Turki Ottoman (1517-1924 M): Kekhalifahan Islam Terakhir di Dunia

Kekhalifahan Turki Utsmani, atau dikenal juga sebagai Ottoman dalam ejaan Barat, merupakan kekhalifahan Islam terbesar dan terakhir di bumi yang hadir pada akhir abad pertengahan dan awal era modern. Berbeda dari beberapa kekhalifahan Islam sebelumnya, Turki Utsmani bukan berasal dari Bangsa Arab, apalagi mengklaim silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan besar ini melainkan berawal dari suatu suku nomadik atau pengembara biasa dari bangsa Turki bernama Oghuz yang awalnya mendiami daerah Mongol dan daerah utara China.

Suku Nomadik yang Menjadi Dinasti

Suku Oghuz mulai mengenal dan memeluk ajaran Islam ketika menetap di Asia Tengah selama abad ke-8 dan 9. Suku ini kemudian mengembara ke Turkistan, Persia, lalu Irak. Ketika mereka mengembara di Irak, terjadi serangan-serangan orang-orang Mongol pimpinan Jenghis Khan, yang memaksa suku ini mencari tempat pengungsian ke tengah orang-orang Turki Seljuk di dataran tinggi Asia Kecil. Berkat hubungan baik yang terjalin antara kedua suku ini, Penguasa Seljuk menghadiahkan sebidang tanah di wilayah barat Anatolia, dekat perbatasan Romawi. Suku Oghuz semakin berkembang menjadi kekaisaran kecil yang beribukota di Syukud pasca tahun 1071.

Dinasti Utsmaniyyah pun resmi berdiri pada tahun 1299, ketika kepemimpinan suku Oghuz dipegang oleh Osman Gazi atau Utsman bin Urtughral atau Osman I (1294-1326). Di masa Osman I, dinasti ini berhasil memperluas batas pemukiman Turki hingga ke perbatasan Kekaisaran Byzantium di Asia Kecil. Dari Dinasti Utsmaniyyah, gelar “Kekhalifahan Islam” sendiri baru berhasil diraih untuk pertama kalinya di tahun 1517 oleh Sultan Selim I setelah sukses menaklukkan Kesultanan Mamluk. Penaklukan ini sekaligus menandai berakhirnya Kekhalifahan Abbasiyah (yang beraliansi dengan Mamluk) dan naiknya Turki Utsmaniyyah atau Ottoman sebagai khalifah baru umat Muslim dunia.

Kekhalifahan Turki Utsmani berkuasa cukup lama, yakni sekitar 625 tahun, dan berjaya antara tahun 1517-1924 M. Dengan periode waktu selama itu, tentu saja kekhalifahan ini menghadirkan suatu peradaban Islam yang baru. Wilayah kekuasaannya mencakup semenanjung Arab hingga Asia Selatan, menjadikan Turki Utsmaniyyah kekhalifahan yang multinasional, multietnis, dan multilingual sebagai perpaduan antara kebudayaan Persia, Bizantium, dan Arab. Peradaban Islam baru yang berkembang ini kemudian menghadirkan berbagai kemajuan baik di bidang kesenian, ilmu pengetahuan, bahkan pengobatan medis.

Tersohornya Turki Utsmani di Mata Dunia

Turki Utsmaniyyah berjaya di bawah pemerintahan Sultan Mehmet II yang dikenal juga dengan sebutan al-Fatih (Sang Penakluk). Di masa al-Fatih pada tahun 1453, Islam berhasil menguasai Konstantinopel yang merupakan kota paling tak tertembus di dunia saat itu dan menjadikannya ibukota Turki Utsmani dengan nama Istanbul. Sejarah ini adalah kisah umum tentang kesohoran Turki Utsmani atau Ottoman di Istanbul yang barangkali sudah pernah kalian dengar sebelumnya.

Kekhalifahan Turki Utsmani juga mencapai puncak kejayaan di masa Khalifah Sulaiman al-Qanuni atau Sulaiman the Magnificent (Sulaiman yang Hebat) sepanjang abad ke-16 dan 17 (1520-1566). Pada saat itu, Turki Utsmani bahkan dinobatkan sebagai pemilik kekuatan tempur terbesar di dunia. Tak heran kekhalifahan ini berhasil menguasai sebagian besar wilayah Eropa Tenggara, Asia Barat, Kaukasus, Afrika Utara, hingga Tanduk Afrika. Pada awal abad ke-17, kekhalifahan memiliki 32 provinsi dan banyak negara bawahan. Beberapa kemudian terintegrasi ke Turki Utsmani, sementara yang lainnya memperoleh berbagai jenis otonomi selama berabad-abad.

Di bawah kekuasaan Turki Utsmani, kota Istanbul menjadi pusat kekaisaran dan peradaban yang luas serta berkembang selama berabad-abad. Sebagai penakluk, Turki Utsmani tidak menghancurkan kota-kota umat Kristen yang direbut, melainkan melestarikan dan memperindahnya dengan hati-hati; misalnya menambahkan 4 menara Muslim ke Hagia Sophia, membangun banyak masjid dan istana indah, serta mengubah sisa-sisa kota Konstantinopel menjadi ibu kota kekaisaran yang baru dan indah. Istanbul menjadi pusat kebudayaan serta kehidupan politik. Istanbul yang bertempat di sekitar cekungan Mediterania juga menjadi gerbang antara Timur dan Barat, tempat dimana Asia dan Eropa berinteraksi dan berbaur selama 6 abad.

Karena kekuasaannya yang besar, orang Eropa umumnya memandang mereka sebagai ancaman. Namun banyak sejarawan yang menganggap peradaban Turki Utsmani atau Ottoman adalah sumber stabilitas dan keamanan yang luar biasa, serta pencapaian penting dalam bidang seni, ilmu pengetahuan, agama dan budaya. Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani secara keseluruhan memang lebih memperhatikan kemajuan bidang politik dan militer. Militer diinjeksikan keras ke seluruh lapisan dan wilayah kekaisaran demi memperkokoh kekuasaan Turki Utsmani.

Namun berbagai bentuk kesenian juga tak kalah populer di masa itu, seperti kaligrafi, lukisan, puisi, tekstil dan karpet tenun, keramik dan musik. Di bidang arsitektur, Ottoman membangun masjid dan bangunan umum yang rumit. Sains dianggap sebagai bidang studi yang penting, dimana Turki Utsmani mempelajari dan mempraktikkan matematika tingkat lanjut, astronomi, filsafat, fisika, geografi, dan kimia. Selain itu, beberapa kemajuan terbesar dalam pengobatan dibuat oleh peradaban ini, dimana mereka menemukan beberapa instrumen bedah yang masih digunakan sampai sekarang, seperti forsep, kateter, pisau bedah, penjepit dan lanset.

Tidak hanya itu, dalam kehidupan masyarakatnya, Turki Utsmani dikenal sangat toleransi dengan pemeluk agama lain, seperti umat Kristen dan Yahudi yang telah ada sejak awal kekaisaran berdiri. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana Islam mempengaruhi berbagai komponen peradaban Kekhalifahan Turki Utsmani, termasuk dalam bidang politik dan pemerintahannya. Turki Utsmani memang menjadikan agama sebagai sumber legitimasi yang signifikan untuk kekaisarannya, namun dalam bentuk yang sangat seimbang dan dibatasi sehingga tetap memungkinkan keragaman dan toleransi menjadi bagian dalam ranah publik. Agama sangat berarti bagi kekhalifahan sebagai sumber identitas dan legitimasi, meski bukan yang satu-satunya, dan digunakan untuk mengembangkan institusi negara serta menyelenggarakan berbagai fungsi negara.

Dengan demikian, meski menjadi aspek yang begitu penting, agama tidak bekerja sendirian dalam mengatur segala aspek kehidupan Turki Utsmani; melainkan bertahan dalam keseimbangan kekuatan antara hukum sultan yang non-agamis maupun hukum syariah. Dengan kata lain, Kekhalifahan Turki Utsmani mampu menghadirkan kehidupan publik negara yang ideal dengan memadukan prinsip serta hukum kesultanan maupun agama. Yang mana menjadi prinsip utama dalam mendukung latar Kekhalifahan Turki Utsmani yang pluralisme multietnis dan multiagama.

Referensi

Admin. (2021) The Ottoman Empire. Diakses dari https://www.allaboutturkey.com/ottoman.html

History Editors. (2020). Ottoman Empire. Diakses pada https://www.history.com/topics/middle-east/ottoman-empire.

Lewis, B. (1963). Istanbul and the Civilization of the Ottoman Empire. Norman: University of Oklahoma Press.

Lumencandela. (2021). The Ottoman Empire. Diakses pada https://courses.lumenlearning.com/suny-hccc-worldhistory2/chapter/the-ottoman-empire/#:~:text=The%20Ottoman%20Empire%2C%20also%20known,Oghuz%20Turkish%20tribal%20leader%20Osman.&text=The%20Ottomans%20ended%20the%20Byzantine,Constantinople%20by%20Mehmed%20the%20Conqueror.

  3012 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts