Keterkaitan Ekologi dan dunia fashion pada fastfahion

 

Fashion merupakan ajang dalam berbusana bahkan menjadi nilai ketimbangan sosial dalam berpakaian dan berbusana. Seperti yang kita ketahui, dunia fashion sekarang sedang ramai menjadi perbincangan hingga trending di media sosial. Berdasarkan data dari Napoleon Cat, jumlah pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 97,17 juta hingga Desember 2022. Dari usianya, 38% pengguna Instagram di dalam negeri berada di kelompok umur 18-24 tahun. Sebanyak 29,8% pengguna media sosial tersebut dari kelompok usia 25-34 tahun. Penggunaan media sosial persentase terbanyak di golongan usia remaja. tak heran, banyak bermunculan trending yang di temukan di sosial media dengan konten creator yang masih muda. Pembahasan konten terbanyak yaitu tutorial dalam pemilahan outfit of the day atau yang dikenal dengan singakatan OOTD.

Fast fashion sendiri merupakan sebuah fenomena produksi massal pakaian dengan harga murah dan kualitas sekali pakai, telah mengubah paradigma konsumerisme dalam industri fashion. Dengan adanya harga yang terjangkau, konsumen dapat terus mengikuti perkembangan tren fashion dan membeli pakaian hanya sebagai hobi belaka. Perubahan gaya hidup yang dipengaruhi oleh faktor sosiokultural dan kebutuhan akan keunikan mendorong produsen fashion untuk secara konstan memperbarui barang produksi mereka untuk menghadapi persaingan yang berkembang di pasar (Sproles and Burns, 1994). Permintaan yang konstan dan beragam oleh konsumen telah mempengaruhi proses peramalan dan perencanaan .

Hal tersebut yang menjadikan sebuah tren yang ada di media sosial sebagai kebutuhan fashion, terutama dikalangan anak muda. Keterkaitan fenomena ini berdampak buruk bagi kondisi ekosistem lingkungan, mulai dari polusi air yang dihasilkan dari limbah produksi, konsumsi air bersih dalam jumlah yang sangat besar, dan akumulasi  limbah  pakaian  yang  sudah  tidak  terpakai. Menurut laporan Global Fashion Agenda (Forbes, 2018), industri fashion berkontribusi sebesar 4% dari total sampah di dunia setiap tahunnya, mencapai 92 miliar ton, dengan sebagian besar sampah tersebut berupa potongan-potongan sisa produksi.

Industri tekstil yang terkait dengan fast fashion memiliki karakteristik fashion yang cepat berubah dan tidak tahan lama, serta menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah. Industri fast fashion sering kali mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak buruk yang dihasilkan oleh industri ini menimbulkan banyak kerugian, terutama terhadap lingkungan. Untuk mendapatkan bahan dengan harga murah dan proses produksi yang cepat, industri fashion sering kali mengabaikan bahaya bahan kimia yang digunakan dalam produk mereka. Contohnya adalah pewarnaan pakaian, pencetakan gambar, dan penyelesaian produk yang sering menggunakan bahan kimia beracun.

Dalam penelitian yang dilakukan pada seminar nasional ENVISI 2020, ditemukan bahwa serat mikro terdapat pada pencucian kain dari serat poliester. Serat mikro yang berasal dari serat poliester sulit terurai dan berdampak buruk pada ekosistem laut. Hal ini dikarenakan serat mikro dapat meningkatkan jumlah plastik di laut yang mengakibatkan gangguan pada rantai makanan di ekosistem laut. Organisme kecil seperti plankton dapat mengonsumsi serat mikro ini dan menjadi bagian dari rantai makanan yang pada akhirnya juga mempengaruhi manusia.

Dalam bahasa Inggris, istilah "environment" merujuk pada lingkungan hidup. Di Belanda, istilahnya adalah "millieu", sedangkan dalam bahasa Perancis disebut "l'environment". Menurut kamus lingkungan hidup yang disusun oleh Michael Alloby, lingkungan hidup diartikan sebagai kondisi fisik, kimia, dan biotik yang mengelilingi suatu organisme. S.J. McNaughton dan Larry L Wolf mendefinisikan lingkungan hidup sebagai semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisik yang secara langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi organisme.

Dampak limbah pakaian yang dihasilkan oleh industri fast fashion mempengaruhi kualitas air, tanah, dan udara, serta mengancam keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya mengurangi limbah pakaian dan menerapkan praktik berkelanjutan dalam industri fashion semakin meningkat guna melindungi lingkungan.

Fast fashion termasuk dalam industri yang tidak bertanggung jawab, dimana fokusnya pada tren mode yang seringkali merugikan lingkungan. Dampak yang luas dari fast fashion akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya, terdapat banyak risiko jangka panjang yang muncul. Menggunakan pakaian dengan gaya yang sederhana dan mengikuti prinsip slow fashion dapat memiliki dampak positif yang dapat mengurangi kekhawatiran terhadap limbah yang dihasilkan oleh fast fashion.

Slow fashion menjadi salah satu pencegahan dari dampaknya fast fashion. Slow Fashion memastikan    produksi  berkualitas untuk memperpanjang umur  pakaian. Dengan pengaruh slow fashion ini dapat membuat ekosistem yang rusak akibat limbah industry tekstil dan limbah pakaian terstruktur persentase penurunan limbah yang ada.  

Slow fashion ini juga menjadi tren di kalangan anak muda yang mulai sadar akan pengaruh limbah secara terus menurus dapat berakibat buruk pada lingkungan. Tren di media sosial dengan membeli baju bekas branded atau yang dikenal dengan thrifting. Hal ini menjadi tren yang berpengaruh positif, karena baju bekas yang menjadi limbah pakaian dapat di daur ulang dengan membuktikan bahwa dalam berpakaian tidak harus mahal dan baru.

 Penggaruh positif tren anak muda untuk thrifting ini berdampak pada pengurangan limbah. Karena, dengan thrifting, kita mencegah pakaian yang masih layak pakai untuk menjadi sampah yang berakhir menjadi limbah pakaian. Thrifting mendukung konsep siklus mode berkelanjutan dengan memberikan kesempatan baru bagi pakaian yang masih dapat digunakan. Hal ini mendorong penggunaan pakaian dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga mengurangi kebutuhan untuk membeli pakaian baru secara berulang. Membeli barang bekas, dapat mengurangi permintaan untuk produksi baru yang secara tidak langsung membantu dalam konservasi sumber daya alam yang berharga. Karena proses produksi pakaian baru, banyak sumber daya alam digunakan, seperti air, energi, dan bahan baku.

Dengan memilih thrifting, kita turut serta dalam usaha untuk mengurangi limbah, menghemat sumber daya, melindungi lingkungan, dan mendorong perubahan menuju industri fashion yang lebih berkelanjutan. Thrifting juga merupakan cara kreatif dan terjangkau untuk mengekspresikan gaya pribadi sambil tetap menjaga kelestarian bumi kita.

 

Oleh: Atikah Nurhasanah

Instansi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 

Prodi: Pendidikan Biologi 2022

  103 Views    Likes  

SOFT SKILL YANG HARUS KAMU MILIKI!!!

previous post

Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan
SOFT SKILL YANG HARUS KAMU MILIKI!!!

next post

SOFT SKILL YANG HARUS KAMU MILIKI!!!

related posts