Bidang pertanian di Indonesia menjadi salah satu sektor yang memberi kontribusi besar terhadap PDB. Dari tahun 2011 sampai 2019, pertanian berkontribusi sebesar 13,25 persen dan terbesar kedua setelah industri pengolahan. Saat ini, komoditas bertumpu pada kelapa sawit, karet dan kelapa. Selain itu kini komoditas telah merambah ke rempah-rempah, telur dan susu serta makanan laut seperti ikan dan udang hingga buah-buahan.
Kondisi baik
Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data bahwa nilai ekspor pertanian pada bulan Januari hingga Juli 2021 tetap mengalami pertumbuhan positif yaitu 8,72% (YoY). Indonesia juga melakukan ekspor pertanian selama bulan Januari hingga Juli 2021 hingga mencapat 2,24 miliar dolar AS. Disisi lain, pertanian menyumbang jenis lapangan kerja paling besar dengan kontribusi sebesar 32,21%. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian inilah yang memiliki peran paling besar bagi perekonomian Indonesia.
Tahun 2020, Indonesia digemparkan dengan situasi pandemi. Perekonomian di Indonesia menghadapi tekanan selama pandemi dan mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -2,07% (YoY) dibandingkan pada tahun 2019. Hal tersebut berbeda dengan sektor pertanian yang malah masih bisa bertumbuh secara positif. Sektor Pertanian dipandang mampu bertahan di masa pandemi saat ini. Diperlukan intervensi dan inovasi terhadap masyarakat desa khususnya dalam pemanfaatan potensi sektor pertanian.
Kondisi Buruk
Dampak buruk yang dialami oleh para perani adalah peningkatan kesejahteraan petani yang diukur dengan NTP tidak sebanding dengan PDB sektor pertanian yang bisa bertumbuh di atas 2% dari kuartal I hingga IV.
NTP yang telah dianalisis menunjukkan bahwa penyebab kesejahteraan petani tidak sebanding dengan NTP disebabkan oleh meningkatnya semua biaya produksi pertanian dimana kenaikan biaya terjadi pada upah buruh sebesar 1,32%/ Adapula kenaikan pupuk sebesar 1,05% dan kenaikan biaya bibit sebesar 11,24%. Ketiga hal yang biayanya mengalami kenaikan rupanya merupakan biaya pokok utama pada produksi pertanian.
Jika dilihat dari sisi harga, terdapat kenaikan dan penurunan bahan produksi pertanian, dan kenaikan tertinggi pada sektor perkebunan dan peternakan hanya naik sedikit. Sedangnkan untuk sektor holtikultura dan tanaman pangan menurun.
Turunnya harga pada 2 subsektor tersebut memberikan dampak negatif bagi para petani. Dari data DPR RI, menemukan adanya keluhan dari petani kubis di Desa Buluharjo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan Jawa Timur. Ia mengeluhkan adanya kerugian akibat harga yang menurun dikala memasuki musim panen.
Harga kubis dirasa hanya berkisar Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram, padahal sebelumnya mencapai Rp 3.000-Rp 5.000 per kilogram. Hal ini tentu merugikan para petani karena hasil yang diperoleh tidak mampu menutup biaya tanam yang dikeluarkan. Harga kubis rupanya menurun akibat daya beli masyarakat menurun. Adanya pola perilaku masyarakat yang berubah di masa pandemi menyebabkan rendahnya permintaan pasar. Disisi lain, petani gabah di Demak juga mengeluhkan bahwa harga gabah kering panen saat ini seharga Rp 4.300 per kilogram padahal harga awal Rp 5.000 per kilogram. Selain itu, petani dari Karangasem mengeluhkan bahwa harga penjualan diharapkan bisa menurupi ongkos produksi sebesar 7-8 juta.
Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk mengurangi beban produksi demi kesejahteraan para petani. Pemerintah berupaya memberikan alat mesin pertanian yang lengkap dari hulu sampai ke hilir produksi untuk meminimalisir biaya upah buruh. Pemerintah juga memberikan bibit bagi petani tanaman pangan dan hortikultura dan untuk mengatasi over supply, pemerintah mulai membentuk BUMDes penggilingan padi dengan memanfaatkan dana desa dan agroindustri.
Sumber:
https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/bib/public-file/bib-public-4.pdf
http://agroindonesia.co.id/2021/08/geliat-sektor-pertanian-di-masa-pandemi/
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan