Sudah satu tahun lamanya sejak kejadian bencana tsunami dan likuefaksi menerjang Palu-Donggala pada 28 September 2018. Bencana yang menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda ini hingga saat ini masih menjadi perhatian utama para peneliti seluruh dunia. Banyak ahli dari berbagai multidisiplin ilmu terjun langsung ke lapangan untuk menguak fakta-fakta baru tentang bencana ini. Perlu diketahui bahwa Bencana di Palu-Donggala ini merupakan jenis bencana baru dunia yang kejadiannya pertama kali berlangsung di Indonesia.
Seperti yang banyak diberitakan oleh media, bencana Palu-Donggala merupakan sejenis bencana likuefaksi namun faktanya lebih dari itu. Bencana Palu-Donggala dinamai dengan istilah baru yang disebut ‘Nalodo’. Nalodo Palu-Donggala dipicu oleh gempa akibat bergeraknya sesar aktif Palu-Koro. Sesar ini berpotensi membelah Pulau Sulawesi menjadi 2 bagian. Gempa ini membawa serta tsunami di pesisir Kota Palu. Karakteristik sesar sebagai fungsi penyangga dan control atas air tanah (akuifer) ikut bergeser seiring dengan bergeraknya Sesar Palu-Koro ini. Getaran gempa mengubah struktur tanah padat bergeser dan membuka poros batuan sehingga air tanah menembus ke atas celah batuan bercampur dengan tanah pasir menjadi lumpur. Lumpur ini terus mendapatkan kelebihan air hingga jenuh menjadikan tanah amat sangat lunak. Tanah lunak atau lumpur meneruskan energy yang jauh lebih besar dibanding dengan kekuatan gempa asli pada tanah padat. Keadaan ini memperparah kerusakan pada daerah terkena gempa sehingga terjadi fenomena likuefaksi, putaran tanah dan longsor. Dimana terlihat tanah bergerak seperti layaknya banjir bandang serta menelan segala hal pondasi dan bangunan di atasnya.
Hingga saat ini fenomena bencana ini masih terus dikaji oleh berbagai ahli dunia diantaranya Indonesia bekerjasama dengan Jepang. Rekomendasi sementara dari bidang perencana, kawasan terdampak bencana antara lain sebagai berikut
Sangat tidak disarankan untuk dibangun pemukiman penduduk dan atau bangunan permanen yang banyak melibatkan aktivitas manusia didalamnya Tidak disarankan untuk dibuka areal lahan pertanian dan persawahan atau dengan kata lain pembukaan lahan basah yang sangat membutuhkan air, dikhawatirkan apabila terjadi gempa, air tanah dan air irigasi akan menimbulkan likuefaksi yang lebih besar Dijadikan tempat wisata edukasi semisal museum atau situs memoriam Bencana Nalodo Dijadikan pusat penelitian Bencana Nalodo Dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau hutan kota Dijadikan kawasan lindung - Cagar BudayaNamun secara real di lapangan rekomendasi ini mengalami beberapa kendala seperti pembebasan lahan dan/atau pemindahan/relokasi masyarakat ke tempat lebih aman susah dilakukan karena adanya factor ikatan batin masyarakat akan benda atau tanah tempat tinggalnya semula.
Apabila tetap ingin dibuka lahan pertanian atau perkebunan sebaiknya diadakan kajian untuk mengontrol level air tanah agar sebisa mungkin air tanah dalam level rendah. Apabila tetap ingin dijadikan tempat kegiatan masyarakat baik tempat tinggal, kawasan pendidikan, wisata, perdagangan atau jasa sebaiknya dilakukan kajian lebih mendalam misalnya seperti pembuatan jalur evakuasi, meeting point, sarana prasarana pendukung evakuasi bencana, serta sosialisasi pada masyarakat dengan cara pendekatan partisipatif, persuasif, maupun adaptif.
Sumber gambar : liputan6.com
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan