Malam ini, aku dan Gaha menonton konser Efek Rumah Kaca, tentu saja Gaha yang memaksaku untuk menemaninya. Katanya dia ngefans berat sama Mas Lintang, vokalis ERK.
“Gila, ternyata capek juga. Tapi puas banget pertama kali nonton konser langsung ndelok konsere idola”
Begitulah Gaha, gaya bicaranya memang sedikit medhog. Dia besar dan tumbuh di Semarang menemani sang nenek yang baru saja meninggal sebulan yang lalu.
“Aku juga pertama kali nonton konser tapi nggak senorak kamu tuh”
“Ghue nggak norak ya, ghue ini manusiawi. Elu nonton konser hikmad betul macam wong upacara”
Aku tahu sebenarnya dia hanya kesepian. Dia nyanyi dan teriak-teriak hingga serak karena ingin meluapkan emosi. Sedangkan aku diam merenungkan lirik yang mereka nyanyikan. Kebobrokan sistem negara ini seolah sedang mereka diskusikan dalam lagu yang mereka bawakan.
**
Namaku Alfa, Alfanendra Putra Wijaya. Banyak orang melihatku sebagai Wijaya daripada sebagai Alfa. Ayahku memang salah satu pejabat berpengaruh di negara ini, namun itu Ayahku, bukan aku. Sedangkan saat ini, Aku dan Gaha sedang memilah sampah di ruang Adiwiyata.
“Tumben nggak karo Puspa, Al”
“Kemarin baru aja putus”
“Pacar pertama bertahan seminggu thok iki? Kalah karo pewangi ruangan kowe, Al”
“Aku sih bilangnya pengen fokus belajar buat masuk PTN, tapi masalah sebenarnya bukan itu. Aku takut nggak kuat nahan iman. Dia kalau jalan bareng aku pakaiannya terbuka banget, mana kalau diboncengin dadanya suka nemplok gitu. Ya aku menyelamatkan diri aja biar nggak jadi cowok brengsek”
“Itung-itung nggo latihan, lah. Di kota-kota besar yang kayak begitu udah biasa kali. Meskipun susah, cowok juga harus bisa ngontrol kelaminnya”
“Jangan suruh cowok jaga kelamin mulu dong. Cewek juga punya tanggung jawab dalam menjaga aturan sosial kali. Tujuan para sesepuh kita nyuruh cewek nutup aurat tuh bukan supaya nggak diperkosa sama penjahat, tapi supaya mencegah laki-laki baik menjadi jahat. Kalau penjahat udah niat jahat sih jangankan pakai baju minim, pakai mukena juga pasti kejalanin juga”
“Ya bener juga sih. Tapi kriminalitas kan gabungan antara niat karo kesempatan, lha nek nggak ada salah satu yo batal”
“Tapi pejabat sing korup ngakunya pada nggak ada niatan buat korup tuh, cuma gara-gara disodorin kesempatan mulu, ya klepek juga mereka sama duit rakyat”
***
Terkadang Gaha dengan tidak tahu malunya menumpang makan dirumahku, seperti saat ini. Aku, Gaha, dan Ayah sedang makan malam bersama. Kami memang sudah bersahabat sejak duduk dibangku SMP. Aku masih mengingat dengan jalas sewaktu Gaha bercerita tentang dirinya. Ibunya telah meninggal ketika ia masih berumur lima tahun. Ia yang saat itu tinggal di Sulawesi harus pindah bersama neneknya di Semarang, sedangkan Ayahnya tetap tinggal di Sulawesi untuk bekerja. Itulah mengapa Gaha begitu dekat dengan sang nenek. Ia kerap bercerita bagaimana neneknya begitu kesepian ketika berada di rumah. Katanya, orang yang sudah tua hanya butuh ditemani, didengarkan ceritanya, dan butuh perhatian dari anak-anaknya. Sebab, mereka sudah tidak mampu melepaskan energi dengan bekerja. Bergosip dengan teman-temannya pun sudah sulit karena banyak dari mereka yang telah tutup usia.
“Eh Gaha, om mau nanya dong. Itu si Alfa punya pacar ya? Kemarin om liat dia bawa-bawa bunga gitu”
“Kenapa nggak nanya sama anak sendiri sih, Pah? Aku didepan Papah loh ini”
“Sengaja biar kamu komen. Kasih tau Papah dong, punya cewek nggak kabar-kabar”
“Udah putus kemarin. Jangan tanya kenapa, aku males jelasinnya”
“Siapa yang nanya kamu, orang papah mau nanya sama Gaharu kok”
“Pacaran cuma seminggu om. Alasannya Alfa pengen fokus sinau, tapi sakjane gara-gara Alfa nggak suka lihat pakaian ceweknya yang terlalu terbuka gitu”
“Bukannya nggak suka, takut lemah iman aja. Masalahnya di aku sendiri dan aku males harus ngomongin beginian sama dia, takut dianya tersinggung. Halah ribet lah, Pah”
“Mungkin kamu emang masih perlu belajar lagi buat mengenal satu sama lain, Al. Karena kebanyakan dari kita takut dengan hal-hal yang tidak kita pahami. Sedangkan untuk memahami butuh dialog, tapi dialog itu yang cenderung kamu hindari. Mungkin kamu butuh berteman dengan banyak orang. Gapapa punya temen yang pakai cadar atau yang kemana-mana pakai tanktop dan segala macamnya, karena semakin banyak ragam dalam pertemananmu, semakin kamu punya empati, semakin kamu ngerti, dan nggak takut”
Makan malam ini berakhir dengan Gaha yang menginap di rumahku dengan alasan dia malas pulang. Sedangkan aku masih merenungi kata-kata yang Papah sampaikan. Aku menjadi sadar, selama kita masih canggung melihat perempuan bercadar atau mengenakan tanktop dan sejenisnya, selama itulah kita masih belum terbiasa untuk menerima ragamnya warna di Indonesia.
***
Kelas hari ini telah berakhir, biasanya aku memang tidak langsung pulang. Malas saja jika harus cepat-cepat pulang dan berakhir sendirian di rumah. Aku mampir ke kantin karena hari ini niatnya mau sparingan.
“Di depan rame-rame ada apaan, sih?”
Itu suara Gaha, dia tiba-tiba datang bersama Odi sambil membawa makanan ditangannya. Odi ini tipe cowok yang banyak dikagumi perempuan karena tampangnya yang atraktif dan cerdas. Kami dipertemukan di club debate sekolah dan menjadi dekat karena sering bertemu di lapangan untuk sekedar berlatih basket.
“Peresmian dari pemerintah buat bikin bukit algoritma”
“Bikin bukit algoritma tapi sumber daya manusianya itu-itu aja ya sama aja bohong”
“Haha anjir Gaha ada benernya juga sih, padahal peningkatan SDM itu bagian dari infrastruktur. Bukan cuma jalan tol sama pelabuhan doang. Bikin jalan tol nggak ada yang bisa maintenance-nya kan sama aja bohong, bikin pelabuhan gak ada capable buat managemen keluar masuk kapal, barang, dan lain-lain sama juga bohong, apalagi bikin bandahara. Tapi yaudah lah ya, peningkatan mutu pendidikan kan gak bisa buat selfie, beda ama peresmian-peresmian didepan”
“Alasan bapak mindahin aku nk kene juga karena beliau pengen aku terfasilitasi dalam pendidikan sih. Waktu kemarin aku balik kampung ke Sulawesi, kan sempet ngajar bocah-bocah juga, miris ndelok e. Ada yang kaos kakinya melorot, ada sing rok seragame diikat pakai ban dalam sepeda, pakai sepatu jempole keliatan, tapi paling banyak nganggo sandal jepit. Roknya ada sing sampai 7/8 bukan karena ikut mode, tapi memang harus ganti karena dia makin tinggi. Nih aku masih punya fotone mereka. Deloken”
“Mana nggak ada yang keliatan males lagi, malu gue sama mereka. Terus gurunya dari pemerintah gitu apa gimana, Ga?”
“Gurunya cuma satu, dipanggilnya Pak Kepala Sekolah karena beliau yang mendirikan, tapi kadang ada sukarelawan yang ngebantu ngajar. Gajinya juga dari iuran orang tua. Buat sampai ke sekolah, mereka menuruni bukit terjal dan pulangnya? Naik! bener-bener naik patang kilo, mlaku sisan. Kadang ogak pakai seragam karena kemarin basah kehujanan. Payung mana punya, nk kebetulan di ladang ada pemiliknya, bisa minta godhong gedhang. Tapi jarang dari mereka sing murung, mereka keliatan bahagia. Pernah tak takoni ‘capek nggak?’ Mereka jawabnya ‘mumpung masih bisa sekolah kak, biar nanti kalau cari uang tidak pakai tenaga seperti bapak sama ibu’ malu banget aku meh sambat”
Aku menyimak percakapan mereka hingga tiba-tiba Danuja memanggil kami untuk segera bertanding.
***
Hari ini, kami sedang dalam perjalanan menuju puncak. Awalnya Gaharu yang ribut mengajakku dengan alasan sepulang dari sini kami akan belajar sungguh-sungguh mempersiapkan UTBK. Tapi ayahku yang gabut di rumahpun ingin ikut, mumpung libur kerja katanya.
Kami menempuh perjalanan sekitar enam jam lebih untuk sampai ke Puncak, Jawa Barat. Ketika masuk lebih dalam dari Taman Bunga Nusantara, aku melihat enam anak mengenakan seragam sekolah berjalan bersama dalam hujan. Tidak ada yang punya tas, mereka menggunakan plastik kresek untuk membawa buku. Papah kemudian menghentikan mobilnya di samping mereka.
“Kalian mau kemana? Ayo naik, kakak antar ke sekolah”
“Boleh, kak? Nanti kakaknya kena basah juga”
Mereka menggigil kedinginan. Namun, mereka tetap bersekolah meski dalam keterbatasan. Ketika sampai di sana, sekolah dasar itu hanya punya satu ruang belajar, kelas satu dan kelas dua yang berpunggungan.
“Aku miris banget ngelihat mereka, padahal ini puncak. Tempat wisata warga Jakarta kelas menengah sampai kelas atas, tapi manfaatnya kayak nggak kena ke orang lokal”
“Puncak ini masih banyak wilayah ruralnya, Al. Belum jadi wilayah industri dan komersialisasi besar seperti Bekasi, Depok, Tangerang. Yang bisa mereka tawarkan ya wisatanya, itupun persaingannya sulit banget. Warga lokal paling buat rumah makan atau kalau beruntung tempat penginapan, tapi sebagian besar ya jadi pekerja.”
Bukan bermaksut menjual kemiskinan, namun ketidakadilan ini begitu kentara. Padahal pendidikan merupakan faktor utama dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, namun faktanya masih banyak anak-anak yang belum terlayani pendidikannya. Angka putus sekolah tinggi, kekurangan guru, sarana prasarana belum memadai, dan masalah lainnya masih belum teratasi dengan baik.
***
Ponselku bergetar ketika Gaha mengirim pesan bahwa ia sudah di depan rumah. Katanya dia ingin membuka pengumuman bersama denganku. Hari ini adalah pengumuman SBMPTN, kami memilih universitas yang sama. Bohong jika aku berkata perasaanku baik-baik saja, aku merasa cemas dan kulihat Gaha juga merasakan hal yang sama. Semua perjalanan belajar kami saat ini terasa mengarah ke titik itu. Tapi kami telah berdiskusi semalaman membahas hal ini, diantara kami nggak akan ada yang menang atau kalah. Kalau ditolak bukan berarti kita gagal, kita hanya jatuh, kadang memang butuh jatuh untuk bisa belajar bagaimana mengangkat diri sendiri.
“Jangan terlalu keras sama diri sendiri, hasil pendidikanmu nggak terlihat dari nilai SBMPTN-mu. Tapi dari gimana kalian memperlakukan orang lain. Kebutuhan bangsa akan dokter dan insinyur memang tinggi, tapi kebutuhan bangsa terhadap generasi yang sehat secara mental jauh lebih tinggi”
“Iya, Papah. Udah ya ceramahnya, papah keluar dulu. Mau buka pengumuman, jangan diliatin mulu deh, malu aku”
“Iya, papah keluar nih. Siapa juga yang ceramah, Papah lagi baca quotes di hape buat Gaharu kok. Ge-er banget kamu”
“Suara papah masih kedengeran dari kamar aku, ya”
“Ya, bagus kalau denger, berarti kuping kamu normal. Nanti yang keterima jangan lupa traktiran, kalau nggak ada yang keterima nangis aja dipojokan. Nanti Papah gofud-in”
Kami membuka pengumuman bersamaan. Gaha meneteskan air mata setelah membuka pengumuman itu. Dia diterima di Ilmu Komunikasi sedangkan aku diterima dijurusan Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
“Selamat buat ghue sendiri, selamat juga buat kamu, Al. Rasane masih koyok mimpi. Aku wes janji sama bapak bakal ke Sulawesi kalau udah dapat kampus, ternyata Tuhan juga pengen aku cepet-cepet ketemu karo bapak. Makasih Ya Allah”
Ponsel Gaha tiba-tiba berdering, dia mengangkat telpon masih dengan mata berkaca-kaca. Aku masih bisa mendengar kata-katanya dari sini.
“Assalamualaikum, bapak. Padahal Gaha baru aja mau nelpon bapak, eh kedisikan ternyata. Bapak sehat? Gaharu keterima di UI, Pak..”
Raut wajah Gaha tiba-tiba berubah, dia diam mematung menggenggam ponselnya dengan erat, matanya kosong. Aku tau dia sedang tidak baik-baik saja dan entah mengapa perasaanku tidak enak.
“Ghue pamit dulu, bapak Ghue meninggal. Aku harus ketemu bapak”
Seketika kepalaku pusing, tanganku gemetar. Aku tidak bisa membayangkan menjadi dirinya. Bagaimana kebahagiaan yang ia dapatkan berubah secepat itu. Dia bahkan mengatakan itu dengan berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumah ini seolah tidak ada waktu untuk larut dalam kesedihan. Aku tahu betapa Gaha selama ini bersungguh-sungguh menempuh pendidikan, betapa dia tidak ingin mengecewakan sang ayah, betapa ia sangat merindukan ayahnya, dan kabar itu bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.
***
Hai, Alfa. Terima kasih atas doanya, bapak sudah dimakamkan seminggu yang lalu. Beliau meninggal karena ISPA, sudah dua tahun beliau mengidap penyakit itu. Aku sedih tidak bisa menemani bapak di hari-hari terakhirnya, aku kecewa dengan diriku sendiri atas ketidaktahuanku. Namun, itu tak seberapa dengan hancurnya hatiku mengetahui banyak warga disini mengidap penyakit yang sama dengan bapak. Kami tinggal di Desa Mandalika Palu, Sulawesi Tengah. Hanya berjarak 100 meter dari lokasi pengolahan batu bara milik Samara Wijaya. Aku tidak bisa membencimu hanya karena perusahaan itu milik ayahmu. Biarlah kebencianku dengan ayahmu menjadi urusanku, kamu jangan ikut membencinya. Sayangi selagi ia masih ada di dunia ini. Semakin dewasa aku semakin sadar, dunia ini bukan hitam dan putih, dunia ini gradasi. Tidak ada orang baik dan orang jahat, semuanya abu-abu. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu dan ayahmu, kita akan tetap berteman. See you, sampai bertemu di kampus nanti
Seminggu penuh aku menghawatirkan dirinya dan itu balasan atas pesan yang ku kirimkan. Aku bingung harus bagaimana, kecewa? Sedih? Marah? Seharusnya Gaha yang lebih berhak untuk itu. Perasaan ini ngeri. Aku bingung, Gaharu Pradipta ini terbuat dari apa? Memang bisa kami kembali seperti dulu setelah semua yang menimpanya? Apakah aku memang seberuntung itu untuk punya teman sepertinya? Lalu aku dan Papah bagaimana? Apakah bisa aku bersikap seperti biasa di depan Papah?
Warga Mandalika Palu Menderita ISPA, Kanker, Hingga Kematian Beruntun-kompos.com
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan