Kasus Johnny Depp & Amber Heard: Fenomena Tabunya Laki-Laki sebagai Korban KDRT

Ketika melihat-lihat pemberitaan hangat di dunia belakangan ini, salah satu yang paling sering ditemukan adalah berita kasus hukum antara aktor dan aktris Hollywood, Johnny Depp dan Amber Heard. Kalau kamu masih asing dengan mereka, keduanya adalah figur publik yang populer berkat peran mereka di berbagai film box office, terutama Johnny Depp yang berperan sebagai Kapten Jack Sparrow di serial Pirates of the Caribbean, dan Amber Heard di film Aquaman sebagai Putri Mera. Dari sisi kehidupan pribadi, keduanya pernah menikah pada tahun 2015, sebelum bercerai pada 2016 setelah Heard menuntut Depp atas kekerasan dalam rumah tangga.

Persoalan berlanjut ketika di tahun 2018, Heard menulis artikel opini di The Washington Post dimana dia menyebut dirinya sebagai “figur publik yang mewakili kekerasan dalam rumah tangga”. Maksudnya tentu saja secara tidak langsung merujuk ke Johnny Depp sebagai pelaku KDRT. Tidak terima, Depp dan pengacaranya menyebut artikel tersebut sebagai “hoax yang terperinci” dan telah merusak reputasi Depp karena berbohong untuk keuntungan pribadinya. Untuk itulah Johnny Depp mengajukan tuntutan pencemaran nama baik terhadap Amber Heard, dan sidang yang berlangsung di Virginia sejak 11 April 2022 itu justru membongkar lebih banyak hal di balik pernikahan singkat keduanya.

Salah satunya, bahwa Depp bersaksi tidak pernah menyiksa Heard dan justru Heard-lah yang kerap memberinya kekerasan fisik maupun verbal, mulai dari memukul, melempar remote TV, dan melempar botol minuman keras ke arahnya, termasuk insiden dimana jarinya terputus oleh botol vodka yang pecah. Sementara di tahun 2016 lalu, Heard adalah pihak yang lebih dulu mengaku telah disiksa secara fisik dan verbal oleh Depp. Meski pada persidangan 20 April lalu telah diperdengarkan rekaman audio dimana Heard mengaku “memukul” Depp, konflik keduanya di ruang sidang masih berlanjut dengan mereka tetap saling menuduh satu sama lain atas pencemaran nama baik dan kekerasan dalam rumah tangga.

Yang menarik dari kasus ini, sekaligus yang ingin saya bahas bersama kalian, tentu bukan berfokus pada drama perceraian mantan pasangan suami-istri ini, atau bagaimana kemungkinan mereka sebenarnya terlibat “mutual abuse” (sebagaimana dikatakan oleh Laurel Avis Anderson, terapis yang pernah membantu sesi konseling Depp dan Heard di tahun 2015). Melainkan bagaimana reaksi sebagian publik yang masih tetap berpihak pada Amber Heard dan tidak mempercayai kesaksian Depp; bagaimana sejak tahun 2016, persepsi umum yang telah terbentuk adalah “Amber Heard tidak mungkin bersalah karena dia perempuan”.

Dalam Masyarakat, Konsep Perempuan sebagai Pelaku KDRT Masih Sulit Diterima

Biasanya ketika mendengar kata “korban kekerasan”, gambaran yang muncul dalam benak kita adalah orang dengan fisik lemah atau kecil. Jadi ketika ada seorang lelaki dengan tubuh tinggi-tegap mengaku mendapatkan kekerasan dari pasangan wanitanya, kita cenderung menolak mempercayainya di saat pertama. Alih-alih, familiaritas “kekerasan” adalah bagian yang tak terpisahkan dari “menjadi seorang lelaki”. Sebut saja kekerasan di sekolah, kekerasan di jalanan; semua itu telah menjadi standar untuk laki-laki bahkan sejak anak-anak. Karena itu, premis yang membudaya dalam masyarakat kita adalah:

“Korban kekerasan adalah pasti perempuan dan pelakunya pasti laki-laki.”

Memang sulit menjelaskan bagaimana bisa kamu yang seorang laki-laki dengan tinggi di atas 170 cm menjadi korban KDRT dari pasanganmu yang tingginya hanya, katakanlah 160 cm. Adalah hal yang sangat sulit untuk benar-benar memahami dan mengakui bahwa sebagai lelaki, kamu adalah korban kekerasan fisik dan psikologis, karena gagasan tersebut merusak seluruh pengertian tentang “apa artinya menjadi seorang pria.”

Ini artinya, selain karena faktor eksternal (dari masyarakat), kasus KDRT terhadap laki-laki juga masih menjadi hal tabu dikarenakan faktor internal (dari dalam diri lelaki itu sendiri). Kita akan coba bahas satu per satu di sini.

Stereotip gender dalam budaya kita hanya meninggalkan sedikit ruang untuk laki-laki heteroseksual yang mengaku menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun di tangan seorang perempuan. Memang benar bahwa mayoritas korban kekerasan adalah perempuan, bahkan maraknya isu ini sampai membuat dunia dihadapkan dengan Me Too Movement atau Gerakan #MeToo di media sosial. Namun di sisi lain, juga justru meminggirkan korban laki-laki yang juga butuh dukungan dan bantuan. Ditambah lagi, karena dianggap tidak memenuhi ekspektasi gender-role di masyarakat, laki-laki sebagai korban KDRT pun seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang setara di mata hukum (Seelau, dkk, 2003).

Bahkan di dunia yang sudah modern ini, hampir seluruh laki-laki masih tumbuh di society dimana heroism atau sikap kepahlawanan adalah aspek yang penting untuk kejantanan. Patriarki masih membudaya dan mengakar. Tidak hanya perempuan yang merugi, lelaki pun merugi akibat adanya toxic masculinity. Jadi ketika yang terjadi justru mereka tunduk atau tidak berdaya terhadap kekerasan dari pasangannya, jelas bentrok dengan ekspektasi gender-role yang ada. Stereotip gender menciptakan stresor yang tidak adil bagi lelaki yang memerlukan pertolongan. Stereotip seperti ini membuat kita pada umumnya sulit melihat lelaki sebagai korban dan wanita sebagai pelaku dalam KDRT.

Ilmuwan Elizabeth Bates dari Universitas Cumbria di Inggris (2020) melaporkan bahwa kekerasan terhadap laki-laki seringkali menjadi bahan humor di program televisi dan komedi, dan kita selalu menertawakan jenis adegan semacam itu. Society tempat kita hidup, tidak terbiasa mengakui bahwa lelaki yang rentan itu sungguh ada; lelaki yang bukan menjadi pelaku, melainkan korban. Dan cara media menggambarkan situasi tersebut melalui komedi maupun cara society kita memandang stereotip laki-laki membuat mereka sulit dan takut mengakui diri mereka sebagai korban KDRT. Apalagi untuk mencari pertolongan.

Korban laki-laki tiga kali lebih sulit mengakui bahwa mereka mengalami KDRT dibandingkan korban perempuan, sehingga akibatnya masih sulit untuk menemukan kasus tersebut. Diperparah dengan perasaan laki-laki pada umumnya yang malu mengakui jika mereka rentan dan takut jika tidak ada yang mempercayai mereka. Masyarakat juga beranggapan bahwa seorang lelaki pasti mampu menghentikan aksi-aksi kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diinginkan, sehingga tidak banyak yang menganggap serius ketika kasus-kasus semacam itu muncul ke publik. Bahkan seringkali korban mengira tidak ada lembaga yang bisa memberikan bantuan pada mereka tanpa mendiskriminasi.

Akibat yang Harus Ditanggung: Ketakutan Hingga Trauma

Akibat yang ditimbulkan dari menanggung kekerasan tersebut sendirian secara terus-menerus adalah masalah kesehatan fisik maupun mental yang berkepanjangan. Bahkan bagi penyintas KDRT tersebut, mereka tetap tersiksa dengan sentimen seperti rasa malu yang besar. Para lelaki yang menjadi korban tidak hanya menanggung trauma dari kekerasan, namun mereka juga tersiksa karena harus bertarung melawan stereotip masyarakat sebagaimana yang telah dipaparkan.

Ketakutan yang dirasakan laki-laki sebagai korban beragam. Banyak yang mengira jika mereka nekat pergi, pasangan wanita mereka akan benar-benar membuat hidup mereka menderita seperti di neraka. Atau mereka takut tidak akan bisa lagi berhubungan dengan anak-anak mereka karena kontak yang diputus oleh sang pasangan wanita. Tapi jenis kekerasan yang paling umum dialami kaum lelaki adalah kekerasan psikologis dan manipulasi, dimana sang pasangan membatasi kontak sosial mereka, mengontrol secara berlebihan, memeras, bahkan mempermalukan dan menghina mereka.

Ini tentu didorong ketidakmampuan sebagian besar perempuan untuk mengalahkan pasangan laki-laki mereka secara fisik. Perempuan paham logika itu, karenanya mereka mengambil metode kekerasan lain yang lebih licik. Namun akibat dari jenis kekerasan ini justru lebih parah, dimana korban seringkali merasa seperti ‘dikebiri’ dan terisolasi; yang akhirnya membuat mereka sulit membela diri. Strategi yang tepat untuk tetap membuat korban terikat dengan pasangannya tanpa berusaha mencari pertolongan.

Hanya ada sedikit studi yang membahas mengenai kekerasan dimana pihak korbannya adalah laki-laki heteroseksual. Kebanyakan studi semacam itu lebih berfokus utama pada hubungan sesama jenis, yang secara tidak langsung melestarikan stereotip bahwa “lelaki dewasa yang heteroseksual tidak bisa dilecehkan oleh pasangan wanita.”

Padahal fenomena ini sebenarnya terjadi dimana-mana secara global. Jerman, misalnya, menemukan hampir 20% korban KDRT yang terjadi dalam setahun adalah laki-laki. Atau di Kenya, Nigeria, dan Ghana yang tingkat kemiskinan dan penganggurannya disebut memicu kekerasan terus-menerus dari pasangan wanita. Pun di Meksiko, menunjukkan statistik dimana 25% dari seluruh korban KDRT adalah laki-laki. Di daerah kota-kota besar saja layanan konseling untuk laki-laki masih jarang dan perlu usaha lebih untuk mendorong para korban untuk berani melapor, apalagi bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Laporan Komnas Perempuan juga mencatat kasus dimana laki-laki dewasa yang menjadi korban dalam kekerasan rumah tangga, meski jumlahnya tidak sebanyak korban perempuan. Dari total kasus KDRT selama pandemi di tahun 2020, misal, jumlah perbandingan korban perempuan dan laki-laki adalah 90 berbanding 10. Artinya, 90% korban KDRT adalah perempuan, sementara 10% sisanya adalah laki-laki; dimana laki-laki di sini bisa berarti suami, anak, paman, maupun kakek dalam keluarga. Tentu saja 10% di sini hanyalah sebagian kecil dari total kasus KDRT terhadap lelaki yang sesungguhnya, karena kita tidak tahu seberapa banyak korban di luar sana yang masih tidak berani melapor.

Masyarakat negara kita juga dibesarkan dengan patriarki yang mengakar kuat. Sepanjang tahun 2004-2021, Komnas Perempuan mencatat dilaporkannya 544.452 kasus (KDRT). Kasus-kasus ini bervariasi mulai dari kekerasan terhadap istri, anak perempuan, suami, pekerja rumah tangga, mantan pasangan, dan kekerasan yang melibatkan anggota lainnya dalam suatu rumah. Dari jenis-jenis tersebut, kasus kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan teratas dengan angka di atas 70% (Puspa, 2021).

Karenanya tidak berbeda dengan banyak tempat-tempat lain di dunia, laki-laki sebagai korban KDRT juga masih menjadi hal tabu di sini. Sejauh ini, saya juga belum menemukan layanan atau media dari pemerintah yang khusus diperuntukkan untuk mendorong korban-korban KDRT berjenis kelamin laki-laki berani membuka diri dan mencari pertolongan. Biasanya kasus ini ditangani di bawah instansi yang sama, seperti Komnas Perempuan, yang mana selama ini tentu saja jauh lebih fokus untuk mendorong kaum perempuan bersuara atas kekerasan yang mereka dapatkan.

Tapi negara kita masih akan terus berkembang menjadi lebih baik dan semakin waspada terhadap jenis-jenis kekerasan yang ada di masyarakatnya. Jadi meski hari ini belum ada upaya konkret yang berfokus pada isu ini, dan meski society kita masih punya segudang PR terkait patriarki, kita bisa pelan-pelan memperbaikinya. Tentu saja dimulai dari diri sendiri; jadilah lebih aware terhadap sekitar dan perbanyak membaca agar perspektif kita tidak terkungkung dalam jendela tradisional semata hingga buta akan kenyataan di luar sana hari ini.

Sebagai tambahan, jika kamu mengenal seseorang atau bahkan kamu sendiri mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ada sejumlah hotline yang dapat dihubungi korban untuk penanganan kasus KDRT. Di antaranya:

Hotline KPPPA (0821-2575-1234) Call center 119 ext. 8 (Psychological First Aid) Komnas Perempuan 0821 2575 1234 Kementrian Sosial RI 1500 771

Referensi:

Puspa, A. (2021). 17 Tahun Terakhir, Ada 544.452 Kasus KDRT. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/435875/17-tahun-terakhir-ada-544452-kasus-kdrt

Seelau, E. P., Seelau, S. M., & Poorman, P. B. (2003). Gender and role-based perceptions of domestic abuse: Does sexual orientation matter?. Behavioral Sciences & the Law, 21(2), 199–214. https://doi.org/10.1002/bsl.524

Referensi Gambar:

www.abc.net.au

www.euronews.com

  121 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts