Menilik Hubungan Menarik antara Film dan Kebudayaan

Film dan budaya memiliki hubungan dinamika yang rumit, dimana film mampu mempengaruhi kebudayaan masyarakat yang mengonsumsi mereka, namun film juga sekaligus merupakan bagian integral, produk, dan cerminan dari budaya atau keyakinan tertentu di masa tersebut.

Film juga mencerminkan ideologi yang mendominasi dari satu periode ke periode lainnya. Karena itulah film Hollywood Amerika Serikat (untuk seterusnya disebut AS), misalnya, mengandung etika dan keyakinan umum mengenai “bagaimana makna menjadi bangsa Amerika”, serta menggambarkan tren atau isu yang menjadi ciri khas dari periode dimana film tersebut diproduksi. Sebut saja film Fahrenheit 9/11, World Trade Center, United 93, dan masih banyak lagi, yang dibuat berdasarkan serangan teroris 11 September 2001 terhadap gedung WTC di Amerika Serikat.

 Di samping film-film tersebut, terdapat serangkaian film lainnya yang dinilai mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh budaya massal masyarakat AS. Pertama, adalah film The Birth of a Nation (1915) yang mengangkat kondisi ketegangan sosial dan budaya di Amerika Selatan selama dan sesudah Perang Sipil. Pada awal abad ke-20, timbul ketakutan akan gelombang imigran yang mengarah pada perilaku rasis dalam budaya masyarakat, dan diperparah dengan ideologi politik dominan dari elit konservatif yang memperkuat kesenjangan sosial atas perbedaan alami manusia. Meski kontroversial, pada tahun 1992, film ini diketagorikan oleh Library of Congress sebagai “film yang signifikan secara budaya, historis, atau estetis”.

Film kedua adalah jenis film yang membawa misi “The American Way”, yang dimulai sejak pemboman Pearl Harbor pada tahun 1941. Pemerintah AS membuka membuka Bureu of Motion Picture federal di Los Angeles yang mengatur produksi film bertema perang, yang kemudian menghasilkan film-film patriotik dengan tujuan menginspirasi rasa bangga serta percaya diri sebagai seorang Amerika, maupun menyampaikan kesan bahwa Amerika dan sekutunya adalah aliansi kebaikan. Karena itulah film-film di awal Perang Dunia II seringkali mengandung propaganda, misalnya film Why We Fight (1942) yang menyampaikan pesan perang melalui narasinya.

Film-film selama Perang Korea dan Vietnam juga menonjolkan ciri tersendiri, yaitu pemberontakan baby boomer atau generasi muda terhadap orang tua mereka yang konservatif. Film-film ini menggambarkan budaya anak muda yang tidak menyukai dukungan untuk Perang Dunia II oleh orang tua mereka yang patriotis, serta perlawanan atas otoritas institusional secara umum. Misalnya film The Graduate (1967) yang mencerminkan ketidakpuasan generasi muda terhadap tekanan sosial, atau film Bonnie and Clyde (1967) dan Easy Rider (1969) yang mulai melebihi batas on-screen yang tabu seperti kekerasan, kebebasan seksualitas dan narkoba dalam budaya anak muda.

Berkenaan dengan fenomena tersebut, Production Code atau Hays Code diciptakan untuk memastikan bahwa film bertanggung jawab untuk proses spiritual dan moral dalam kehidupan sosial yang lebih tinggi serta untuk banyak pemikiran yang benar. Namun tentangan dari orang-orang Hollywood atas pembatasan freedom of speech atau kebebasan berekspresi dari kode ini akhirnya melemahkan Production Code hingga digantikan dengan sistem MPAA rating pada 1967.

MPAA membuka jalan bagi film dengan konten dewasa, melalui kategorisasi film dalam: G (segala umur), M (dengan bimbingan orang tua), R (terbatas untuk usia 16 tahun ke atas), dan X (untuk usia di atas 17 tahun). Sistem MPAA rating ini masih bertahan hingga hari ini meski dengan berbagai modifisikasi. Aku yakin kalian pasti juga sudah tidak asing dengan kategorisasi rating tersebut.

Di sisi lain, film-film mengenai keterlibatan AS dalam Perang Vietnam juga mencerminkan sentimen anti-perang yang kuat; kontras dengan film patriotik perang di masa PD II. Film-film seperti Dr. Strangelove (1964), Apocalypse Now (1979), Oliver Stone’s Platoon (1986) dan Born on the Fourth of July (1989) melukiskan sisi militer yang negatif hingga meninggalkan luka emosi dan psikologi bagi bangsa.

Film-film ini bangkit selama 1980-an seiring AS mencoba pulih dari kekalahan di Vietnam, sekaligus mulai menghadapi ancaman Perang Dingin dengan Uni Soviet. Ketakutan akan kemungkinan perang nuklir tergambar nyata dalam film Halloween and Friday the 13th hingga Star Wars.

Berbagai contoh kasus film di atas menunjukkan bahwa ketika film mencerminkan keyakinan dan nilai budaya yang memproduksi mereka, film juga membentuk dan memperkuat nilai budaya tersebut. Pengaruh ini bisa berupa hal sepele, bahkan mendalam hingga mampu mengarah pada reformasi sosial-politik atau konflik ideologi. Selama periode industrialisasi budaya AS yang pesat, film beserta alat komunikasi masal lainnya juga berkembang dan menyebarkan selera, adat, ekspresi, serta perilaku populasi perkotaan pusat ke seluruh wilayah negara.

Akibatnya, media komunikasi masal ini mampu menyingkirkan perbedaan regional dan menciptakan budaya standarisasi yang lebih homogen. Di sinilah film mempengaruhi penontonnya untuk meniru dan terobsesi dengan ‘kehidupan’ selebriti yang terpancar dari layar kaca sebagai konsep bintang film dalam imajinasi Amerika. Film juga memperkuat identitas individualisme Amerika dengan menghadirkan tokoh pahlawan yang berwenang secara individu menghadapi budaya homogen, seperti dalam High Noon (1952), It’s a Wonderful Life (1946), dan tokoh-tokoh pahlawan seperti Indiana Jones, Luke Skywalker (Star Wars), dan Neo (The Matrix).

Menariknya lagi, dengan kekuatan film sebagai media pengaruh opini publik, para pembuat film juga memproduksi film bertemakan isu sosial yang mampu merubah etika kebudayaan yang signifikan. Misalnya film Super Size Me (2004) dan Food, Inc (2009) yang mampu merubah budaya konsumsi makan Amerika menjadi lebih sehat, bahkan di bidang makanan cepat saji. Film lain yang mampu menggeser etika budaya terhadap isu sosial tertentu, adalah Bowling for Columbine (2002) dan Fahrenheit 9/11 (2004) karya Michael Moore yang menghadirkan sikap liberal pada isu sosial dan politik seperti kesehatan, globalisasi, dan kontrol senjata.

Sumber:

McFadden, J.B. (2010). Understanding Media and Culture: An Introduction to Mass

Communication. Minneapolis: University of Minnesota Libraries Publishing.

  990 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts