Bagi kebanyakan orang, dihadapkan oleh kematian merupakan hal yang menyeramkan. Namun, lain halnya untuk Morrie Schwartz, salah satu dosen sosiologi Universitas Braindeis di kota Waltham, Massachusetts. Didiagnosa mengidap penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) dan diprediksi akan meninggal dalam hitungan bulan, justru membuat Morrie memaknai hidup dengan cara yang berbeda. Apa yang Morrie lakukan ketika mengetahui sisa hidupnya yang tidak lama lagi? Bagaimana ia memaknai hidup di tengah situasi yang serba terbatas dan sulit untuk melakukan banyak hal?
Hal tersebut dibahas Morrie dalam pertemuannya setiap hari Selasa dengan Mitch Albom yang merupakan salah satu mahasiswa Morrie semasa Morrie mengajar di Universitas Braindeis. Pertemuan ini bermula dari Mitch yang pada suatu saat sedang memutar saluran televisi. Kemudian menemukan Morrie, sosok yang sangat berjasa bagi hidupnya di masa perkuliahaan, sedang diwawancara dengan tubuhnya yang terlihat lemah karena penyakit yang dideritanya. Melihat hal tersebut, dirinya kemudian memutuskan untuk menemui Morrie setelah sekian lama tidak bertemu. Setelah berbincang, mereka sepakat akan bertemu setiap hari Selasa di kediaman Morrie. Pertemuan ini mereka anggap sebagai kelas terakhir yang membahas tentang nilai-nilai kehidupan. Pertemuannya dengan Morrie setiap hari Selasa diabadikan oleh Mitch dalam sebuah buku yang berjudul Tuesdays with Morrie.
Tuesdays with Morrie merupakan buku yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Buku ber-genre memoir ini, kini telah terjual lebih dari 15 juta jilid dalam lebih dari 50 edisi di seluruh dunia. Tidak seperti buku non-fiksi pada umumnya yang ditulis dengan bahasa yang berat dan kerap kali menggunakan istilah ilmiah, buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, sehingga tidaklah sulit untuk menghabiskan buku dengan kurang lebih 210 halaman. Membahas hal-hal tentang kehidupan lewat hubungan hangat dan murni yang digambarkan antara seorang guru dan murid membuat pembaca merasa dekat dan ikut larut dalam obrolan Morrie dan Mitch di setiap halamannya.
Buku ini mengingatkan pembacanya akan fakta bahwa kadang kita sebagai manusia lupa untuk mensyukuri hidup. Hal yang dapat dipetik dari sosok Morrie bahwa baginya tidak ada kata terlambat dalam memulai sesuatu bahkan dalam hari-hari terakhirnya. Kematian, seperti halnya kelahiran, menurutnya hanyalah bagian dari proses kehidupan. Morrie percaya bahwa daripada menganggap kematian sebagai suatu yang menyeramkan dan berlarut-larut dalam kesedihan, menghargai setiap momen yang terjadi pada diri kita seiring bertambahnya usia akan membuat hidup kita menjadi lebih bermakna karena pada akhirnya, cepat atau lambat, setiap makhluk yang hidup di dunia ini pasti akan mati. Hal yang membedakannya adalah bagaimana tiap-tiap manusia menjalani sisa hidupnya. Alih-alih terpuruk dan larut dalam kesedihan, Morrie justru menemukan makna hidup yang baru setelah ia didiagnosa dengan penyakit ASL-nya, “Once you learn how to die, you learn how to live.”
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan