Pandemi terus merajalela, kini merugikan banyak pihak di segala bidang kehidupan. Ia terus saja menggerogoti masyarakat dunia hingga hampir seluruh negara tak terlewatkan.
Di bidang kesehatan misalnya, telah begitu banyak korban berjatuhan. Tak memandang usia, gender, strata sosial, mengancam semua kalangan. Korban berjatuhan hingga jutaan.
Di bidang pendidikan, hadirnya telah membatasi ruang gerak para pelajar, mahasiswa, guru, dosen dan segenap praktisi pendidikan. Terpaksa semua harus beraktivitas dalam jaringan.
Di bidang sosial, semua tahu bahwa ia telah menjauhkan jarak dan hubungan. Tak ada lagi pertemuan secara langsung, tak ada saling bersalaman. Tak ada lagi duduk bersama dalam satu hidangan.
Terlebih di bidang keagamaan. Karenanya beberapa masjid dan tempat ibadah lainnya terpaksa tak boleh difungsikan. Kajian keislaman dalam satu majelis tak boleh dilakukan.
Pandemi kini telah menjadi momok yang mengkhawatirkan. Sekaligus membangkitkan kesadaran dan rasa kepedulian. Namun, tahukah kita, ada yang lebih menakutkan.
Ia adalah penyakit hati yang mengintai setiap insan. Semisal riya', dengki, hasad, dan sejenisnya. Dan puncaknya adalah kemunafikan dan kemusyrikan. Suatu pembangkangan terbesar sepanjang zaman.
Bila Pandemi dampaknya hanya sebatas di dunia, pengaruhnya hanya sepanjang hayat masih di badan. Namun penyakit kemusyrikan, sakitnya bahkan hingga di hari kemudian. Tak ada tempo, tak ada batas selain keabadian.
Sebagaimana Allah telah berfirman.
...kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (dari kemusyrikan dan kemunafikan). (QS. Asy-Syu'ara ayat 89 - delapan sembilan).