Telfonku bergetar, tenyata pacarku “Alia” menelfon. Jarum jam mengarah pada angka 4, tak biasanya Alia menelfoku jam segini. Aku ragu apakah aku harus mengangkat telfonnya atau tidak, perasaanku mengatakan bahwa ibulah yang meminta Alia untuk menelfonku. Aku yakin ibu meminta kepada Alia agar membujukku pulang.
Sebelum berangkat dari rumah, aku sempat bercekcok dengan ibu. Ibu memintaku agar tetap di rumah sambil menunggu ayah pulang dari luar kota. Ibu ingin malam ini kita bisa makan malam bersama dengan alasan menyambut ayah pulang dari luar kota, namun aku langsung menolak permintaan ibu. Karena aku udah janji dengan temanku Danu. Kami udah berencana seminggu lalu untuk pergi jalan ke luar kota menggunakan sepeda motor. Namun ibu tak mengizinkanku lantaran ingin makan bersama dengan ayah. Aku merasa sudah selalu mengalah dengan ibu, tapi kali ini aku ingin ibulah yang mengalah. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Danu dan yang lainnya untuk jalan ke luar kota. Tapi ibu tak mengizinkan. Aku paksakan diri untuk menentang ibu. Aku tetap pada pendapatan untuk pergi dengan teman-teman.
“Kalau kamu sekarang pergi, kamu ga usah balik lagi !” serangkaian kalimat yang keluar dari mulut ibu. Tapi aku tak yakin ibu akan melakukannya. Aku adalah anak satu-satunya, jika nanti aku pulang, pasti ibu akan memelukku dan akan menangis terharu. Aku biasanya memang selalu bercerita semua hal pada ibu, ibu akan memelukku jika aku punya masalah. Dan aku yakin ibu akan melakukan hal yang sama.
Aku tetap tidak merasa bersalah walaupun ibu sudah mengusirku secara halus, aku menuju garasi rumah dan kemudian keluar untuk melanjutkan perjalananku. Kulihat dari spion motorku ibu mengejar dan berteriak dari belakang, aku tak tau apa yang dikatakan ibu. Aku dengan santai melanjutkan perjalanan.
Sampai di titik kumpul kami sebelum berangkat, aku ingat kalau aku belum Sholat Ashar. Aku izin ke temanku untuk sholat sebentar. Selesai sholat, pikiranku langsung gundah tak karuan. Aku berfikir kenapa aku berani menentang ibu. Namun, aku tetap tidak merasa bersalah, namun aku juga menganggap ibu tak bersalah karena ibu hanya menginginkan anaknya untuk bisa makan bersama dengan orang tuanya. Dengan berfikir panjang, akhirnya aku memutusakn untuk balik ke rumah. Tentunya temen-temenku mengizinkanku untuk segera pulang, karena mereka semua selalu mendukung keputusan yang kuambil.
Aku kembali mengendarai motor untuk segera ke rumah, aku balik ke rumah dengan santai, bukan karena penyesalan telah menentang ibu namun karena ingin menghargai pendapat ibu yang ingin makan bersama dengan ayah dan denganku. Kuhargai ibu yang telah bersusah payah memasak untuk malam ini, kuhargai itu. Namun aku tetap berharap ibu juga bisa mengerti keinginanku, bukan aku yang kembali mengalah seperti yang aku lakukan lagi kali ini.
Setegah perjalanan telah kulalui untuk sampai kerumah, namun sepertinya Allah mengabulkan do,a ibuku. “Kalau kamu sekarang pergi, kamu gak usah balik lagi” meski bukan terucap seperti do’a, namun Allah mengabulkan itu. Dari samping terlihat sebuah truk yang bergerak dengan kecepatan tinggi. “Brukkk”, aku tak tau lagi apa yang terjadi, yang kutahu sekarang adalah aku memang tak kembali ke rumah lagi, seperti yang diucapkan ibu sebelum aku pergi tadi.
previous post
Ikigai: Peta Harta Karun Untuk Menemukan Tujuan Hidupmu