Deman Berdarah Dengue atau dengan panggilan akrab DBD, merupakan penyakit menular vektor yang dibawa oleh nyamuk genus Aedes khususnya A. aegypti atau A. albopictus. Agen yang menginfeksi kedua jenis spesies tersebut adalah virus dengue yang termasuk dalam Arthropod-Borne Virus dengan empat serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Empat serotipe virus inilah yang mengancam kesehatan dan kesejahterahan pada manusia, karena bagi seseorang yang sebelumnya terinfeksi DBD berpeluang untuk terinfeksi lagi dengan virus berserotipe lain.
Salah satu daerah rutin penyumbang angka kasus DBD yakni Kabupaten Bantul. Virus ini menginfeksi warga Bantul dengan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2019 hingga 1000 lebih kasus dan terkadang mengalami pengurangan dan kenaikan yang silih berganti tiap tahunnya. Lantas timbul pertanyaan, mengapa sejauh ini kasus baru terus bermunculan dan belum dapat ditekan sepenuhnya? Apa yang salah, bukannya pemerintah daerah dan masyarakat dapat menjadi pengalaman dahulu sebagai menyelesaikan masalah ini? Sebaiknya dibedah dulu apa saja yang menjadi benang merah dari kasus DBD yang terus naik turun ini.
DBD tidak lepas dari vektor yakni nyamuk genus Aedes, agen virus, lingkungan, dan aktivitas hingga langkah kebijakan pemerintah daerah setempat. Vektor sebagai pembawa agen virus, suka hidup di wilayah yang hangat, lembab, serta memiliki genangan air untuk berkembang biak. Sedangkan Bantul? Jelas lingkungan memenuhi itu semua. Tercatat curah hujan di Kabupaten Bantul tinggi di bulan Oktober sampai Februari diikuti pula dengan suhu hangat sekitar 30°C. Selain itu, kondisi lingkungan dan masyarakat pada pemukiman padat penduduk juga mendukung tumbuh kembang vektor nyamuk ini. Di saat tingginya angka kepadatan penduduk, secara bersamaan juga akan meningkat produksi sampah yang berpotensi menimbulkan genangan. Bantul dan sekitarnya diketahui sedang mengalami darurat sampah dan TPA terbesar yang berada di Piyungan di tutup. Selain itu diikuti pula dengan kesadaran warga yang masih tergolong rendah dalam menjaga kebersihan. Salah satu program yang sudah digalakan namun kurang efektif yaitu PSN dengan 3M (Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras, Menutup, dan Mendaur Ulang). Kondisi yang kacau tentu meningkatkan angka kasus sehingga menimbulkan respon reaktif warga dan juga kebijakan pemerintah untuk melakukan penanganan.
Kebijakan inilah yang biasanya menjadi kebiasaan untuk mengobati daripada menanggulangi. Kebijakan yang diterapkan dan didukung oleh masyarakat salah satunya adalah dengan melakukan fogging atau pengasapan dengan harapan vektor mati dan kasus menurun bahkan nol. Sayangnya tindakan ini kurang tepat, pemerintah daerah seharusnya menggandeng ahli yang bergerak dibidang DBD dan memperoleh solusi yang lebih efektif. Hal ini karena fogging sudah ketinggalan jaman karena kebanyakan nyamuk genus Aedes kini telah ‘kebal’ terhadap insektisida dan akhirnya bukan mati justru vektor ini akan menyebar ke daerah lainnya. Solusi modern yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan nyamuk Wolbachia. Nyamuk Wolbachia sendiri adalah nyamuk dari genus Aedes juga namun sudah diinfeksikan oleh bakteri Wolbachia. Bakteri ini secara alami punya peran dalam menghambat replikasi virus dengue. Diharapkan dengan pelepasan nyamuk ini di alam, secara alami akan terjadi perkawinan dengan nyamuk Aedes yang terinfeksi dengue sehingga akan menghasilkan keturunan yang tidak bisa diinfeksi oleh virus dengue.