[Reviu] The Book of Eli, Film Laga yang Bernuansa Religi

Setidaknya, sudah hampir 13 tahun sejak film The Book of Eli memulai debutnya di layar lebar. Awalnya, begitu direkomendasikan, saya langsung sok tau karena merasa familier dengan judulnya. Sepertinya saya pernah mendengar film ini dari ocehan teman saya. Padahal, saya sama sekali tidak tahu-menahu soal tontonan ini. Terdengar oleh telinga saja, belum pernah.

Judulnya sendiri terdengar seperti film drama komedi biasa, membuat saya khawatir ini akan menjadi tontonan yang membosankan. Ternyata, begitu melihat sinopsis dan trailer-nya, rasa penasaran mulai tergugah. Dan, to be honest, begitu selesai menyaksikan, saya langsung terharu dan jatuh cinta pada film yang ternyata ber-genre aksi ini. Jatuh cinta kepada tema cerita, akting luar biasa sang aktor dan aktris, alur ceritanya, maupun pesan yang disampaikan.

The Book of Eli digarap oleh sutradara The Hughes Brothers, dibantu oleh penulis skenario Gary Whitta. Denzel Washington dipercaya menjadi bintang utama dalam sinema berdurasi 118 menit ini. Tak jauh berbeda dari film ternama-nya yang berjudul The Equalizer (2014), aktor spesialis film laga yang bernominasi “Best Performance by an Actor in a Leading Role” ini berperan sebagai Eli, tokoh utama yang mampu menyelesaikan segala hal serba sendiri. Eli adalah sosok terpelajar, berjiwa besar, punya keyakinan yang kuat, dan yang paling penting, pandai adu jotos. Pada adegan pertama yang disuguhkan, terlihat jelas kalau sang tokoh utama sudah mahir dalam dunia persenjataan.

Berbeda jauh dengan Carnegie, si antagonis sombong yang ditakuti, namun suka membaca. Disini Carnegie, yang diperankan oleh aktor Gary Oldman, menganggap kesuksesan adalah harta, takhta, dan wanita. Tak hanya itu, ada pula karakter Solara yang diperankan oleh Mila Kunis, seorang perempuan muda polos, namun memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka berdua memberi dinamika yang menarik dalam cerita ini.

Secara garis besar, The Book of Eli mengisahkan perjalanan penuh beban yang dijalani oleh Eli, seorang pria yang bertekad kuat untuk pergi ke Pantai Barat. Semua bermula ketika Eli menemukan sebuah buku ajaib di bawah reruntuhan dan memutuskan untuk membawanya ke Pantai Barat. Berbekal tekad dan keyakinan, ia kesana sendirian.

Satu hal yang pasti, perjalanannya menuju tujuan tidaklah mudah. Banyak tantangan maupun rintangan yang perlu ia hadapi, apalagi ketika Eli bertemu dengan Carnegie di suatu kota, yang secara bersamaan berjumpa dengan sang kawan seperjalanannya. Apakah Eli sanggup melewatinya? Kenapa harus di Pantai Barat? Ada apa disana? Temukan jawabannya di film ini, ya.

Kalau membaca sinopsisnya, tak jarang beberapa tulisan yang menyebut post-apocalyst atau setelah perang. Ya, kisah ini terjadi 30 tahun setelah perang dunia berakhir yang merusak Amerika. Dalam kehancuran tersebut, negara yang dulu megah dan bangga, kini telah menjadi reruntuhan yang sunyi. Banyak barang yang sudah tidak terawat lagi. Seperti padang gurun tandus yang tak berpenghuni, tanda-tanda kehidupan sudah sirna. Hanya segelintir orang yang bertahan hidup di tengah kehampaan ini.

Ditambah dengan bencana kekeringan yang melanda, suasana semakin mencekam, suram, dan hening. Saat menonton film ini, saya bahkan harus meningkatkan kecerahan layar ponsel saya karena minimnya pencahayaan yang disajikan. Selain itu, didukung dengan lantunan musik yang sedikit horor, semakin membangkitkan atmosfer ketegangan yang mendebarkan.

 

Versi lain The Last of Us, mengandung unsur religi serta scene yang diluar nalar

Menurut saya, film The Book of Eli merupakan versi lain dari serial The Last of Us yang lebih santai dan tidak sampai membuat jantung berdangdut ria. Namun, setelah mempertimbangkan beberapa hal, muncul pertanyaan menarik dalam benak saya. Apa mungkin film ini menjadi sumber inspirasi pembuatan gim The Last of Us? Atau sebaliknya?

Well, dari judulnya saja sudah ada kemiripan. Benar, bukan? Selanjutnya, tokoh. Pada gim/serial serta film, sama-sama menghadirkan figur lelaki tua dan seorang gadis muda. Tak hanya itu, adegan ketika Eli akhirnya berjalan dengan Solara, melakukan semuanya bersama-sama (mengarungi padang gurun, bertahan hidup, bahkan melawan musuh) mengingatkan saya pada Joe dan Ellie yang juga selalu bersama. Terakhir, alur cerita, di mana yang melanjutkan hidup pada akhirnya ialah sama-sama perempuan. Hanya saja, yang dihadapi sejoli perempuan ini berbeda. Yang satu manusia bernyawa, satunya lagi manusia tak bernyawa.

The Book of Eli, sebenarnya, menawarkan perspektif yang unik dengan menggabungkan elemen aksi dan religi dalam satu film. Ini adalah pengalaman yang baru bagi saya, menonton sebuah sinema yang menggabungkan kedua genre yang seolah bertentangan. Saya merasa ini adalah sesuatu yang langka dan jarang ditemui. Itulah makanya, setelah menyelesaikan film, rasa kagum dan terenyuh masih menyelimuti hati saya.

Oleh sebab ada unsur agama-nya, jadi ada sedikit adegan kemustahilan. Salah satunya, seperti kemampuan Eli yang tetap berjalan dan mendayung perahu, meskipun dalam kondisi terluka parah akibat tembakan peluru. Mungkin ini adalah salah satu hal yang bisa saya sebut sebagai "kelemahan" dari film ini, jika ditanya. Akan tetapi, itulah yang membuatnya unik dan menarik. Mengundang pertanyaan tentang batasan kemampuan manusia dalam situasi yang ekstrem.

Namun demikian, secara keseluruhan, film ini tetap menarik untuk diikuti karena kelemahan-kelemahan tersebut tidak menjadi masalah yang signifikan. Unsur religi dalam film ini tidak begitu dominan, dan aksi-aksi yang luar biasa dari sang tokoh utama mampu mengalihkan perhatian dari kekurangan tadi. Film ini tetap layak diapresiasi dan diacungi jempol untuk aksi yang menakjubkan.

 

Tontonan penuh makna

Tentu saja, film The Book of Eli menyampaikan pesan yang berharga melalui karakter-karakter yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dari Eli sendiri, kita dapat mengambil contoh sikap yang patut diteladani. Dia tidak pernah menyerah, tidak peduli seberat apapun tantangan yang dihadapinya atau apa pun yang harus dia perjuangkan. Jika Eli awalnya skeptis, dia tidak akan pernah mencapai tujuannya dan akhir dari film ini akan berakhir dengan cara yang tragis.

Tak jauh berbeda dengan Eli, Solara juga punya semangat yang menggebu ketika mengikut Eli, meskipun sudah dihadang oleh Eli sendiri dan dihadapkan pada rintangan oleh Carnegie dan anak buahnya. Dia tetap teguh dalam keputusannya mengikuti Eli. Selain itu, Solara juga memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal yang belum dia ketahui. Di sisi lain, tokoh Carnegie. Walaupun tokoh antagonis jarang menjadi panutan, saya melihat sebuah pesan yang perlu diikuti oleh para generasi muda, yaitu kegemaran dalam membaca.

  47 Views    Likes  

meriah Megah Acara Orientasi Mahasiswa Baru Universitas Ciputra Surabaya

previous post

Mengenal Lebih Dekat Dengan Universitas Mercu Buana Jakarta
meriah Megah Acara Orientasi Mahasiswa Baru Universitas Ciputra Surabaya

next post

meriah Megah Acara Orientasi Mahasiswa Baru Universitas Ciputra Surabaya

related posts