misalkan, yang telah memiliki undang-undang kesetaraan, masih menyaksikan pemberitaan seperti dibunuhnya 2 wanita setiap minggunya oleh pasangan pria; atau bagaimana kekerasan dimulai sejak masa remaja gadis. Pekerjaan-pekerjaan dengan gaji terbaik sebagian besar dipegang oleh pria, dan buruh yang tak dibayar sebagian besar terdiri dari wanita. Secara global, ranah keilmuan ahli didominasi pria, sementara pengakuan untuk kontribusi wanita tidak lebih banyak, mengingat wanita hanya menerima 2,77% penghargaan Nobel untuk ilmu pengetahuan.
Ada segelintir alasan biologis penting mengenai mengapa pria dan wanita memiliki peran dan status yang berbeda dalam masyarakat (society) kita. Steven Pinker berargumen bahwa pria cenderung bekerja dengan “barang”, sementara wanita cenderung bekerja dengan “orang”. Inilah mengapa, menurut Pinker, lebih banyak wanita yang bekerja di sektor amal dan kesehatan yang bergaji rendah, ketimbang memperoleh gelar PhD dalam sains.
Tentu saja ada perbedaan-perbedaan biologis lainnya antara pria dan wanita, entah itu dalam hal anatomi seksual maupun hormon. Namun praktiknya tidak sejelas dan sesederhana itu. Dikatakan bahwa otak pria secara keseluruhan sedikit lebih besar dari wanita dan terdapat beberapa keterhubungan antara bagian-bagian spesifik otak. Namun, sesungguhnya hanya segelintir 0-8% dari individu pria dan wanita yang memiliki apa yang tadi disebut “otak pria” atau “otak wanita”. Kebanyakan orang biasanya ada di pertengahan; dan apakah seseorang memiliki kemampuan di bidang matematika, leadership, atau bidang lainnya tidak dapat memprediksi status gender mereka.
Tidak ada bukti bahwa wanita tidak lebih mampu dalam bekerja dan menjabat di posisi strategis yang biasanya dipegang pria. Para peneliti menegaskan bahwa hal tersebut merupakan suatu bias terhadap wanita, sebagaimana distribusi gender yang terjadi dalam penghargaan Nobel. Kaum wanita sama sekali tidak kurang cerdas, kurang logis, maupun kurang mampu daripada kaum pria. Akar dari patriarki, karena itu, jelas tidak memiliki bukti secara biologi.
Lawan dari patriarki, yaitu masyarakat matriarki, nyatanya telah menjadi fenomena umum di komunitas kuno kita. Hubungan antar wanita yang kuat telah membantu melekatkan ikatan komunitas tersebut. Ada beberapa masyarakat yang menganut budaya matriarki sebagai norma, seperti orang Bribri yang bertani kakao di Kosta Rika, serta petani Minangkabau dari Sumatra, Indonesia. Di komunitas-komunitas ini, wanita adalah pemilik lahan serta pembuat keputusan.
Dengan demikian, manusia tidak secara genetik “terprogram” untuk dominasi pria. Tidaklah menjadi lebih alami untuk manusia hidup dalam patriarki ketimbang matriarki atau egaliter. Adalah hal yang sangat penting untuk diingat, bahwa tidak seperti hewan, manusia adalah makhluk budaya (cultural beings); dimana bagi kita, budayalah sifat alami kita, sekaligus kunci untuk memahami perilaku serta motivasi manusia. Jika kita tetap memilih berada dalam ide bahwa benar terdapat cara alami, yang natural dan terbaik, untuk menjadi “manusia”, itu berarti kita membutakan diri terhadap keragaman sudut pandang yang luar biasa, dan memaksakan pemaksaan sosial terhadap mereka yang pilihan hidupnya sesungguhnya sama sah-nya dengan kehidupan kita.
Bunting, M. (2010). The truth about sex difference is that if men are from Mars, so are women. The Guardian.
Gimlette, J. (2013). Lore of the jungle: life with Costa Rica's indigenous peoples. The Guardian.
Vince, G. (2019). Smashing the patriarchy. The Guardian.
Referensi Gambar
Pinterest. https://id.pinterest.com/pin/351912461514534/
Pinterest. https://id.pinterest.com/pin/448811919117876465/