Cerpen : Jejak Dalam Kereta

Berdesak-desakan di Transjakarta dua kali sehari itu bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan, tetapi bukan suatu hal yang asing juga bagiku juga bagi sebagian umat Jakarta lainnya. Kampus yang berada di daerah Grogol dan rumah nun jauh di Bekasi, menjadikan aku harus rela pulang-pergi dengan berebut oksigen di dalam Transjakarta setiap harinya.

Tapi Transjakarta bagiku lebih baik seribu persen dari kereta. Entahlah! Aku sangat payah kalau harus naik kereta.

Selain sangat jarang bahkan nyaris tidak ada petugas yang berjaga-jaga di dalam kereta, pintu kereta pun selalu tertutup secara otomatis.

Menjadikan aku, orang yang memiliki banyak ketakutan ini, selalu sering ketinggalan kereta karena pintu yang tertutup otomatis tersebut.

Wuuusssss!

Huft! Aku mendesah lelah saat kereta yang harusnya aku naiki beberapa detik yang lalu, melaju dengan cepat saat kakiku nyaris menyentuh pintu kereta.

Selalu! Padahal tadi, posisiku berada paling depan diantara rombongan yang hendak masuk ke dalam kereta. Tapi entah karena tubuh ku kekurangan gizi, atau sebab aku mengantuk, atau memang takdir, yang membuat aku justru terdorong ke kiri oleh ibu-ibu bertubuh gempal, lalu harus tabah memulai antrean lagi dari belakang rombongan yang berimbas pada melajunya kereta tanpa membawa diriku.

Yak! Aku sangat tidak menyukai kereta.

Kalau saja jalur Transjakarta Pinang Ranti - Pluit sedang tidak mengalami pengalihan jalan, sudah pasti aku tidak berada di Stasiun Juanda saat ini.

Ini gara-gara demo di depan gedung DPR-MPR yang baru saja terjadi kemarin siang. Rute Transjakarta yang seharusnya dari Grogol hanya lurus terus ke arah Slipi dan Gatot Subroto, harus dialihkan ke arah Tomang dan keluar di Semanggi. Itu sangat membuang-buang waktu ku.

Kemarin saja, aku sampai berada di dalam busway sampai 3 jam.

Aku melihat layar yang menunjukan waktu kedatangan kereta menuju Bekasi. 15 menit lagi. Kalau 15 menit itu aku pakai berdiri, pasti kaki ku akan cenat-cenut sampai di rumah nanti. Tapi kalau aku duduk di bangku yang tersedia, sudah pasti aku akan kembali di selak dan berujung ketinggalan kereta.

Hah ini sih sama saja dengan naik busway yang peralihan jalan. Kalau di busway aku lama karena jalannya yang muter-muter berasa keliling Jakarta, kalau naik kereta, aku lama karena menunggu kereta tiba di Stasiun.

Pasalnya sudah ada beberapa umat manusia yang sudah berdiri di kanan dan kiri ku serta di belakang dan di masing-masing tempat terbukanya pintu.

Ya meskipun aku nggak tau sih orang-orang ini menunggu kereta menuju Bekasi atau Bogor. Tapi tetap saja, aku harus waspada dan berjaga-jaga agar tidak ketinggalan lagi.

10 menit berlalu. Tersisa 5 menit lagi sebelum kereta yang ku tunggu tiba. Entah kenapa, semakin berkurang waktu menunggu kereta, semakin jantung ku berdebar dengan kencang. Rasanya seperti menunggu rombongan calon suami yang hendak lamaran ke rumah ku.

Hah macam tau aja rasanya lamaran!

Tapi serius. Aku deg-degan. Aku takut lagi-lagi pintu kereta tertutup saat aku belum berada di dalam kereta. Atau parahnya, aku takut kejepit pintu kereta!

Kenapa sih kereta itu nggak seperti Transjakarta yang selalu ada petugas yang berjaga memastikan semua penumpang sudah masuk baru pintu ditutup? Kenapa?

Pikiran ku yang sedang membandingkan antara Transjakarta dan kereta terputus saat aku mendengar suara penanda datangnya kereta. Suara yang entah kenapa semakin membuat aku gugup saat orang-orang yang ada dibelakang ku mulai berdesakan dan sedikit membuat aku terdorong ke depan.

Aku takut. Aku takut jatuh ke rel lalu tertabrak kereta. Apa orang-orang ini mau bertanggung jawab kalau aku nanti jatuh? Kenapa sih nggak bisa santai saja? Naik dengan aman damai kan bisa!

Kereta melewatiku dan perlahan-lahan berhenti. Aku semakin terdorong ke depan. Bahkan ada yang mendorong ku ke sebelah kiri. Persis seperti kejadian kereta yang sebelumnya. Aku langsung sedikit mendorong orang tersebut sedikit ke kanan. Pertahanan diri ku untuk saat ini untungnya masih kuat.

Gawat! Kalau sampai aku ketinggalan kereta yang ini, aku harus kembali menunggu kereta selanjutnya!

Kereta berhenti. Pintu terbuka tepat di depanku, tapi saat tanganku hendak menggapai sisi dari pintu untuk bertumpu, aku kembali terdorong ke samping kiri. Membuat ku mengerang marah.

Kenapa sih? Susah banget apa buat orang Indonesia itu antre dengan tentram? Ya meskipun aku tau mereka juga takut ketinggalan kereta seperti ku, tapikan nggak usah sampai mendorong orang lain seperti ini! Anarkis banget sih!

Aku kembali berada di barisan paling belakang karena dorongan-dorangan yang berasal dari orang-orang sekitarku.

Dengan terpaksa aku menunggu orang-orang itu masuk dengan tergesa-gesa ke dalam kereta. Lalu saat giliranku hendak masuk, tiba-tiba pintu kereta nyaris tertutup.

Membuat ku menahan napas sejenak. Sebelum berteriak panik karena ada seorang cowok yang menahan pintu kereta agar nggak tertutup.

Aku berteriak panik, tangan ku terulur dan mengibaskannya, agar cowok itu melepaskan pintu dan membiarkan pintu tertutup. Melihat wajah meringis milik cowok itu saat menahan pintu membuat ku semakin panik.

Pasti tangannya sakit!

Lalu sepersekian detik kemudian, pintu kereta kembali terbuka. Dan tanganku yang masih terulur ke depan, ditarik oleh cowok si penahan pintu itu.

Aku melangkah masuk ke dalam kereta. Jantungku masih berdebar dengan keras, kakiku lemas, tanganku bergetar.

Katakan aku lebay. Tapi serius, ini pengalaman pertamaku naik kereta seekstrim ini.

Pintu tertutup lalu kereta kembali maju. Awal perlahan, lalu semakin lama semakin cepat.

Kalau kepalaku nggak salah cerna, barusan hampir saja ada makhluk bumi yang hampir terjepit pintu kereta, yang mungkin saat ini sedang merasakan cenat-cenut di tangannya, demi menahan pintu kereta agar aku -makhluk bumi lainnya yang tidak dia kenali,  berada di dalam kereta saat ini.

"Mbak nggak papa?" Tanya cowok penahan pintu itu.

Aku tersentak. Lalu melirik sekitar. Kereta malam ini nggak terlalu penuh sesak. Orang-orang pun sudah kembali sibuk dengan aktivitas dan pikirannya masing-masing. Aku sempat melihat wajah-wajah panik orang-orang ini saat pintu ditahan tadi.

"Nggak mas. Saya nggak papa. Masnya gimana? Harusnya tadi nggak usah ditahan mas pintunya. Kalau tadi masnya kejepit pintu gimana? Saya yang panik tau." Kataku panjang lebar, membuat cowok dihadapanku tersenyum lebar. Tangannya refleks melepas genggaman tanganku karena laju kereta dan beralih memegang pegangan kereta yang berada di atas kepalanya. Tanganku pun dengan sama refleksnya ikut mencari-cari pegangan di atas kepalaku. Sambil dalam hati, mengeluh karena merasa kehilagan genggaman hangat dari tangan cowok itu.

Sial! Kalau diliat-liat, si mas-mas ini cakep juga. Apalagi waktu nyengir nampakin giginya yang rapih itu.

"Nggak papa mbak. Abis saya nggak tega kalau sampai mbaknya ketinggalan kereta lagi. Tadi sebelum kereta ini, saya sempet liat mbak juga ketinggalan kereta, padahal posisi mbak persis di depan pintu."

Ah jadi si mas ganteng ini dari tadi merhatiin aku? Masya Allah!

Tanpa ku sadari, jantung ku yang tadi sudah mulai mereda temponya, kembali berdebar keras saat aku menatap mata si mas penahan pintu di depanku.

Aku menggaruk kepalaku salah tingkah. "Duh iya mas. Saya memang payah kalau naik kereta. Makanya kedorong ke belakang terus. Ngomong-ngomong, makasih ya mas. Kalau nggak ada mas tadi, mungkin saya masih di stasiun, nunggu kereta selanjutnya."

Si mas ganteng itu mengangguk dan mengucap kata sama-sama.

“Naik kereta memang harus gesit mbak. Soalnya penumpangnya ganas-ganas. Mungkin ya karena udah terbiasa gitu kali ya? Tuntutan juga sih sebenernya. Kayaknya mbaknya baru naik kereta ya? makanya masih belum terbiasa.” Lanjut cowok itu.

Aku mengangguk paham. “Iyasih saya memang belum terbiasa naik kereta, lebih suka Transjakarta. Abis kereta kayak agak rawan gitu nggak sih? Suka ada aja orang iseng yang colek sana-sini, jadinya nggak pernah berani. Padahal lebih cepat naik kereta kalau pulang pergi. Tapi ya itu, nggak berani.”

“Kalau saya pribadi malah lebih suka naik kereta mbak. Selain yang memang lebih cepat, kereta juga melatih kedisiplinan saya. Saya dituntut harus tepat waktu sampai di stasiun supaya nggak ketinggalan kereta, karena ya mbak tau sendiri kereta datangnya lumayan lama kalau kelewatan. Udah gitu, kereta juga mengajarkan saya untuk lebih peka terhadap sekitar, kayak kalau ada orang tua naik dan saya sedang duduk, pasti refleks berdiri buat ngasih kursinya ke orang tua itu. Jadi lebih mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri, melatih untuk gak menjadi egois dan meredam ego saya. Hal-hal kecil kayak gitu, tanpa saya sadari membentuk pribadi saya yang lebih baik. Ya meskipun baik-buruknya kita bukan kita sendiri yang menilai, tapi ya saya merasa ada aja hal positif yang saya dapat dari naik kereta ini.”

Aku mengerjap takjub pada cowok ganteng di depanku ini. Selain mata elangnya yang sangat indah, kalimat yang keluar dari mulutnya juga sungguh membuatku terkesima. Baru kali ini aku mendengar cerita seseorang tentang kereta dari sudut pandang yang positif seperti cowok ini. Nggak ada tuh kalimat-kalimat seperti, kereta sumpek, bau keringat orang-orang, panas, dan kalimat serupa lainnya yang keluar dari mulutnya.

Lalu percakapan kami selesai sampai disitu. Aku yang merasa rugi kalau sisa perjalanan ini hanya diam berdiri macam patung pancoran, mencoba memberanikan diri mengajak si mas-mas mengobrol lagi.

"Turun di mana mas?" Kata ku membuka topik pembicaraan. Ya sayang aja, masa ada cowok kualitas atas gini dianggurin. Rugi bandar. Mana tau kan setelah obrolan di kereta ini, kami berlanjut sampai pelaminan.

Astaghfirullah! Lulus kuliah aja belum, kok bisa-bisanya aku sudah memikirkan pelaminan sama si mas-mas ganteng ini?

"Di Jatinegara mbak. Mbaknya di mana?"

Aku bersorak dalam hati saat si mas ganteng kembali melempar pertanyaan. Itu artinya, si mas ganteng ini juga ingin bicara dengan ku. Yes!

"Bekasi." Jawab ku dengan riang. Kalau ku perhatikan ulang, si mas ganteng ini kayaknya umurnya nggak terlalu jauh dengan ku deh.

Kemeja kotak-kotak yang seluruh kancingnya dibuka dan memperlihatkan kaus hitam polos, serta celana jeans dan sepatu yang juga hitam. Ditambah backpack Jansport di punggungnya. Pasti bukan anak kantoran kan? Stylenya sih bukan seperti orang yang habis pulang kerja.

Ya biasanya kan orang-orang pulang kerja pakai kemeja rapih gitu, nggak dikeluarin.

Lagian si mas ganteng ini keliatan masih muda banget. Asli.

Bisa jadi, si mas ganteng ini pun masih kuliah sama seperti aku. Tebakanku kalau dia masih kuliah, ya sekitar anak semester empat atau enam lah.

Oke! Saatnya menebalkan muka.

Aku hendak membuka mulut saat suara merdu milik si mas ganteng terdengar ditelingaku. "Mbaknya pulang kerja?"

Whaaat? Apa dia bilang? Aku pulang kerja?

Aku menunduk memperhatikan penampilanku.

Kemeja garis-garis berwarna biru, celana bahan dan flatshoes hitam. Serta rambut yang dikucir rapih macam anak magang.

Ini gara-gara Pak Anwar sih yang mengharuskan mahasiswa di mata kuliah beliau harus mengenakan kemeja dan berpenampilan rapih. Ya jadinya seperti ini nih.

Ya nggak salah sih si mas ganteng ini mengira aku baru pulang kerja. Tapi apa dia nggak melihat wajah ku yang imut ini? Masa wajah seimut ini sudah kerja?

"Saya baru pulang kuliah Mas hehe," kataku garing.

Si mas ganteng sedikit membolakan matanya, lalu terkekeh pelan. "Maaf mbak, bukannya mbak keliatan tua ya, engga sama sekali, cuman ya ngeliat pakaian mbak, saya kira mbaknya pulang kerja. Semester berapa mbak?"

Masya Allah ganteng banget sih masnya. 

Dia memiliki ibir bawah yang lebih tebal dari bibir atas, serta berwarna pink alami dan dagu yang memiliki belahan ditengah menjadikannya semakin terlihat tampan. Ditambah ada sedikit bintik-bintik hitam di bawah hidung yang siap bertransformasi menjadi kumis menggemaskan si ganteng satu ini. Ah jangan lupakan lesung pipi nya yang terlihat bolong saat dirinya tersenyum.

"Nggak papa mas hehe. Baru semester empat. Masnya? Kuliah atau kerja?" 

"Kuliah dan semester enam. Kamu kuliah di mana?" Sepertinya setelah tau umurku yang lebih muda darinya, si mas ini mengganti panggilanku.

Ah tuhkan! Nggak salah tebakanku.

“Di UGM. Masnya di-” belum sempat aku mengajukan pertanyaan serupa, si mas ganteng dengan mata membola langsung bertanya, “Kemarin ikut demo mbak?”

Elah, balik nyebut embak ternyata dia.

“Kampus saya sih ikut, cuman sayanya engga.” Sekedar informasi, UGM yang baru saja aku sebut bukan kampus negeri yang ada di Jogja sana, melainkan Universitas Grogol Mentok. Sebenarnya bukan nama asli dari kampus ku sih, tapi karena terbiasa disebut UGM Cabang Jakarta, ya jadi orang-orang pun sudah paham kampus yang ku maksud.

Lalu selanjutnya, kami mulai bicara ngalor-ngidul. Membicarakan kampus masing-masing apakah terlibat dalam aksi unjuk rasa mahasiswa yang terjadi kemarin. Dan lain sebagainya.

Bicara dengan mas ganteng di depanku ini sangat menyenangkan. Kami ternyata memiliki selera humor yang sama. Dia bisa tertawa pada hal-hal receh yang aku ucapkan. Begitupun aku, yang bisa tiba-tiba terpingkal hanya karena dia menceritakan kekonyolannya saat ikut turun ke jalan kemarin.

"Iya teman saya tuh sampe bener-bener nembak cewek yang dia suka dari SMA ditengah-tengah demo. Alasannya cuma karena dia takut kalau dia jadi korban salah tembak atau korban kericuhan kalau seandainya terjadi. Jadi dia takut si cewek ini nggak tau kalau teman saya itu udah suka dari SMA." 

Aku tertawa ngakak dibuatnya. Asli! Aku tuh ketawa bukan karena cerita yang dia ceritakan lucu banget atau apa! Tapi aku tertawa karena cara dia menceritakan temannya itu lucu banget.

Dia tetap memaki temannya dengan kata-kata kasar. Bloon, bego, dan kawan-kawannya nggak luput keluar dari mulutnya. Tapi dia tetap menggunakan saya-kamu.

Lucu kan?

Lucu tau!

Baru beberapa menit aku bicara dengan dia, entah kenapa, aku langsung merasa klop. Dadaku menghangat setiap kali dia tertawa. Jantungku berdegup resah saat menatap mata elang di depanku, menatap lurus ke mataku.

Rasanya menyenangkan melihat bayangan diriku melalui mata elang itu.

Sampai sebuah suara yang terdengar di sepenjuru kereta menghentikan tawa kami. Sebentar lagi, kereta akan tiba di stasiun Jatinegara.

Si mas ganteng tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku. Membuat jantungku semakin berdegup kencang. Tak lama kemudian, dia tersenyum.

Aku ikut tersenyum salah tingkah. Sampai kereta mulai melaju dengan lambat dan berhenti total di Stasiun Jatinegara, barulah cowok itu kembali bicara.

"Senang bertemu dengan kamu. See you next time." Katanya cepat sesaat setelah pintu terbuka, lalu dengan lincah, cowok itu melompat ke luar kereta dan berdiri menghadapku kembali. Dia berdiri di depan pintu yang terbuka, menatapku dengan senyum yang sungguh membuat ku kecanduan ingin melihatnya terus-terusan.

Aku membalas senyumnya.

Sampai pintu kembali tertutup dan kereta mulai meninggalkan Stasiun Jatinegara, serta cowok itu sudah nggak tertangkap indra penglihatanku, barulah senyum dibibirku menghilang.

Diganti rutukan dan makian pada diriku sendiri.

Bodoh! Kenapa aku lupa menanyakan nama cowok itu?

Aahhhh! Stupid! Bisa-bisanya aku tertawa terus-terusan dengan dia, tapi lupa menanyakan nama cowok itu. Ditambah aku lupa menanyakan di mana kampus tempatnya kuliah!

Kenapa penyakit bodoh ku harus kambuh disaat-saat yang tidak tepat sih?

Baiklah! Tenang! Aku harus tenang!

Besok kan aku bisa kembali naik kereta, dan siapa tau kami bertemu lagi di Stasiun Juanda.

Yak betul. Besok aku harus bersiap untuk bertemu lagi dengan si mas ganteng itu lagi.

Setelah bertemu dan mengobrol dengan mas ganteng tadi, kereta tidak lagi semenyeramkan yang ada dibayanganku sebelumnya. Berdiri sampai Bekasi pun tak terasa melelahkan. Rasanya, kereta sangat menyenangkan. Atau keberadaan cowok tadi yang membuat kereta tidak semenyeramkan yang ku pikir, atau fokusku sepanjang di kereta bukan pada keretanya, melainkan pada cowok yang menahan pintu kereta agar aku tidak ketinggalan kereta lagi?

Sisa hari itu, aku gunakan untuk memikirkan cowok itu. Cowok yang dengan baik hatinya rela menahan sakit di tangan hanya untuk menahan pintu kereta agar aku bisa masuk ke dalam kereta.

Si mas-mas yang aku yakini, akan bertemu lagi keesokan harinya di Stasiun Juanda sana.

Tapi sampai keesokan harinya, bahkan dari hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, aku nggak pernah lagi melihat senyum indah itu. Aku nggak menemukan lagi bayangan diriku di dalam mata elang itu.

Si mas ganteng penahan pintu kereta itu tidak pernah muncul kembali dalam kehidupanku. Jejaknya seperti hilang ditelan bumi. Atau jangan-jangan, dia memang bukan makhluk bumi?

Hah entahlah. Initinya, menginjak bulan ketiga sejak pertemuanku dengan cowok itu, aku yang sejak itu selalu menggunakan kereta sebagai media menuju kampus, mulai menyerah.

Aku kembali menggunakan Transjakarta dan melupakan kereta serta kenangan beberapa menit di dalam kereta dengan cowok yang sampai sekarang tidak ku ketahui namanya.

Bagaimana bisa, seseorang yang hanya mampir beberapa menit saja, bisa mengukir jejak yang begitu permanent dihidupku?

***

  456 Views    Likes  

Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

previous post

Menjadi Raksasa di Udara, Yuk Ketahui Lebih Banyak Fakta Tentang Pesawat Terbang
Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

next post

Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

related posts