Mahasiswa Tingkat Akhir Tahu, Instagram Bukan Satu-Satunya Sumber Insecure

Awal-awal lockdown diberlakukan di Indonesia tahun 2020 lalu, saya masih ingat ada tren di kalangan mahasiswa kampus saya yang bernama Instagram Detox.  Singkatnya, tren ini bisa disamakan dengan bersih-bersih kamar tidur.  Orang-orang akan menghapus postingan feed/highlight yang mereka pikir kurang estetik atau kurang bagus.  Yang sudah lama tidak ganti foto profil dan bio Instagram akan memasang foto baru dan merombak tulisan di bio mereka supaya profilnya kelihatan ‘baru’.  Nggak cuma soal penampilan, bersih-bersih daftar following pun dilakukan.  Secara nggak langsung, akan ada seleksi untuk menentukan siapa yang masih ingin diikuti dan siapa yang udah nggak penting-penting amat untuk dijadikan circle di Instagram.

 

Sebagai orang yang dari awal sudah jarang main Instagram, awalnya saya kurang mengerti mengapa tren ini tiba-tiba booming.  Saya malah merasa kasihan kepada orang-orang yang mungkin tiba-tiba di-unfollow oleh temannya sendiri.  Secara nggak langsung, aksi ini seperti memutuskan tali silaturahmi online.

 

Setelah bertanya mengenai Instagram Detox ini ke teman-teman saya, ternyata esensi utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi kadar stres ketika membuka Instagram.  Kata mereka standar yang digunakan gampang, “Kamu bahagia nggak ngeliat postingan orang ini?  Kan enak kalo lihat Instagram kita bersih.”

 

Eh kalau dipikir-pikir, bener juga.  Dulu ketika awal berkuliah, saya sering stres sendiri kalau buka Instagram.  Alasannya gampang, saya sering merasa iri dengan postingan teman-teman saya.  Sebelum koronce menyerang dunia, teman-teman saya banyak yang sering posting video jalan-jalan atau pergi ke cafe bersama teman-teman mereka.  Nggak sedikit dari teman-teman SMA saya yang habis lulus langsung kuliah di luar negeri dan sering posting story tentang kehidupan mereka di sana.  Memang nggak ada salahnya mereka mengunggah hal-hal tersebut, namanya juga kebebasan berekspresi.  Jadi sebetulnya bukan salah mereka kalau saya merasa minder melihat apa yang mereka posting.

 

Namun harus diakui, rasa iri hati yang muncul ketika bermain Instagram itu memang tidak terhindarkan.  Mirisnya, kita selalu membandingkan kehidupan bagus milik orang lain dengan keadaan terburuk kita.  Nggak heran ada orang yang bisa stres gara-gara meida sosial satu ini.  Lagian, siapa sih yang ngeposting hal-hal buruk ke Instagram?  Semua jelas berlomba ingin terlihat sedang bahagia, makanya postingannya juga bagus-bagus.

 

Terus, kaitannya dengan pandemi apa?  Ternyata kecemburuan sosial ini tetap bisa terjadi walaupun kontak fisik dengan manusia terbatas.  Kalau dulu selain Instagram rasa iri hati ini bisa muncul lewat cerita mulut ke mulut, sekarang ya via Instagram ini.  Ada saja alasan kita bisa iri dengan kehidupan orang lain padahal sama-sama lagi self-quarantine.  Entah mereka terlihat lebih bahagia, atau lebih produktif.  Lantas, kini Instagram Detox terdengar lebih masuk akal karena hiburan manusia di masa pandemi ini masih terbatas.  Jadi, orang juga ogah kalau harus ngerasa stress tiap kali buka Instagram, alias salah satu hiburan orang kala terjebak di rumah terus selama beberapa bulan ini.

 

Sebagai seorang mahasiswa yang sudah tidak pernah mengunggah story dan feed di Instagram, saya masih bisa relate dengan teman-teman yang melakukan Instagram Detox.  Mereka adalah orang-orang yang aktif di media sosial ini, dan beberapa juga masih menjalani masa-masa kuliah.  Mungkin mereka belum sampai di tahap yang sama dengan saya, yaitu tahap merasakan insecure yang sesungguhnya, alias insecure yang tidak berasal dari Instagram semata.  Behold, tersangka utama dari segala rasa insekyur seorang mahasiswa tingkat akhir: LinkedIn.

 

Apakah LinkedIn ini termasuk media sosial?  Saya sih kurang tahu, tapi intinya rasa cemburu yang ada di Instagram tidak bisa mengalahkan apa yang ada di LinkedIn.  Kalau sudah mau lulus begini, target utama saya ya mencari pekerjaan, bukan pamer buat story Instagram supaya punya highlight yang bagus dan mendapat reaksi stiker emoji bermata love dari followers.

 

Di masa pandemi ini, menjadi calon lulusan tingkat corona terbilang susah-susah-gampang.  Mencari pekerjaan memang gampang, tapi mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan, itu baru the real challenge, bro!.  Karena semuanya sekarang serba daring, wawancara dan kerja pun juga dilakukan daring.  Alhasil saingan untuk mendapatkan pekerjaan juga tinggi karena mudahnya alur untuk mendaftar dan seleksi kerja.  Dari puluhan lowongan kerja yang diikuti, rasanya kalau ada satuuu saja email yang dibalas sudah sangat bersyukur.

 

Teman-temanku sekalian, rasa minder paling nyata bukan melihat foto-foto temanmu yang sedang berlibur, tapi melihat status pekerjaan di profil LinkedIn mereka.  Notifikasi yang buat greget itu bukan notifikasi DM di Instagram, tapi notifikasi LinkedIn yang berbunyi “Ucapkan selamat untuk temanmu yang sudah satu tahun bekerja sebagai xxx di xxx!”  Nah, iri gak lo?  Yang lain udah pada kerja dapet duit, saya masih sabar ngelus dada menunggu balasan email.

 

Beginilah kerasnya kehidupan sang mahasiswa tingkat akhir.  Hashtag favorit kami sekarang bukan #olshopmurah atau #kpop, tapi #loker dan #hiring.  Semoga yang senasib dengan saya dipermudah jalannya untuk mendapat pekerjaan!

Sumber gambar: projectmuso.org

  59 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts