Mendikbud Nadiem Makarim membuat rencana akan membuka pembelajaran tatap muka di sekolah pada tahun ajaran baru 2021/2022 pada bulan Juli. Nadiem berharap rencana untuk membuka pembelajaran tatap muka ini bisa terwujud meskipun dengan terbatas lantaran saat ini para guru mulai melakukan vaksinasi hingga mencapai lima juta lebih yang terdiri dari guru dan dosen. Pernyataan tersebut menuai pro dan kontrak dalam pemerintah dan juga masyarakat lantaran angka kasus virus korona di Indonesia saat ini masih terus bertambah hingga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, khususnya sebagian orang tua murid jika pembelajaran tatap muka akan dilaksanakan. Namun, jika para tenaga pendidik sudah divaksin, kemudian bagaimana dengan anak-anak yang akan menjalani pembelajaran tatap muka? Sedangkan hingga saat ini belum ada vaksin Covid-19 untuk anak-anak.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menegaskan, kebijakan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi Covid-19 bisa dilaksanakan apabila angka positivity rate-nya di bawah lima persen. Jika masih di atas lima, berarti belum aman dan masih sangat berpotensi untuk terjadinya penularan Covid-19. Hal ini sesuai dengan standar yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Positivity rate merupakan perbandingan yang dilakukan berdasarkan jumlah kasus positif Covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan. Sementara itu, berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 27 Februari 2021, angka positivity rate secara nasional sebesar 24,30 persen. Meskipun sebenarnya angka ini mengalami penurunan dibanding Januari 2021, yaitu sebesar 26,05 persen. Melihat angka positivity rate yang masih cukup tinggi, tak selayaknya pemerintah membuka pembelajaran tatap muka. Oleh karena itu, setidaknya Nadiem Makarim perlu memertimbangkan situasi ini sebelum mengeluarkan wacana pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran baru sehingga tidak membuat masyarakat mengalami gangguan mental akibat tertekan oleh situasi yang membingungkan. Untuk melakukan Positivity rate, perlu dipertimbangkan dan didukung dengan mengetahui kategori zonasi wilayah yang bersangkutan. Apakah zona hijau, kuning, atau justru zona merah?
Kawasan zona wilayah perlu diperhatikan mengingat para siswa tak selalu berasal atau bersekolah di zona yang aman. Bagi siswa yang berada di zona aman, tidak akan terlalu menjadi masalah jika sekolah menjalankan pembelajaran tatap muka. Tetapi, siswa yang berada di zona tidak aman tentu akan mempermasalahkannya dan bisa mengurangi semangat mereka untuk segera ingin belajar tatap muka. Menurut Nadiem, Indonesia sudah tertinggal dengan empat Negara di kawasan Asia dan 28 Negara lainnya yang telah melakukan pembelajaran tatap muka. Data ini bisa saja menjadi salah satu faktor untuk membuka pembelajaran tatap muka di Indonesia. Di sisi lain, anak-anak di Indonesia belum terbiasa dengan protokol kesehatan yang ketat sehingga hal ini berlawanan dengan keinginannya untuk belajar di sekolah. Pembelajaran tatap muka seharusnya tidak dilakukan secara terburu-buru karena pemerintah daerah terlebih dahulu harus melakukan pemeriksaan (Testing) dan pelacakan (Tracing) dengan benar. Upaya ini dilakukan agar kasus positif Covid-19 dapat diketahui secara menyuluruh hingga ke pelosok desa, bukan hanya diperioritaskan di kota-kota saja. Perlu diketahui bahwa terdapat sekolah yang berada di desa tetap melakukan pembelajaran tatap muka karena merasa pemerintah tak terlalu memperhatikan bagaimana kondisi pendidikan di desa dan berada di tengah-tengah pandemi seperti ini. Situasi seperti ini bisa saja menjadikan anak-anak di desa untuk mendukung penuh wacana Nadiem Makarim terkait pembelajaran tatap muka. Padahal, anak-anak ini tak banyak tahu soal bagaimana virus korona menguasai dunia, terutama pada kesempatan belajar mereka.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga menilai keputusan Mendikbud yang akan membuka seluruh sekolah pada Juli 2021 terlalu tergesa-gesa untuk dilakukan. Keputusan ini dianggap tidak sesuai dengan situasi saat ini, dimana banyak tenaga pendidik yang hingga saat ini belum mendapatkan vaksin. Hal ini berlainan dengan harapan Nadiem bahwa vaksinasi guru dan dosen selesai pada Juni 2021 dengan tujuan memercepat pembukaan sekolah di tahun ajaran baru pada pertengahan 2021. Proses vaksinasi terbilang lambat, apalagi terpotong dengan bulan Ramadhan. Namun, jika pemerintah tetap ingin membuka sekolah pada pertengahan tahun ini, maka seharusnya sekolah juga memfasilitasi protokol kesehatan (Prokes) dengan baik dan mengadopsi kebiasaan baru (AKB) yang lebih ketat, seperti wajib menggunakan masker dan face shield, menyediakan thermo gun untuk memeriksa suhu tubuh seluruh warga sekolah, wajib mencuci tangan sebelum masuk ke lingkungan sekolah, berjaga jarak dan membuat sekat yang terbuat dari kaca atau plastik pada tempat duduk siswa.
Faktor-Faktor yang Menuai Pro Kontrak Pembelajaran Tatap Muka Tahun Ajaran Baru bagi Wali Murid Siswa
Jika vaksinasi menjadi dasar Nadiem Makarim untuk membuka pembelajaran tatap muka, bagaimana jika keakuratan vaksin tersebut hanya sekitar 60% saja? Masih banyak wali murid yang menganggap bahwa hanya sudah diberikan vaksin, orang tersebut bisa tercegah dari virus Covid-19. Oleh karena itu, para wali murid masih banyak yang tidak menerima apabila anaknya harus belajar tatap muka pada pertengahan tahun ini. Memang akan lebih baik jika saat ini murid masih melakukan pembelajaran jarak jauh. Meskipun hal ini juga menuai permasalahan yang cukup rumit. Tetapi, setidaknya anak-anak masih dalam lingkup keluarganya di rumah dan masih bisa menjalankan kewajibannya sebagai pelajar. Perkara terdapat anak-anak yang terpapar virus corona walaupun di rumah, akan lebih menjadi masalah jika anak-anak justru terpapar Covid-19 di sekolah. Selain itu, kita juga harus memikirkan apakah sudah matang rencana dan persiapan yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak sekolah untuk belajar secara offline?
Meskipun demikian, sebagian wali murid juga menyetujui rencana pembelajaran tatap muka ini dengan syarat harus dilakukan secara sistem bergilir dan protokol kesehatan yang ketat. Persepsi ini juga sering dilontarkan oleh para orang tua yang menghadapi kegiatan belajar anaknya di rumah dirasa kurang efektif. Apalagi orang tua yang berdomisili di daerah pedesaan. Kasus covid-19 di desa memang belum melonjak seperti di kota sehingga hal ini memicu para orang tua tidak terlalu mencemaskan penularan covid-19 terhada anak-anaknya jika belajar di sekolah. Selain itu, para orang tua ini juga merasa ada kesenjangan antara sektor industri, pariwisata, bahkan tempat hiburan saja dibuka, tetapi sekolah yang dianggap lebih penting justru ditutup.
Para orang tua menginginkan agar anak-anaknya mendapatkan pelayanan yang baik terhadap pendidikan dan masa depannya. Namun, di sisi lain mereka juga tidak ingin apabila sesuatu yang buruk menimpa anak-anaknya. Oleh karena itu, pemerintah perlu memaksimalkan pembelajaran daring dan pencegahan kasus Covid-19 terlebih dahulu sebelum mencanangkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan