Basa Jawa Itu Termasuk Bahasa, Tidak Ada Alasan Untuk Malu Mengakuinya

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kontrak di mata kuliah yang tenaga pengajarnya belum pernah saya temui.  Seperti biasa, kelas pertama dimulai dengan perkenalan dan obrolan ringan sebelum masuk ke dalam materi.  Dosen tersebut tiba-tiba bertanya pada teman sebangku saya, “Kamu bisa berapa bahasa?” lalu teman saya yang asli Solo ini menjawab, “Tiga, Pak.  Indonesia, Inggris, sama sedikit Mandarin.”

Jawaban teman saya ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya.  Saya tahu betul ia sangat lancar berbahasa Jawa; dari yang menggunakan awakku/sampeyan/kowe sampai dalem/kula.  Ia sangat lancer berbicara ngoko dengan saya yang berasal dari Jawa Timur, pun perbendaharaan kosa katanya dalam krama inggil juga sangat banyak karena kakek neneknya menuntut komunikasi dengan tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa tersebut.  Saya juga tahu ia jago menulis aksara Jawa, bahkan pernah membuat kertas contekan dalam tulisan tersebut agar tidak bisa dibaca oleh orang lain.  Lantas, kenapa bahasa Jawa tidak masuk dalam pernyataan bahasa yang ia kuasai?

Fenomena ini adalah sebuah ironi.  Jika ditilik dari sejarahnya, pada peristiwa Sumpah Pemuda leluhur kita memang menyatakan bahwa bahasa persatuan ialah bahasa Indonesia.  Jelas, menggunakan bahasa Indonesia adalah sebuah tindakan heroik.  Ini berarti para pendahulu kita tidak semata-mata memilih Jawa sebagai bahasa persatuan hanya karena Jawa adalah suku mayoritas.  Tidak ada supremasi suku/etnis tertentu, karena tujuan mereka ya kita ini satu Indonesia walaupun memiliki berbagai latar belakang yang berbeda.  Bahasa Indonesia menjadi pernyataan dari keadilan bagi semua golongan.

Berdasarkan perhitungan dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia memiliki 1158 bahasa daerah.  Di satu sisi, tindakan yang dilakukan pada peristiwa Sumpah Pemuda memiliki imbas yang kurang baik pada ribuan bahasa yang ada di seluruh penjuru Nusantara.  Dalam benak masyarakat, bahasa yang digunakan oleh etnis, suku, atau daerah tertentu seakan-akan memiliki kedudukan atau martabat yang lebih rendah dibandingkan bahasa Indonesia.  Sama seperti jawaban teman saya ketika ditanyai oleh dosen tadi, ia tidak menganggap Jawa sebagai bahasa yang sejajar dengan Inggris atau Mandarin.  Bahasa Jawa bisa saja hanya dianggap sebagai bahasa ‘sampingan’.

Mengapa hal ini bisa terjadi?  Padahal, bahasa asli suku, etnis, atau daerah di Indonesia nyatanya memenuhi syarat untuk benar-benar disebut sebagai sebuah bahasa.  Banyak bahasa daerah di Indonesia yang memiliki aksaranya sendiri.  Sebut saja, aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda, aksara Batak, aksara Lampung, dan masih banyak lagi.  Tidak hanya aksara, bahasa-bahasa tersebut memiliki sejarah dan peninggalan.  Memang harus diakui bahwa catatan kesejarahan tentang bahasa dari zaman-zaman kerajaan hanya terbatas pada kitab-kitab dan prastasi, namun hal tersebut tidak menampik fakta bahwa bahasa itu telah digunakan oleh peradaban sebelum generasi kita sebagai lingua franca.

Uniknya lagi, banyak bahasa kita yang memiliki tingkatan.  Tingkatan di sini berarti kesopanan atau penggunaan tergantung kepada siapa kita berbicara.  Kata benda, kata kerja, pronomina pun berbeda-beda tergantung tingkatan yang ingin digunakan.  Ini menunjukkan betapa kayanya kosa kata bahasa daerah!  Tingkatan ini tidak dimiliki oleh semua bahasa di dunia.

Tingkatan ini pula yang membuat saya, orang Jawa tulen, merasa sangat spesial.  Walaupun ngoko, krama, dan krama inggil itu tiga tingkatan yang rasanya antartingkatan seperti bahasa yang berbeda, hal ini menunjukkan betapa budaya Jawa sangat kaya dan menjunjung kesopanan serta etika antara hubungan manusia.

Lantas, menurut saya yang menjadikan orang Indonesia kerap berpikir bahwa bahasa daerah tidak setara dengan bahasa Indonesia dan bahasa negara lain ialah daerah atau jangkauan pemakaiannya.  Sama seperti sebutannya, bahasa ‘daerah’ hanya bisa digunakan di daerah-daerah tertentu dengan suku/etnis/golongan tertentu di Indonesia.  Dengan fakta ini, banyak orang yang malas mengakui bahasa daerah yang bisa mereka gunakan.  Padahal, orang Indonesia perlu memiliki rasa percaya diri untuk menggunakan bahasa daerah masing-masing, terutama ketika banyak bahasa-bahasa minoritas yang terancam punah karena tidak memiliki penutur.  Mungkin dalam pembahasan ini, bahasa Jawa sedikit diuntungkan sejarah kali ya?  Karena di belahan dunia seberang sana, tepatnya di Belanda dan Suriname, kita memiliki saudara jauh yang masih satu lidah dengan orang Jawa di Indonesia.

Sebagai generasi penerus bangsa, perlu adanya kesadaran dalam diri untuk bisa bangga terhadap bahasa daerah yang dikuasai.  Walaupun tidak menjadi bahasa yang digunakan secara umum di tahap internasional, bahasa adalah identitas dan budaya kita.  Tidak ada alasan untuk bilang bahasa daerah adalah bahasa ‘sampingan’ karena toh, grammar dan tenses-nya sama-sama susahnya dengan bahasa-bahasa di luar negeri!  Justru sebagai penutur asli bahasa Jawa, saya sangat bangga karena di era globalisasi ini, saya masih memiliki identitas dan tidak lepas dari akar kebudayaan yang diturun-temurunkan oleh leluhur saya.  Sekarang dan seterusnya ketika ada orang yang bertanya “Kamu bisa bahasa apa saja?”  Dengan bangga saya akan memasukkan Bahasa Jawa ke dalam jawaban tersebut.

  134 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts