Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali

Selain keindahan alam dan bumi pertiwinya, Bali juga terkenal akan budaya dan adat yang unik dan mendarah daging, oleh karenanya banyak para wisatawan tertarik dan Bali menjadi tujuan pariwisata. Beragam kebudayaan yang menarik salah satunya adalah kebudayaan yang ada di Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem. Desa Tenganan sendiri merupakan Desa Adat Bali Tertua dan disebut Bali Aga. Salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan adalah tradisi Perang Pandan yang juga dikenal dengan istilah makere-kere. Tradisi ini dilakukan oleh warga setempat satu tahun sekali setiap sasih kelima dalam penanggalan desa adat Tenganan dan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut yang umumnya dimulai pada pukul 14.00. Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini berada di depan balai pertemuan halaman desa. Ukuran panggung yang digunakan untuk pelaksanaan Perang Pandan ini sekitar 5 x 5 meter persegi dengan tinggi 1 meter tanpa tali pengaman mengelilingi di bagian pinggir panggung.

Berbagai kalangan usia dapat ikutserta, mulai dari remaja, orang tua, hingga anak kecil di bawah umurpun bersemangat dan sudah terbiasa mengambil peran dalam tradisi tersebut. Pakaian yang digunakan merupakan pakaian adat Tenganan, bagi perempuan menggunakan pakaian dari kain tenun Pegringsingan, dan untuk para pria hanya menggunakan kamen (sarung), saput (selendang), dan udeng (ikat kepala) tanpa baju dan hanya bertelanjang dada.

Sesuai dengan namanya, tradisi Perang Pandan merupakan tradisi yang menampilkan peperangan dengan pandan berduri. Beberapa helai pandan berduri akan diikat menjadi satu yang berbentuk sebuah gada untuk menyerang, dan perisai sebagai pelindung diri yang terbuat dari rotan. Setiap pria di desa ini yang mulai akhir baligh wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan.

Ritual upacara ini diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa yang bertujuan untuk memohon keselamatan, dilanjutkan dengan ritual minum tuak, tuak adalah sejenis minuman beralkohol nusantara yang difermentasikan. Tuak yang berada di dalam bambu dituangkan ke daun pisang difungsikan sebagai gelas. Peserta perang akan saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain untuk dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Ketika upacara Perang Pandan akan dimulai, seorang pemimpin adat di Desa Tenganan memberi instruksi, kemudian dua pemuda bersiap-siap dan berhadap-hadapan. Tangan kanan membawa seikat daun pandan dan tangan kiri memegang perisai yang terbuat dari anyaman rotan. Wasit pada tradisi di desa ini disebut sebagai penengah yang berdiri di antara dua pemuda yang berperang.

Kedua pemuda tersebut akan saling menyerang setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi. Mereka akan merangkul lawannya terlebih dulu, berpelukan, kemudian saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Oleh sebab itu pula sebagai ritual megeret pandan. Gamelan akan ditabuh dengan tempo yang lebih cepat, peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Kedua pemuda yang berperang saling berangkulan dan saling  memukul hingga lawannya terjatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain. Pertandingan ini tidak berlangsung lama dan hanya berkisar satu menit. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain dan dilakukan bergilir selama kurang lebih 3 jam. Selanjutnya, setelah pertandingan selesai, semua luka gores akan diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh dan berkhasiat untuk menyembuhkan luka. Tidak ada yang merasa kesakitan, menangis, menyesal atau bahkan marah karena mereka semua melakukannya dengan ikhlas dan gembira.

Tradisi Perang Pandan ini adalah bagian dari ritual keagamaan terbesar di Desa Tenganan yang disebut sebagai Upacara Sasih Sembah. Upacara ini juga termasuk pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra atau dewa perang yang bertempur melawan Maya Denawa yang merupakan seorang raja keturunan raksasa yang sakti. Namun memiliki sikap yang sewenang-wenang dan bahkan melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Ritual ini dilakukan tanpa rasa dendam dan dilakukan sepenuh hati dengan senyum ceria walaupun harus saling melukai dengan duri pandan. Prosesi ritual ini ditutup dengan persembahyangan di Pura setempat yang dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejang.

Nah, demikian penjelasan dan filosofi singkat tentang Ritual Perang Pandan di Desa Tenganan, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita tentang budaya dan nusantara. Ternyata sudah banyak wisatawan baik lokal maupun asing yang pernah datang ke Desa Tenganan hanya untuk menyaksikan keunikan ritual tersebut. Bagaimana sobat OSC, apakah ada yang sudah pernah menyaksikan ritual tersebut? Atau adakah tradisi tempat asal sahabat OSC yang ternyata mirip dengan ritual perang pandan di Desa Tenganan?

 

Sumber gambar:

https://www.mongabay.co.id/2018/07/29/foto-menyelami-arti-pandan-berduri-bagi-masyarakat-tenganan-bali/

Sumber:

https://dapobas.kemdikbud.go.id/home?show=isidata&id=947#:~:text=Setelah%20penengah%20mengangkat%20tangan%20tinggi,daun%20pandan%20itu%20lalu%20menggeretnya.

 

  129 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts