Mafia Berkeley: Geng Arsitek Ekonomi Indonesia yang Bukan ‘Mafia’

Kalau kamu hobi menelusuri sejarah pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan, kemungkinan besar sekali-dua kali kamu pernah menemukan kata ‘Mafia Berkeley’ pada lembar-lembar bab Orde Baru. Untuk kalian yang masih asing, pasti bertanya-tanya siapa itu Mafia Berkeley dan kenapa disebut ‘mafia’?

Sejarah mencatat kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1966-1967. Ketika kekuasaan pemerintahan akhirnya diambil alih oleh Letnat Jenderal Muhammad Soeharto pada 27 Maret 1968, rezim Orde Baru resmi berdiri di Indonesia. Melihat betapa buruknya manajemen ekonomi di era Sukarno sebelumnya, Soeharto pun berupaya menyembuhkan perekonomian Indonesia.

Hasilnya, dari periode tahun 1967 hingga 1983, terjadi serangkaian kemajuan yang oleh Bank Dunia disebut sebagai “keajaiban ekonomi” (World Bank, 1993). Perekonomian Indonesia sukses bangkit dengan dibukanya penanaman modal asing. Industri ekspor membuka jalan untuk gelombang lapangan pekerjaan manufaktur baru bagi jutaan pekerja. Produksi pertanian pun naik dan hutang luar negeri dapat direstrukturisasi. Hiperinflasi yang mencapai 594% pada tahun 1965, berhasil ditekan hingga 36% pada akhir tahun 1969, yang berarti standar hidup masyarakat Indonesia meningkat untuk pertama kalinya sejak periode kolonialisme Belanda.

Bagaimana keberhasilan ini dapat dicapai rezim Orde Baru dalam waktu singkat?

Tak lain adalah karena kepercayaan Soeharto kepada suatu kelompok ahli ekonomi makro untuk menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan. Negara luar, Bank Dunia, dan para sejarawan ekonomis seluruhnya menyebut 5 orang ini sebagai “para teknorat”. Merekalah para arsitek ekonomi, teknorat pengampu kebijakan ekonomi era Orde Baru, yang terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Subroto. Empat di antaranya, yaitu Widjojo, Ali, Emil dan Sadli merupakan lulusan University of California, di Berkeley, Amerika Serikat. Sadli juga meraih gelar PhD dari Harvard University, sementara Subroto dari McGill University.

Karena mayoritas kesamaan almameter itulah para teknorat ini umumnya dikenal di Indonesia sebagai “Mafia Berkeley”.

Adalah Sumitro Djojohadikusumo, pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang awalnya mengirim sekelompok mahasiswanya tersebut untuk berkuliah di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada awal 1960-an. Pengiriman ini menjadi mungkin berkat bantuan Ford Foundation, yaitu lembaga sponsor utama dalam restrukturisasi pendidikan tinggi ekonomi dan politik di Indonesia. Di saat yang sama, para profesor dari Berkeley juga merancang FE UAI menjadi sekolah ekonomi, statistika, dan administrasi bisnis yang berkiblat ke Barat.

Hasil Tangan Mafia Berkeley di Indonesia

Istilah ‘Mafia Berkeley’ pertama kali digunakan dalam artikel “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre” karya David Ransom dalam majalah Ramparts, tahun 1970. Meski julukan ini seperti mengandung konotasi negatif, Mafia Berkeley bukanlah apa yang dituduhkan David Ransom dalam artikelnya. Mereka bukan antek yang ditopang Amerika Serikat, atau pun pejabat yang menginginkan kekayaan dalam waktu singkat.

Para teknorat ini adalah entitas independen dengan visi tinggi untuk memajukan Indonesia, melalui kemampuan akademik mereka yang mumpuni. Kebijakan reformasi dan rehabilitasi yang dikeluarkan Mafia Berkeley selama tahun 1966-1969 nyatanya tidak hanya menyelamatkan negara dari isu finansial, namun juga membuka jalan untuk dekade-dekade perumbuhan manufaktur dan agrikultur yang berhasil menghapus jutaan angka kemiskinan (Bresnan, 2006).

Salah satu inovasi Mafia Berkeley adalah diciptakannya sistem Ekonomi Pancasila pada tahun 1966 yang menjanjikan stabilitas, modernitas, dan pertumbuhan yang setara bagi kelas-kelas sosial. Namun sejak tahun 1970-an, militer mulai menantang keberlangsungan Ekonomi Pancasila. Ketika Soeharto terpilih kembali sebagai presiden pada tahun 1971, terjadi beberapa perubahan dalam tatanan Orde Baru. Salah satunya adalah visi Ekonomi Pancasila para teknorat yang akhirnya digusur oleh visi militer yang lebih materialistik.

Mafia Berkeley, yang tidak memiliki topangan politik, sejak awal hanya bergantung pada dukungan Soeharto dalam mewujudkan ide-ide kebijakan ekonomi mereka. Namun sejak 1971, dukungan itu tidak lagi ada.

Di sisi lain, berbagai kebijakan menguntungkan yang diambil Mafia Berkeley bukan tanpa resiko. Akibat dibukanya penanaman modal asing, pemerintah membentuk konsorsium pemberi pinjaman kepada Indonesia pada tahun 1967 yang bernama Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang justru membuat Indonesia semakin bergantung kepada hutang luar negeri. Negara-negara yang memberi pinjaman pun meminta timbal balik berupa  penguasaan berbagai sektor industri strategis di Indonesia. Akibatnya, perusahaan lokal tidak mendapat kesempatan yang sama untuk mengelola industri ekstraktif dan dipaksa tunduk kepada status perusahaan asing (Mack, 2001). Ketergantungan terhadap hutang luar negeri ini juga semakin memperburuk situasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997.

Referensi

World Bank, ed. (1993). The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy: Summary. A World Bank Policy Research Report. Washington, D.C: World Bank.

Bresnan, John. (2006). At Home Abroad: A Memoir of the Ford Foundation in Indonesia, 1953-1973. Jakarta: Equinox Pub.

Mack, A. (2001). Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation. University of Sydney.

  2341 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts