Cancel Culture, Bagai Pisau Bermata Dua

Sobat OSC, kalian ada yang tau enggak apa itu cancel culture? Atau mungkin kalian pernah atau bahkan sering melakukannya juga?

Atau mungkin kalian sudah sering dengar klarifikasi dari public figure, influencer, ataupun content creator di media sosial setelah terseret kasus tertentu. Dari komentar-komentar para netizen, pernah enggak Sobat OSC menemukan komentar yang meminta untuk meng-cancel dan tidak menghiraukan dan memberi panggung/ perhatian bagi si tokoh tersangka dalam kasus tersebut? Komentar itu bermaksud sebagai bentuk cancel culture.

Cancel culture itu sebenarnya apa sih?

Cancel culture adalah sebuah bentuk pengucilan dimana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau professional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Seiring berjalannya waktu, cancel culture dapat dipahami sebagai tindakan boikot massal sebagai bentuk sanksi sosial masyarakat atau netizen kepada seseorang atas perilaku yang menyimpang, negative atau dianggap tidak pantas. Orang yang diboikot massal ini diharapkan tidak lagi tampil di media atau diberhentikan dari pekerjaannya sehingga seseorang yang mengalami cancel culture biasanya karirnya akan meredup dan bahkan hancur.

Atau pun secara sederhana, cancel culture merupakan fenomena penarikan dukungan pada seseorang setelah apa yang dilakukan atau dikatakannya dinilai bersifat offensive dan problematic. Fenomena ini mulai populer pada tahun 2019, yang mayoritas dilakukan secara online di kalangan millennial karena tingkat akses dan literasi digital yang meningkat.

Apa tujuan cancel culture? Tujuan inti atau dasar dari fenomena ini yaitu mencoba membela kebenaran atau korban, memberikan hukuman dan pembelajaran pada si tertuduh bahwa yang dilakukannya salah, serta tidak percaya pada kinerja sistem dan aparat hukum sehingga mencoba memberikan hukuman sendiri bagi pihak yang dianggap salah.

Apa dampak dari cancel culture? Ini merupakan suatu fenomena boikot yang berdampak besar terhadap tersangka atau sasaran cancel, seperti rusaknya citra diri karena pengucilan dari masyarakat, mengganggu kesehatan mental akibat caci maki di dunia nyata dan internet, serta potensi hancurnya karir masa depan karena citra negative.

"Bagai pisau bermata dua"?

Pada dasarnya, cancel culture bisa bermakna positif apabila tujuan awalnya bisa tercapai yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan atau dikatakan. Dengan adanya cancel culture, diharapkan seseorang bisa belajar dari kesalahan dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu, cancel culture juga menjadi warning untuk kita agar selalu berhati-hati dengan apa yang dikatakan dan dilakukan, terutama di media sosial.

Namun disisi lain, tak jarang cancel culture malah berakhir menjadi tindakan public shaming atau mempermalukan seseorang di muka publik. Netizen beramai-ramai membongkar personal life dan mencari-cari kesalahan masa lalu. Fokusnya bukan lagi pada kasus tetapi pada individualnya. Tujuannya pun tidak lagi sebagai bentuk pertanggungjawaban, tetapi lebih merujuk pada pemberian punishment. Ataupun haters yang malah menggunakan situasi tersebut untuk membongkar aib yang tidak relevan dengan kasus yang ada.

Bahaya/ Pengaruh Cancel Culture?

Di era media sosial cancel culture seringkali menjadi bentuk protes sosial karena dalam beberapa kasus seseorang yang bersalah tidak mendapatkan proses hukum sesuai dengan harapan masyarakat. Cancel culture dianggap sebagai hukuman alternative dikarenakan hukum sejati tidak mampu memberikan hukuman yang dianggap setimpal. Seseorang yang mendapatkan cancel memang terkadang tidak mendapat hukuman pengadilan namun reputasinya yang hancur membuatnya hidup dalam pengasingan sosial. Hukuman sosial dalam cancel culture bahkan bisa lebih kuat efeknya daripada keputusan hukum pengadilan terhadap pelaku criminal, apalagi bullying yang menjadi ujung perkara dari tindakan cancel culture. Tindakan bullying dapat membuat yang terdampak cancel culture merasa takut dan terisolasi. Menurut studi yang dirilis di BMC Psychiatry pada 2017, kondisi ini dapat menigkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan. Mereka yang terkena cancel culture bisa kehilangan karir, kehilangan reputasi, ditinggalkan keluarga, bahkan jika kondisi mentalnya terus terpuruk, dapat menyebabkan bunuh diri.

Sebagian orang menganggap cancel culture dapat berbahaya bagi kebebasan menyampaikan pendapat. Dalam beberapa kasus cancel culture dilakukann kepada orang-orang dengan pendapat yang kurang populer atau dianggap berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Seseorang yang sesungguhnya bermaksud mengungkap kebenaran namun masyarakat tidak dapat menerimanya juga bisa terkena cancel culture. Tentu hal ini membuat banyak orang merasa takut dalam menyampaikan pendapat. Untuk itu sebagai pengguna media sosial yang baik, kita juga perlu bijak dalam menanggapi setiap informasi. Lakukan konfirmasi suatu berita, hidnari asumsi dan tunggu hingga terdapat klarifikasi dengan pikiran terbuka. Terima perbedaan pendapat sebagai bagian dari kebebasan setiap manusia.

 

Cancel culture is not actually about justice. It is about control. People use cancellation to force conformity to ideals.”- Teal Swan

Cancel culture seringkali menjadi kekuatan massa besar yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku untuk berhenti melakukan aksi negatifnya serta mendorong para penegak hukum untuk dapat memproses secara hukum. Namun cancel culture seringkali hanya menjadi aksi main hakim sendiri yang merusak reputasi seseorang dan masa depannya melalui perundungan massal, sementara kesalahannya belum benar-benar terbukti. Seseorang dianggap layak untuk dihancurkan karir dan hidupnya seolah segalanya tak dapat diperbaiki. Apakah Cancel Culture benar-benar setimpal dan adil untuk dilakukan? Berikan pendapat Sobat OSC di kolom komentar ya! Semoga artikel kali ini bermanfaat!

 

Thank u for reading! See u!

  92 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts