Tokoh Semar yang merupakan pemimpin dari punakawan yang berjiwa adil meskipun buruk rupa. Tokoh Semar dikisahkan sebagai penasihat sekaligus pengasuh para ksatria berbudi luhur, yaitu Pandawa bersaudara. Sifatnya yang sederhana, jujur, tulus, bijaksana cerdas, dan berpengetahuan luas membuat dirinya disegani dan dihormati oleh para ksatria.
Dalam buku Psikologi Raos dalam Wayang karya Suwardi Endraswara mengatakan bahwa tokoh Semar memberikan dimensi baru dan mendalam kepada etika wayang. Semar sering disebut sebagai seorang begawan, namun dirinya lebih memilih menjadi simbol rakyat jelata, maka dari itu, semar dijuluki sebagai manusia setengah dewa. Namun bagi Semar, seorang pemimpin adalah seorang majikan sekaligus pelayan, jadi walaupun dia manusia setengah dewa, dia tetap pelayan atau pembantu para ksatria. Maka dari itu, Semar digambarkan sebagai penguasa kayangan tapi juga abdi dari Pandawa bersaudara.
Dari sisi spiritualnya, Semar memiliki mental matang, terlihat dari wataknya yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih tetapi juga tidak pernah terlalu gembira.
Dia memiliki sifat yang tidak kagetan dan gumunan, sifatnya seperti air tenang namun menghanyutkan, namun dibalik sifat tenangnya tersebut, terdapat kejeniusan, ketajaman batin, kekayaan pengalaman hidup, dan ilmu pengetahuan.
Sosoknya digambarkan berwatak rembulan. Wajah pucatnya mengekspresikan bahwa dia tidak pernah mengumbar nafsu, dia juga mendapat sebutan sebagai semareka den prayitna semare, yang artinya menidurkan diri. Menidurkan diri maksudnya adalah batinnya selalu awas, sedangkan panca inderanya ditidurkan dari gejolak nafsu negatif. Yang paling penting adalah, Semar selalu meminta restu dari Tuhan.
Dalam kisah pewayangan, Semar digambarkan dengan serba kesamaran dan ambigu, namanya yang diambil dari kata sengsem dan samar, yang artinya mencintai sesuatu yang samar atau gaib. Sifat ambigunya terlihat pada saat kemunculannya di cerita-cerita pementasan wayang, apapun judul dan lakon yang sedang dikisahkan., Semar dan Punakawan akan selalu muncul dibarengi dengan para tokoh Pandawa di setiap klimaks dan disebut sebagai ‘gara-gara.’
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut sebagai Badranaya, yang terdiri dari kata Bebadra yang artinya membangun sarana dari awal, sedangkan Naya artinya utusan mangrasul. Secara sederhana, Badranaya berarti membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia di muka bumi.
Semar digambarkan sebagai simbolisasi nilai-nilai ideal untuk dijadikan pandangan hidup bagi orang Jawa, diantaranya adalah:
Semar ke dunia: Mampir Ngombe. Dunia ini hanyalah semu dan samar, karena nantinya akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Maka dari itu, turunnya Semar ke dunia adalah simbolisasi dari suatu pandangan bahwa hal itu adalah sementara.
Dharmahita (pengabdian). Mencontoh dari sikap Semar yang digambarkan sebagai dewa namun tetap menjadi pelayan atau abdi bagi Pandawa bersaudara, dalam pandangan Jawa mengartikan bahwa walaupun memiliki jabatan yang tinggi namun harus tetap rendah hati.
Urip Samadya (Hidup Sederhana). Mengambil dari sifat Semar yang disebut sebagai dewa namun tetap menjadi pelayan, kita dapat mencontoh untuk tetap hidup sederhana dan jangan terlalu ambisius. Secukupnya saja dalam menikmati hidup, karena roda itu berputar.
Alus ing Pambudi (Berlaku Santun dan Berbudi Halus). Semar yang digambarkan sebagai sosok laki-laki namun memiliki fisik dan sifat seperti perempuan, mengartikan dimanapun berada, harus tetap sopan berbudi halus, lemah lembut seperti perempuan, dan tidak memandang seperti sedang menantang kepada orang lain.
Sikap Orang Jawa yang Samar-samar antara Inggih dan Mboten. Sikap samar ini bermaksud untuk menghindari komflik dan menjaga keharmonisan, maka dari itu, orang Jawa akan berkata inggih meskipun aslinya mboten.
Dalam setiap pementasan wayang, Semar sering mengucapkan kata-kata bijak yang dapat relevan dengan siapapun dan kapanpun, contohnya:
Urip iku Urup. Dalam Bahasa Indonesia berarti hidup untuk menghidupi, oleh karena itu hidup kita harus bermanfaat bagi orang lain disekitar kita.
Sura Dira Jaya Jayaningrat, Leburing Dening Pangastuti, artinya adalah sifat picik, keras hati, dan angkara murka di dalam diri kita hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijaksana, sabar, dan lembut hati.
Datang Sering Lamun Ketaman, Datang Susah Lamun Kelangan. Kalimat tersebut bermakna bahwa jangan sedih ketika sedang mengalami musibah atau kehilangan sesuatu, karena pada hakikatnya, semua akan kembali pada Sang Pencipta.
Demikian sifat dan filosofi Semar, hikmah yang bisa kita ambil adalah manusia hidup hanya sementara, apa yang kita miliki sekarang hanyalah titipan, baik itu harta maupun jabatan, tetaplah rendah hati dan laksanakan perintah Tuhan untuk menyejahterakan bumi.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan