Sesuai namanya, buku ini menceritakan tentang "The Courage To Be Disliked" yang berarti keberanian untuk menjadi tidak disukai. Maksud dari buku ini kurang lebihnya adalah untuk menjelaskan kita beberapa perspektif baru yang dapat mengubah cara pandang kita terhadap dunia, sehingga kita bisa mendapatkan kebahagiaan hidup yang lebih baik.
Sejujurnya saya baru memulai membaca buku ini dan belum sepenuhnya mengerti bagian pelajaran mana dari buku ini yang berkaitan dengan keberanian untuk tidak disukai yang menurut saya pasti berkaitan tentang interaksi kita dengan orang lain. Di awal buku ini masih dibahas tentang beberapa kasus tentang pengendalian diri kita terhadap cara kita menyikapi dan menginterpretasikan sesuatu. Mungkin kedepannya berdasarkan basis pengendalian diri itu, dikembangkan lebih lagi hingga menjadi interaksi antar manusia.
Namun, yang ingin saya soroti di sini bukan perihal itu, melainkan sesuatu yang saya rasa menarik di awal bacaan buku ini yang berkaitan dengan cara kita menginterpretasikan sesuatu. Di mana penulis, Ichiro Kishimi bersama dengan Fumitake Koga menulis bahwa emosi adalah suatu alat yang kita gunakan untuk mencapai sesuatu. Pernyataan tersebut berdasarkan ilmu teleologi yang merupakan suatu ajaran yang menerangkan bahwa segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu.
Penulis menganalogikan pernyataan tersebut dengan sebuah cerita tentang anak muda yang berteriak kepada seorang pelayan, karena pelayan tersebut menumpahkan kopi ke jaketnya yang baru. Anak muda itupun bercerita kepada seorang filsafat, bahwa pada saat itu ia benar benar tidak bermaksud untuk berteriak karena ia terstimulasi oleh rasa marah. Filsafat itu pun menginterpretasikan kejadian tersebut sebaliknya, di mana justru amarah itulah yang menghantarkan keinginan si anak muda untuk berteriak dan memposisikan dirinya lebih tinggi terhadap seorang pelayan tersebut, agar argumennya lebih terdengar. Anak muda itupun membatah hal tersebut, begitu juga saya sebagai pembaca, saya merasa bahwa itu tidak sesuai, kita semua tahu bahwa emosi adalah sesuatu yang harus kita kendalikan, karena jika tidak emosi ini sendirilah yang akan mengendalikan kita.
Saya kemudian membaca kembali analogi yang disampaikan oleh seorang filsafat itu dengan suatu cerita tentang seorang ibu yang sedang bertengkar dengan anaknya. Di sela - sela pertengkaran, tiba - tiba terdengar suara telepon dan ibu tersebut pun mengangkatnya. Awalnya nada ibu tersebut masih keras, tetapi saat mengetahui bahwa telepon tersebut adalah seseorang yang penting, ibu tersebut pun memelankan kembali suaranya dan bersuara selembut mungkin. Hingga saat obrolan di telepon usai dan ibu tersebut menutup teleponnya, ibu tersebut kembali meninggikan suaranya untuk anaknya.
Berdasarkan cerita tersebut, filsafat ingin menjelaskan bahwa sebenarnya emosi itu ada, amarah sekalipun termasuk sebagai emosi yang seketika, tetapi sebenarnya itu merupakan suatu alat yang bisa kita 'hidup matikan' untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti pada konteks ibu tersebut yang menggunakan emosi tersebut untuk membuat suaranya lebih terdengar kepada anaknya dan sempat lupa 'mematikan' alat tersebut saat berbicara di telepon. Konsep ini memang kurang lebih merupakan suatu bentuk pengendalian diri, tetapi yang terpenting di sini adalah dengan pandangan bahwa "emosi adalah suatu alat" kita lebih terdorong untuk menyadari bahwa kita bertanggung jawab penuh atas apapun yang kita perbuat dalam hidup ini, tidak ada satupun emosi yang bisa menggantikan tanggung jawab atas semua perbuatan yang kita lakukan. Dengan demikian, kita tidak akan lagi bisa berlagak seperti korban akan emosi yang ada dan dapat lebih baik lagi dalam mengendalikannya.
Sebagai penutup, bagi saya tidak ada suatu acuan yang bisa mengatakan semua itu sebagai suatu kebenaran atau kesalahan, karena semua itu juga merupakan suatu pandangan dan cara berpikir. Namun, setidaknya ada pembelajaran yang bisa kita dapatkan di sana yakni untuk tidak membiarkan diri kita dikendalikan oleh suatu emosi yang akhirnya menjerumuskan kita pada sesuatu yang negatif, melainkan dengan menyadari setiap emosi yang ada diri kita itu ada dan memanfaatkannya sebaik mungkin dalam menjalani hidup.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan