Fenomena School Shooting di Amerika Serikat: Epidemi yang Tak Berujung

Kira-kira sebulan yang lalu, media digemparkan dengan peristiwa penembakan di sekolah (school shooting) yang terjadi di Robb Elementary School di Uvalde, Texas, tepatnya pada 24 Mei 2022. Sembilan belas murid dan 2 guru tewas, dengan belasan lainnya terluka. Penembakan ini disebut sebagai school shooting yang paling mematikan sejak tahun 2012, dimana pada tahun 2012 itu terjadi penembakan di Sandy Hook Elementary School di Newton, Conn, yang menewaskan 26 murid berusia 6 tahun.

Bagaimana bisa sekolah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi pelajar, justru menjadi tempat pembantaian yang meninggalkan trauma seumur hidup bagi para korbannya? Terlebih, kita bicara soal Amerika Serikat; negara adidaya yang katanya menjunjung tinggi HAM.

Masalahnya, perkara “HAM” tidak hanya sekedar hitam dan putih. Ada banyak sekali kasus dimana HAM tidak melulu menciptakan kesejahteraan semata, namun juga justru menciptakan konflik, perdebatan, dan hal-hal mengganggu lainnya. Manusia di bumi ini punya perspektif yang unik-unik sekali, tidak terkecuali Amerika Serikat dalam isu school shooting dan perkara “hak dasar warga negara” di dalamnya.

Tapi sebelum itu, saya ingin menggambarkan situasi kepada kalian tentang penembakan sekolah yang sudah bukan lagi sekedar “tragedi memilukan” di Amerika Serikat, melainkan telah menjadi epidemi. Suatu hal, yang meski sangat buruk, juga menjadi familiar karena terus terjadi lagi dan lagi setiap tahunnya.

Statistik menunjukkan setiap harinya 12 anak meninggal akibat kekerasan senjata api di Amerika Serikat. Bahkan faktanya, kematian karena senjata api 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan kematian karena tenggelam. Dokumentasi sejarah mencatat bahwa school shooting paling pertama di Amerika Serikat terjadi di Enoch Brown School pada Juli 1764; pembantaian dimana 4 orang dari suku Indian Lenape memasuki sekolah pemukim di Provinsi Pennsylvania dan menewaskan kepala sekolah serta sepuluh anak lainnya.

Jika kita batasi sejak tahun 1970 saja, Amerika Serikat telah mengalami lebih dari 2.000 kali penembakan sekolah dan angka ini terus meningkat. Besar sekali angkanya? Jelas, penembakan pertamanya saja terjadi di abad ke-18. Bukannya terhenti, justru menjadi tradisi yang bertahan hingga 3 abad kemudian di negara Uncle Sam ini.

Sekarang di tahun 2022, telah terjadi 27 penembakan sekolah. Dan saat ini bahkan baru bulan Juni —ketika artikel ini ditulis. Dalam 27 peristiwa penembakan sekolah tersebut, total 27 orang meninggal dan 56 orang terluka. Salah satu yang terparah karena menimbulkan korban jiwa terbesar adalah penembakan di Robb Elementary School sebagaimana yang sempat disinggung di awal tulisan. Pelaku penembakan bernama Salvador Ramos, berusia 18 tahun, yang akhirnya tewas ditembak oleh polisi di lokasi. Senjata yang digunakan adalah semi otomatis tipe AR15, yaitu senapan yang memang juga digunakan oleh beberapa pelaku penembakan massal di AS.

Kenapa Mudah Sekali bagi Pelaku untuk Mendapatkan dan Membawa Senjata Api ke Ruang Publik?

Berawal dari faktor paling mendasar dan dekat: lingkungan rumah dan diri sendiri. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 4,6 juta anak Amerika tinggal di rumah yang menyimpan senjata api yang terisi peluru dan tidak dikunci dengan aman. Penyimpanan yang tidak tepat ini telah berkontribusi pada angka penembakan sekolah, bunuh diri, bahkan pembunuhan anggota keluarga. Selain itu, sejumlah besar pelaku penembakan biasanya terinspirasi oleh penembak sekolah sebelumnya. Sebagian besar lainnya termotivasi oleh kemarahan, seperti kebencian diri dan keputusasaan yang menumpuk terhadap dunia. Intinya, waktu yang tepat di tempat yang mendukung. Sebagaimana kata Bang Napi yang dulu saat masih SD rutin saya tonton acaranya di suatu stasiun tv,

“Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.”

Sekarang beralih ke faktor yang lebih besar; politik. Kalangan politisi sebenarnya sudah menyadari masalah aneh di Amerika ini, dimana senjata api telah menggantikan kecelakaan mobil sebagai penyebab utama kematian anak-anak dan remaja. Namun mereka bahkan belum mampu memecahkan masalah ini setelah berabad-abad. Sekalipun setiap tahunnya selalu ada nyawa-nyawa pelajar yang tidak berdosa melayang akibat penembakan di sekolah, tidak ada resolusi yang diwujudkan.

Apa penyebab dasarnya? Yah, karena ada perspektif yang telah mengakar kuat dalam bangsa Amerika dan akan sulit berubah, bahwa kepemilikan senjata adalah hak konstitusional warga negara. Dengan kata lain, memiliki senjata api di AS adalah hak dasar setiap warga negara dan bahkan dilindungi oleh konstitusi. Silahkan merasa aneh, karena prosedur “datang ke toko persenjataan-pesan-bayar-pergi” untuk mengantongi senapan secara legal terlihat seperti hal yang tidak lazim di sebagian besar negara, namun Amerika Serikat adalah salah satu pengecualiannya.

Kita kembali ke sejarah negara ini.

Dulu, ketika AS mendeklarasikan kemerdekaannya di tahun 1776, kelompok warga bersenjata atau milisi berperan penting dalam mempertahankan negara bagian. Saat itu sedang berlangsung Perang Kemerdekaan (1775-1783) antara AS dan Inggris, yang akhirnya dimenangkan oleh AS. Senjata utama para milisi adalah musket, yaitu perangkat infanteri berjarak tembak efektif 100 meter dan dapat ditembakkan setidaknya tiga kali dalam satu menit. Selain karena kebutuhan untuk perang tersebut, di masa itu juga banyak warga yang memandang tentara negara sebagai instrumen untuk melayani kekuasaan dan hanya menindas warga biasa. Nah, dengan warga biasa memiliki senjata pribadi dan menjadi milisi itu adalah cara untuk membela diri dari tentara.

Atas dasar itulah, pasca ratifikasi UUD Amerika Serikat pada tahun 1788, Amandemen Kedua dirancang oleh James Madison —salah satu founding fathers dan presiden AS— dengan tujuan memberdayakan milisi di negara bagian. Dan pada 15 Desember 1791, AS mengesahkan Bill of Rights yang berisi 10 perubahan pertama Konstitusi AS yang menegaskan hak-hak dasar warganya. Di sinilah dinyatakan bahwa kepemilikan senjata setara dengan kebebasan berekspresi, pers, beragama dan berkumpul. Amandemen Kedua ini memang tidak membatasi  kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum, namun UU ini menghapus kewenangan pemerintah atau otoritas untuk melucuti senjata warga negara yang ingin membela diri.

Sampai hari ini, berarti setidaknya ada 2 kutub di Amerika Serikat dalam memandang pelaksanaan UU ini: yang mendukung dan yang tidak.

Pihak yang mendukung, misalnya seperti Asosiasi Pemilik Senjata AS (National Rifle Association/NRA). Mereka berpendapat bahwa kepemilikan senjata sipil adalah hak warga negara dan keberadaan Amandemen Kedua Konstitusi AS berhasil menegaskan hak tersebut. Dengan posisinya sebagai kelompok kepentingan yang berpengaruh dalam politik AS, NRA sejauh ini berkontribusi dalam menentang sebagian besar proposal yang bertujuan mempersulit hak kepemilikan senjata. Pokoknya, bagi kelompok yang mendukung kepemilikan senjata, segala peraturan yang melarang atau membatasi kepemilikan senjata sama saja dengan melanggar konstitusi dan tidak menghormati hak warga negara.

Di sisi lain, kelompok yang menentang kepemilikan senjata berpendapat bahwa perancang Konstitusi AS bukan bermaksud memberikan setiap individu hak sama rata untuk memiliki senjata sendiri. Bagian pertama dari teks Amandemen Kedua berbunyi, “milisi yang tertata dengan baik.” Menurut mereka, regulasi kepemilikan senjata sebenarnya dibuat hanya untuk mempertahankan negara secara kolektif apabila negara diserang oleh negara lain. Karena itu, sebenarnya setiap warga sipil AS tidak berhak membeli dan membawa senjata api karena saat ini situasi di Amerika Serikat tidak sedang dilanda konflik bersenjata. Karena itu pula, diperlukan regulasi dari otoritas federal, negara bagian, maupun pemerintahan lokal untuk mengatur atau melarang kepemilikan pribadi atas senjata ini.

Perdebatan antara kelompok pro dan kontra ini terus berlangsung, dan hanya semakin memanas pasca tragedi penembakan di Uvalde. Namun hingga saat ini, kelompok yang mendukung kepemilikan senjata masih lebih unggul daripada yang kontra.

Nah, masalah siapa yang unggul ini juga tidak lepas dari situasi di pemerintahan AS itu sendiri. House of Representatives atau DPR-nya AS disebut telah meloloskan undang-undang yang menaikkan batas usia untuk membeli senjata semi-otomatis, melarang penjualan magasin amunisi berkapasitas lebih dari 15 butir peluru, dan menetapkan undang-undang “red flag” federal, yaitu hukum kontrol senjata yang memberikan wewenang bagi polisi, anggota keluarga, rekan kerja, dan pihak lainnya untuk mengajukan petisi ke pengadilan negara bagian guna menyita sementara senjata api dari orang yang dianggap berpotensi membahayakan.

Namun seperti yang sudah-sudah, inisiatif semacam ini selalu macet di Senat. Padahal, agar suatu rancangan undang-undang dapat diresmikan menjadi undang-undang diperlukan persetujuan dari Senat terlebih dahulu.

Senat justru lebih berfokus pada pengembangan program kesehatan mental, memperkuat keamanan sekolah dan meningkatkan pemeriksaan latar belakang warganya. Dengan kata lain, kubu penentang kontrol senjata beropini bahwa penembakan massal adalah masalah kesehatan mental, bukan masalah senjata yang dijual dengan longgar. Senator Partai Republik pun pernah berkata bahwa penembakan massal adalah “aksi kejahatan dan pembunuhan massal”, namun tetap bersikeras bahwa UU kontrol senjata bukanlah solusi untuk mencegah insiden tersebut karena yang bermasalah adalah mental para pelaku. Dan selalu, sebagaimana argumen andalan mereka, Partai Republik di Senat memandang bahwa pembatasan senjata adalah pelanggaran terhadap hak Amandemen Kedua Konstitusi AS mengenai senjata.

Bagaimana Isu School Shooting Ini Mempengaruhi Aktivitas Sekolah di AS?

Kasus penembakan sekolah di AS saking tidak pernah menemui akhir, malah menjadi fenomena yang familiar. Bahkan sejumlah pakar melabeli generasi muda AS saat ini dengan “generasi penembakan massal”, saking akrab dan rentannya mereka dengan isu ini —yang mana terdengar sangat menyedihkan.

Peristiwa penembakan di sekolah tentu berdampak buruk bagi kesehatan mental para korban secara lebih luas. Mungkin dari luar, para penyintas tampak membaik dan kembali ke kehidupan normal mereka sebagai warga Amerika Serikat. Namun studi menunjukkan bahwa pelajar yang selamat dari penyerangan tersebut cenderung lebih sering absen masuk sekolah (Ordway, 2021). Para penyintas juga cenderung putus sekolah dan mencari pekerjaan lebih awal dalam hidup mereka. Penggunaan antidepresan oleh individu di bawah usia 20 tahun juga meningkat di komunitas dimana telah terjadi penembakan sekolah (Wong, 2019). Dampak yang lebih luas, misalnya penurunan ekonomi, karena banyak keluarga yang memutuskan pergi dari lokasi tersebut demi keamanan anak-anaknya.

Di sisi lain, akibat terjadinya peristiwa penembakan sekolah terus-menerus, ada peningkatan dalam sistem keamanan di sekolah. Kini, adalah hal umum jika di sekolah di AS kita menemukan kehadiran detektor logam, mesin x-ray, petugas jaga yang bersenjata, atau staf yang diizinkan membawa senjata ke sekolah. Selain itu, sekolah juga semakin rutin melakukan latihan atau simulasi penyelamatan diri jika seseorang yang bersenjata memasuki sekolah mereka. Pelatihan lockdown ini menjadi bagian umum dari kurikulum sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas.

Bahkan dilaksanakan suatu kebijakan yang kontroversial, yaitu active shooter drill yang dilaksanakan di lebih dari 95% sekolah dasar di AS.  Di tingkat yang paling intens, latihan penembakan palsu ini melibatkan pria bertopeng yang membawa senjata mainan dan siswa yang berperan sebagai korban dengan berlumuran darah palsu. Sayangnya, muncul laporan bahwa pelatihan atau simulasi semacam itu justru bisa berbahaya bagi kesehatan mental. Latihan itu dipandang hanya diperuntukkan bagi orang dewasa, seperti pihak profesional sekolah dan penegak hukum, dan bukannya untuk anak-anak (Everytown Research & Policy, 2021).

Perdebatan mengenai kontrol senjata semakin panas pasca peristiwa penembakan Robb Elementary School pada Mei lalu. Demontrasi untuk reformasi senjata api terjadi di Washington, New York, dan kota-kota Amerika Serikat lainnya pada 11 Juni 2022 lalu dengan puluhan ribu demonstran bergabung. Demonstrasi ini bertujuan menekan Kongress AS (yang terdiri dari DPR dan Senat) untuk segera mengambil tindakan atas penembakan massal yang terus terjadi.

Demonstrasi semacam ini tergabung dalam gerakan March for Our Lives, yang pertama kali dibentuk pada tahun 2018 setelah penembakan di Marjory Stoneman Douglas High School, Florida. March for Our Lives menuntut pelarangan senjata penyerangan, pemeriksaan universal untuk latar belakang pembelian senjata dan sistem lisensi nasional. Namun hingga 4 tahun berlalu, gerakan demonstrasi ini semakin meruncing karena tidak adanya kemajuan, dan momentum mereka kembali dengan adanya penembakan Robb Elementary School.

Drama dan film yang kita tonton seringkali menyajikan cerita yang menarik tentang sekolah di Amerika Serikat. Pakaian bebas, loker-loker disusun di sepanjang koridor, makan siang gratis di kantin, kebebasan mengekspresikan diri, belum lagi pesta ala remaja. Saya pernah punya teman chatting dari Pennsylvania, dan kehidupan sekolahnya kurang lebih terlihat seperti itu. Sayangnya dulu saya tidak pernah kepikiran untuk menanyakan tentang fenomena penembakan di sekolah padanya, padahal bisa jadi dia punya perspektif atau pengalaman tersendiri yang boleh saya bagikan di sini.

Tapi bagaimana pun, epidemi school shooting adalah kenyataan yang harus dihadapi para pelajar dan pendidik di Amerika Serikat. Kita akan sangat menantikan saat pemerintah akhirnya memiliki solusi terbaik atas isu ini, dan tidak akan ada lagi peristiwa penembakan massal yang mengorbankan nyawa yang tidak seharusnya, khususnya di lingkungan sekolah.

Kalian bisa pergi ke Youtube dan menemukan ada banyak video yang berkaitan dengan fenomena ini, bahkan ada rekaman 911 dari pelajar yang menelepon ketika disandera oleh pelaku penembakan. Ketika artikel ini selesai ditulis pun, salah satu saluran baru saja memberitakan acara pemakaman terakhir dari 21 korban penembakan di Uvelda.

May all those precious souls rest in peace.

Referensi:

Aratani, Lauren & Edward Helmore. (2022). ‘Enough is enough’: thousands rally across US in gun control protests. The Guardian.

Everytown Research & Policy. (2021). The Impact of Active Shooter Drills in Schools. Everytown for Gun Safety Support Fund

Ordway, Denise-Marie. (2021). How school shootings hurt student achievement and enrollment. The Journalist’s Resource.

Sandy Hook Promise. (2021). 16 Facts About Gun Violence And School Shootings. Sandy Hook Promise.

Tracker. (2022). School Shootings This Year: How Many and Where. Education Week.

Wong, May. (2019). Stanford researchers uncover the silent cost of school shootings. Stanford News.

Sumber Gambar:

findlaw.com

theguardian.com

  930 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts