Gejolak fluktuasi di Indonesia memiliki rekam jejak yang tinggi dan bersifat persisten, kenaikan harga barang secara kontinu ialah makna dari dari inflasi itu sendiri, ada beberapa parameter yang menjadi acuan mengenai gejolak inflasi, diantaranya suku bunga BI Rate, jumlah uang beredar, nilai tukar mata uang, dan konsumsi rumah tangga. Artikel ini mendiaknosis gejolak inflasi pasca covid-19, metode analisis yang kami gunakan ialah literatur rivew, yamg mana kami merivew 20 artikel dan mengelola data informasi yang kami dapatkan dari setiap artikel yang membahas tentang faktor pendukung fluktuasi inflasi pasca covid-19 Kata kunci : Inflasi
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Pulau Sumatra Pasca Covid-19 Melalui Analisis literatur Review Diana Ramadani1.a), Impi Puspita Sari1.b), Bayu Ramadhan1.c), Richwan Gunawan S1.) Jurusan Ekonomi Pembanggunan, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Bengkulu email a)dianaramadani42@gmail.com b)impipispita5@gmail.com c)richwangunawan790@gmail.com d)bayu91416@gmail.com ABSTRAK Gejolak fluktuasi di Indonesia memiliki rekam jejak yang tinggi dan bersifat persisten, kenaikan harga barang secara kontinu ialah makna dari dari inflasi itu sendiri, ada beberapa parameter yang menjadi acuan mengenai gejolak inflasi, diantaranya suku bunga BI Rate, jumlah uang beredar, nilai tukar mata uang, dan konsumsi rumah tangga. Artikel ini mendiaknosis gejolak inflasi pasca covid-19, metode analisis yang kami gunakan ialah literatur rivew, yamg mana kami merivew 20 artikel dan mengelola data informasi yang kami dapatkan dari setiap artikel yang membahas tentang faktor pendukung fluktuasi inflasi pasca covid-19 Kata kunci : Inflasi PENDAHULUAN Penutup tahun 2019 dunia ricuh oleh sebuah fenomena covid-19 yang etiologinya belum diketahui kasus ini bermula dari negeri bambu tepatnya di kota wuhan , kecil tak kasat mata dan mematikan itulah reaksi dari serangan covid-19. WHO angkat bicara mengenai hal ini peningkata dan penyaluran wabah ini sangat pesat, pada agustus 2020, 17.660.532 kasusa yang terkonfirmasi dan jumlah kematian 680.894 yang terjadi di 216 negara. (WHO, 2020). Akibat dari pademi ini adalah gejolak inflasi, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantarannya suku bunga bi rate, suku bunga bi rate ini sendiri ialah sebuah kebijakan dalam penentuan nilai suku bunga yang ditetapkna dan dikeluarkan oleh bank indonesia. 5 kali pemangkasan atau sebesar 125 basis poin (bps) pada tahun 2020 bi rate memangkas suku bunga acuan sebagai respon otoritas moneter atas kondisi perekonomian Indonesia yang dipengaruhi oleh covid-19, pada juli 2020 suku bunga menepati posisi di level 4 persen. Pada desember 2020 terjadinya penambhan quantitative easing sebesar Rp694,87T, penambahan tersebut mengalir dari penurunan dana giro wajub minimum (GWM) sebesar Rp155T. Terjadinya pemelaran atas likuiditas memicu meningkatnya AL/DPK sebesar 31,52% dan penurunan mean suku bunga sebesar 3,20%, hal ini turut berdampak pada rendahnya tingkat suku bunga deposito dan kredit modal kerja 4,74% menjadi 9,38%. Hal ini terjado akibay IHK pada 2020 terlapor 0,28% jika dikalkulasikan menjadi data tahunan menjadi 1,59%. Ketika era covid-19 tingkat inflasi yang dialami Indonesia relatif stabil maka dari itu kebijakan moneter yang diambil adalah menurunkan tingkat suku bunga yang bertujuan menambahkan jumlah uang yang beredar di masayarakat,, agar dalam kondisi pandemi kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi, jika kita kita melakukan kilas balik dari tingkat inflasi pada saat covid dan sesudah covid seperti saat ini terjadinya kenaikan inflasi sebesar 3,21% hal ini dipicu oleh kenaikan harga BBM. Bi rate menggambarkan sikap stance yang dilaksankan oleh bank Indonesia dan dipublikasikan kepada masyaraket Selain dari tingkat suku bunga bi rate, jumlah uang yang beredar di masyarakat juga dapat mempengaruhi tingkat inflasi,secara tingkat likuiditas makna uang beredar dideskripsikan menjadi dua yang pertama uang beredar dalam arti sempit (M1) yaitu uang kertas dan uang logam ditambah simpanan dalam bentuk rekening koran .M1 ini adalah yang paling likuid,karena proses dalam menjadikannya uang kas sangat cepat dengan minimnya terjadi kerugian.yang kedua uang beredar dalam arti luas (M2) yaitu M1 tambah tabungan tambah deposito berjangka.kondisi sebelum terjadi covid 19 pada tahun 2017 peredaran uang rupiah naik 13,4 % sebesar Rp.694 triliun dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp.612 triliun.pada akhir tahun 2019 peredaran uang mengalami tumbuh melambat 6,5 % sebesar Rp.6.136,5 triliun hal ini disebabkan perlambatan pertumbuhan uang kartal dan giro rupiah pada waktu itu perlambatan pertumbuhan aktiva dalam negeri bersih terutama disumbang oleh penyaluran kredit yang melambat menjadi 5,9% pada kondisi awal pandemik covid 19.untuk likuiditas uang beredar tahun 2020 meningkat 12,4% pada akhir bulan sebesar Rp.6.900,0 triliun hal ini dipicu oleh aktiva luar negeri bersih dan kenaikan espansi keuangan pemerintah serta kredit yang diberikan terbatas hanya dalam bentuk pinjaman (Loans). Kondisi ketika di tahun 2021 uang beredar juga tumbuh meningkat 13,9% sebesar Rp.7.867,1 peningkatan ini terjadi adanya dorongan oleh akselerasi uang beredar dalam arti sempit(M1) dan uang kuasi.setelah pandemik covid 19 uang beredar tumbuh positif pada bulan september 9,1% sebesar Rp.7.962,7 triliun hal ini dipengaruhi oleh perkembangan aktiva luar negeri bersih,keuangan pemerintah,dan penyaluran kredit. dalam pandemi covid 19 jumlah uang beredar substansial terhadap inflasi,maknanya kenaikan jumlah uang beredar dapat menyebabkan kenaikan inflasi akibat covid 19 di Indonesia secara nyata.yang mengakibatkan naiknya harga-harga barang dan jasa.berbagai komoditas dan aktivitas perekonomian diberhentikan dan pemberlakuan PHK oleh para pekerja.jika kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar akan terjadi inflasi yang tinggi dan akan memperburuk kondisi perekonomian Indonesia ketika pandemi covid 19. Konsumsi Rumah Tangga di masyarakat juga dapat mempengaruhi tingkat inflasi, Konsumsi rumah tangga terfokus pada pengeluaran akhir rumah tangga terhadap barang dan jasa Konsumsi pada dasarnya menjadi salah satu besarnya persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). sebelum kondisi terjadinya covid 19 pada tahun 2019 konsumsi rumah tangga di pulau Sumatra sebesar 47.023.356. kemudian pada saat di era pandemi covid 19 pada tahun 2020 meningkat sebesar 48.803.202. di tahun 2021 mengalami penurunan yang sedikit menjadi 48.750.791. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan, konsumsi rumah tangga tumbuh 2,02% pada 2021. Angka tersebut lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 2,63%. Sementara besaran PDB atas dasar harga berlaku, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai Rp 9,24 kuadriliun pada 2021. Yang Artinya, konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 54,42% dari total PDB yang mencapai Rp 16,97 kuadriliun. Meskipun konsumsi masyarakat mengalami pertumbuhan, tetapi pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan dengan sebelum terjadi pandemi Covid-19, yakni pada 2019 yang mampu tumbuh di atas 5 persen. Konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan selaras dengan tumbuhnya perekonomian nasional sebesar 3,69% pada 2021. Sebagai informasi, ekonomi domestik mengalami kontraksi sebesar 2,07% pada 2020 akibat terjadinya pandemi.Kondisi pandemi Covid-19 yang relatif terkendali pada kuartal IV 2021, tren pemulihan ekonomi global yang terus berlanjut, serta stimulus fiskal mendorong akselerasi pertumbuh ekonomi Indonesia. Hal ini Konsumsi Rumah Tangga dengan inflasi sangat berpengaruh, konsumsi yang meningkat mengindikasikan tingginya permintaan dari sehingga hal tersebut dapat mendorong kenaikan harga (inflasi) pada saat pandemi covid-19. Nilai tukar suatu mata uang atau kurs adalah perbandingan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara asing lainnya). Sesuai dengan pernyataan dari Samuelson dan Nordhaus (2004:305). Maka dari itu terdapat keadaan dimana suatu mata uang dapat melemah atau menguat terhadap mata uang negara lain karena berbagai kondisi, sesuai dengan pernyataan Joesoef (2008:13) meningkatnya nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya karena mekanisme pasar disebut dengan apresiasi, dan menurunnya nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya karena mekanisme pasar disebut dengan depresiasi. Nilai tukar suatu mata uang atau kurs adalah perbandingan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara asing lainnya (Thobarry, 2009). Pada saat Pandemi covid 19 nilai tukar rupiah terhadap dollar di awal desember 2019 sebesar 13.901 rupiah dan hingga februari 2021sebesar 14.229 Rupiah jadi tidak terlalu berpengaruh karena dilihat dari data Bank Indonesia 2021 nilai tukar Rupiah terhadap Dollar stabil dan untuk inflasi perbulan pada awal desember 2019 sebesar 0.34% hingga februari 2021 sebesar 0.10% mengalami fluktuasi namun secara keseluruhan inflasi mengalami penurun di saat pandemi.