Zahwa Jihan Soraya, atau yang akrab disapa dengan sebutan J atau Kak J merupakan salah satu mahasiswa semester 6 di Universitas Islam Malang (UNISMA) yang lulus seleksi dan mengikuti program Kampus Mengajar angkatan pertama yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun, Ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan mengikuti program yang sedang membumi di kalangan mahasiswa ini. Nyatanya, keputusan untuk mendaftar Kampus Mengajar tak pernah disesalinya. Ia terlihat mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan ini.
Baginya, Kampus Mengajar adalah sebuah program yang sangat baik. Kegiatan ini dapat melatih mahasiswa untuk beradaptasi dengan sekolah, siswa, serta berbagai macam karakter dari setiap siswanya. Meskipun kegiatan Kampus Mengajar hampir sama seperti program PPL (Praktik Pengalaman Lapangan), namun ternyata dari program ini bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan, seperti bantuan beasiswa kepada seluruh mahasiswa pengikut program ini sebesar Rp 2.400.000,- (Dua Juta Empat Ratus Ribu Rupiah) untuk Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain itu, mahasiswa tidak perlu lagi memikirkan soal biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi dari rumah menuju ke sekolah yang diajar dan uang jajan sehari-hari. Semua kebutuhan akan terpenuhi karena juga ada pemberian uang untuk sehari-hari ketika mengajar, selama sebulan sekali sebesar Rp. 1.200.000,- (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah).
Tidak serta merta soal materi, tentu ada alasan lain yang menjadi alasan Kak J mengikuti program Kampus Mengajar. Seperti halnya pendapat dari salah satu mahasiswa yang kebetulan jurusannya sama dengan saya yakni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang tertarik untuk mendaftar Kampus Mengajar adalah untuk mendapatkan banyak pengalaman. Bagaimana tidak, Jika Pak Presiden kita saja suka blusukan, mengapa kita sebagai calon tenaga pendidik harus mempermasalahkan ketika ditempatkan di sekolah sasaran yang berada di pelosok desa? Dalam hatinya Kak J tentu setuju dengan pendapat saya ini karena menurutnya, dengan ditempatkan di sekolah sasaran yang pelosok, justru bisa membuat dirinya lebih bersabar dan bersyukur. Bersabar dalam menghadapi karakter yang berbeda-beda dari siswanya dan bersyukur karena dulunya ia bisa duduk di bangku sekolah yang lebih layak.
Selama program Kampus Mengajar, Kak J ditempatkan di salah satu sekolah di Banyuwangi, yakni SD Negeri 5 Balak, dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) yang bernama, Ibu Risnaningsih. Di sana, Kak J tidak mengajar sendirian, melainkan dengan timnya yang terdiri dari tujuh mahasiswa yang berasal dari berbagai Universitas. Tiga orang dari Universitas Jember (UNEJ), dua orang dari UNISMA, satu orang dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan satu orang lagi dari Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi. Sudah layaknya seperti sahabat lama, dari pertemuan pertama mereka semua ternyata satu frekuensi dan memiliki pemikiran yang sama. Apalagi jika sedang berdiskusi, karena memiliki pengalaman yang berbeda-beda, membuat diskusi pun berlangsung seru. Meskipun letak sekolah ini dekat dengan hutan, namun untungnya pendidikan akademiknya tidak tertinggal dengan sekolah-sekolah lain.
SD Negeri 5 Balak, sendiri memiliki tiga ruangan, yaitu 1 ruang kantor, 1 ruang kelas untuk kelas 1,2, dan 3, serta 1 ruang lagi untuk kelas 4,5, dan 6. Ada lapangan voli yang tidak hanya dipakai oleh para siswa, tetapi juga oleh penduduk sekitar. Guru-guru di sana juga sangat terbuka, ketika Kak J dan yang lainnya datang untuk mengajar, mereka selalu dijamu dengan makanan. Mereka juga sering diajak berdiskusi tentang sekolah dan hal-hal lainnya, bahkan sampai diajak untuk berlibur bersama.
Tak Mau Diam: Kak J Kerap Turut Andil dalam Kegiatan di Desanya
Benar kata orang zaman dulu “Sekecil apa pun yang kita berikan kepada orang yang membutuhkan, pasti akan menjadi suatu hal yang berharga”, begitu kiranya istilah yang cocok dengan pengalaman Kak J. Di Kampus Mengajar, ia belajar bagaimana caranya bisa membagikan ilmu sekecil apa pun yang dimiliki kepada peserta didik. Di sana, ia juga tau arti kata “Ikhlas untuk memberi”. Layaknya simbiosis mutualisme, anak-anak mendapatkan ilmu yang diajarkan oleh Kak J, dan Kak J pun mendapatkan banyak pelajaran dari anak-anak itu. Mereka menceritakan tentang kehidupannya. Mendengar cerita para siswanya, Kak J jadi bisa tahu bahwa kehidupan itu bermacam-macam “Kita juga tahu bahwa hidup itu bukan hanya untuk merasa sedih dan sambat, tetapi juga bangkit dari keterpurukan” ujar Kak J dengan nada terinspirasi.
Nampaknya, Kak J terpapar virus aktif dari pemuda-pemudanya di desanya. Pasalnya, para pemuda di desa itu selain memiliki kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi, mereka juga produktif “Ada sih beberapa yang memang tetep di rumah, di sawah, ada yang bergelut di industri genteng, seperti mencetak genteng, kalau semisal ada industri tahu juga mau ikut bekerja, tapi alhamdulillah pemudanya bangkit, ikut berpartisipasi untuk desa, bergerak terus, karena dihimpun oleh karang taruna tersebut. Ada juga seperti IPNU dan IPPNU di desa” ungkap Kak J.
Untuk mengatur waktu antara kegiatan di kampus dan desanya, ternyata Kak J memiliki cara sendiri. Pertama, menggunakan note deadline. Semua kegiatan ditulis agar tahu akan mengerjakan apa pada hari itu. Kedua, berusaha semaksimal mungkin. Jika semua tak berjalan dengan semestinya, yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan berpasrah diri. Siapa yang mengira jika wanita dua bersaudara ini sebenarnya berasal dari keluarga yang sederhana. Orang tuanya hanya lulusan SMA. Bapaknya bekerja sebagai tukang cukur sementara Ibunya membuka warung pecel dan di sore harinya, menjadi guru ngaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ). Namun, hal tersebut tidak menurunkan semangat Kak J untuk tetap mengenyam pendidikan “Ya alhamdulillah dengan keluarga yang sangat sederhana, bisa kuliah di UNISMA sampai sekarang” kata Kak J dengan nada optimis.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan