Dermaga

“Jadi maksudmu, kamu ingin melupakan semuanya? Termasuk teman-temanmu dan juga… aku?”

Aku pun seolah tak mendengarnya. Kualihkan pandanganku ke sekitar. Sembari membuat topik pembicaraan baru. Kakiku beranjak pergi, meninggalkannya dalam sendiri. Membendung sendu. Aku membalikkan badan, membelakanginya. Raut wajahnya berubah. Antara sedih dan kecewa. Sedih karena aku akan meninggalkan dia. Pun kecewa karena aku akan melupakannya begitu saja.

Deru angin kota Bayu kian menerpa. Beranjaklah aku dari bangku taman. Tiba-tiba saja dia meraih tanganku, menggenggam erat. Seolah tak ingin kehilanganku.

“Sudahlah, kamu nggak usah sok tegar, deh.” Ucapku padanya

“Kamu juga nggak usah sok-sokan jadi peramal ulung!”

“Halah, banyak alasan. Mata kamu. Mata orang bohong. Aku tuh hafal, Go!”

Ku lepaskan tangannya dan mengambil langkah pergi. Tanpa kusadari, mahkota bunga yang telah dirangkainya untukku terjatuh. Virgo mulai mengejarku. Namun tak disangka, sebuah sedan melaju kencang dan menghantam keras tubuhku. Darah mulai berkucuran keluar dari telinga, mulut, juga hidungku. Gelap! Aku tak dapat melihat apapun. Namun sedikit ada seberkas cahaya yang bisa kumanfaatkan.

Sebulan kemudian aku bangun dari tidur panjangku. Sial! Mataku kian terdistraksi. Aku kehilangan banyak fokus yang hanya berbuah pada buramnya pandangan. Ahhhh… gelap, gelap sekali. Kini aku harus menerima kenyataan bahwa kedua mataku buta. Membuat yang seharusnya terlihat jelas menjadi tak kasat mata. Lalu dalam perjalanan hidupku, aku tak bisa lagi melihat jalanan yang jelas nyata di depanku. Kalau begitu, kemanakah aku akan melangkahkan kakiku? Serta bagaimana aku akan sampai pada tujuan akhirku tanpa cahaya penerang?

 

“…Sesungguhnya telah datang padamu cahaya dari ALLAH, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” Qur’an [5:15-16]

Ia tetap saja menanyakan hal tersebut padaku. Tentang siapakah dia. Dari mana asalnya, dan apa saja tentangnya. Bosan sekali aku mendengarnya. Kenapa coba, aku tidak sekalian tuli saja. Biar tidak bisa mendengar omong kosongnya lagi. Kecelakaan itu benar-benar membuatku lupa. Dari yang awalnya ‘hanya ingin melupakan’ menjadi ‘benar melupakan’. Virgo mengajakku keluar kamar rumah sakit. Dia berusaha menghiburku juga mengembalikan ingatanku. Dia memulai suatu percakapan yang membuat hatiku cukup terketuk.

“Vega, andai saja kamu masih bisa melihat. Lihat deh langit itu. Sangat cerah dan membuatku rindu.”

“Hah, rindu?”

“Kamu pernah nggak, sih, Veg, merasa jika langit itu sebuah mahakarya yang rumit. Warna birunya yang sederhana padahal itu proses penghamburan yang panjang.”

“Lalu, di manakah letak rindunya?”

“Dulu kamu suka memandangi langit. Melihat ke atas. Kamu juga pernah bilang padaku bahwa langit itu pengingat kita bahwa ada hati yang merindu pada-Nya. Dan lagi… ada doa yang saling bertemu dari dua insan yang merindu.”

Aku mendengar suara kicauan seekor burung yang bertengger di atas ranting pohon. Rasanya kasihan sekali. Aku meminta Virgo untuk memeriksanya. Ia pun menjawab “Kini ada dua ekor burung yang bertengger.”

“Dan aku tak perlu khawatir burung tersebut sendirian. Karena burung tersebut telah menemukan pasangannya.”

“Iya, begitupun kamu, Vega, yang tak lagi kesepian.”

Sepertinya Virgo salah satu atau bahkan mungkin satu-satunya orang yang peduli padaku. Dia menjadi ‘dermaga’ dalam hidupku. Tempatku berlabuh dan menambatkan hati. Bersamamu aku di sini. Bercerita tentang langit, yang di atasnya rindu ini dirakit. Melintasi angkasa, menyalami doa-doa yang pernah kita ungkit.

Guntur mulai saling bersahutan. Tulangku sakit terkena resonansi guntur yang vibrasinya sampai pada pen di tulangku. Kuletakkan kepalaku di bahunya sebagai sandaran sambil terlelap di bawah belaian tangannya. Ketika itu juga salah seekor burung tadi terbang tinggi disertai rintik gerimis yang mulai meniti malam.

Selamat tingggal, Virgo. Aku harus pergi bersama burung itu untuk selamanya. Jika kamu rindu padaku, lihatlah ke atas langit dan sebut namaku tiga kali. Jika tak ada cobalah pejamkan matamu. Jika masih tak ada, mungkin kamu sedang ada di ‘dermaga’ kala itu, kini, dan nanti.

 

                                                                                                                 ~EIC, Kota Angin,  2 Juli 2019

 

Sumber gambar: dokumentasi penulis, Surabaya, 2017

  153 Views    Likes  

Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

previous post

MASIH SEPI PEMINAT? INI DIA KEUNTUNGAN DARI MASUK JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN!
Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

next post

Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

related posts