Remaja merupakan suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu masa terjadinya ketegangan emosi yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1991). Fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan adalah mencari identitas diri dan berusaha untuk memantapkan posisinya. Remaja terkadang juga sering kali tidak dapat mengendalikan emosi sehingga dapat memunculkan tingkah laku agresif (Gunarsa, 2000).
Perilaku agresif pada dasarnya tidak hanya terkait dengan masalah kekerasan secara fisik semata, namun juga berupa perilaku agresif yang dimulai dari perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasakan menyakitkan oleh seseorang sampai tindakan kekerasan secara fisik. Perilaku agresif didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau & Sears, 2009).
Ada berbagai faktor penyebab perilaku agresif pada remaja, dapat bersumber dari diri individu dan sumber yang berasal dari luar diri individu. Menurut Bandura (dalam Yudha dan Christine, 2005) menyatakan ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif, yaitu pengaruh keluarga, pengaruh subkultural, dan modelling (vicarious learning). Tinggi rendahnya tingkat agresivitas pada remaja terletak pada Pendidikan dan pengasuhan. Dalam hal ini peran pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya sangat menentukan bagaimana perkembangan mereka kelak dikemudian hari (Suastini, 2011; Zulhafni & Suryani, 2011; Pandia, dkk., 2015; Hartaty, dkk., 2014).
Pola asuh sangat erat kaitannya dengan perilaku yang akan ditampilkan anak, orang tua dapat dikatakan menjadi role model bagi anaknya. Pola asuh dedefinisikan sebagai interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam pembentukan kepribadian anak. Anak pada dasarnya akan meniru pola perilaku yang ditampilkan oleh lingkungan sekitarnya, salah satunya lingkungan keluarga. Anak lebih sering menghabiskan waktu dengan keluarga. Keluarga dapat dikatakan guru pertama bagi anak untuk dapat bertingkah laku. Dampaknya, ketika orangtua mendidik anak dengan tidak baik maka kecenderungan perilaku yang ditampilkan anak juga tidak baik. Ada berbagai macam jenis pola asuh yaitu, pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, pola asuh permissive, pola asuh temporizer dan pola asuh appeasears.
Pola asuh yang menerapkan kepada anak bahwa anak harus patuh akan nilai dan prinsip yang orang tua pegang, pemberian hukuman terutama hukuman fisik dan menuntut anak untuk dapat menuruti segala kehendak orang tuanya sering disebut dengan pola asuh otoriter. Menurut Hurlock (1980) pola asuh otoriter merupakan suatu metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. Baumrind (dalam Santrock, 2007) menekankan orang tua yang menerapkan gaya otoriter menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap anak serta membatasi peluang kepada anak untuk berdiskusi secara verbal atau mengeluarkan pendapat setiap keputusan dalam keluarga.
Fenomena yang sering terjadi ialah ketika anak merasa marah dan kesal kepada orang tuanya karena selalu dibatasi ruang gerak dalam bersikap, tidak diberikan kesempatan untuk memilih keputusannya sendiri, bahkan terkadang orang tua tidak memberikan apresiasi atas pencapaiannya.
Menurut (Sarwono, 1988) ketika, anak merasa marah dan kesal tetapi, tidak berani untuk mengungkapkan kemarahan yang dirasakan dan akhirnya melampiaskan kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2010), responden adalah remaja yang berusia 13 tahun sampai 18 tahun. Menurut Godall (Koeswara, 1988) remaja lebih menunjukkan perilaku agresif daripada anak-anak dan orang dewasa. Menurut Gessel (dalam Hurlock, 1980), individu yang berusia 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, emosinya cenderung meledak dan tidak dapat berusaha mengendalikan emosinya. Hal ini menunjukkan pentingnya peran orang tua dalam pengasuhan anak, perlunya pola asuh yang tepat untuk diterapkan kepada anak agar terhindar dari perilaku agresif.
Harapannya orang tua dapat lebih menerapkan dan konsisten kepada pola pengasuhan demokratis sehingga ketika anak berada di dalam rumah, anak merasa nyaman dan dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakan, hal ini dapat membantu menjaga stabilisasi emosi anak tersebut. Didukung dengan orang tua yang tidak lagi menggunakan hukuman fisik ketika anak melakukan kesalahan melainkan memberikan hukuman yang lebih mendidik tanpa harus menyakiti anak baik secara verbal maupun secara fisik sehingga kesalahan yang pernah dilakukan tidak dapat terulang kembali dikemudian hari.
Sumber cover : https://id.theasianparent.com/pola-asuh-otoriter