Negeri Karam

Ketika sang surya sedang sibuk menerangi bumi dengan pancaran cahaya panasnya, seluruh isi bumi pun mulai merasakan panas, pengap, gerah. Bagaikan aliran air sungai, tetesan bukti kerja keras itu bercucuran dari lubang pori-pori. Lelah, lesu, letih, gundah, dan segala rasa yang jauh dari kata “nyaman” timbul dalam hati sang pemburu rupiah di kota ini. Mereka adalah segelintir masyarakat yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kesibukan sang surya tak dihiraukan oleh mereka di luar sana, yang mau tidak mau harus menikmati kepenatan ini dan berjuang menerobos ketidaknyamanan demi melanjutkan kehidupan esok, atau hanya demi sesuap nasi malam nanti. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di ibukota. Ku pikir, ibukota itu adalah tempat yang sejahtera bagi seluruh masyarakatnya, atau bahkan menjadi tempat yang lebih merdeka jika dibandingkan dengan kota lainnya. Ternyata, aku salah. Bukan bagi seluruh masyarakat. Tapi, hanya orang-orang tertentu yang dapat merasakan kesejahteraan yang merdeka itu. Aku memilih untuk berjalan kaki menelusuri setiap wilayah di ibukota ini. Melihat kesibukan kota dan merasakan kebisingan dari setiap kendaraan. Tak jarang aku mendapati anak kecil yang memegang kaleng serta pedagang asongan di setiap persimpangan. Mereka menunggu lampunya berwarna merah sebagai tanda bahwa jam kerjanya akan dimulai dan lampu hijau untuk tanda istirahat. Mereka melakukan itu secara terus menerus. Ketika keadaan jalan ibukota mulai sunyi, barulah mereka berhenti bekerja dan pulang ke rumah dengan hasil nyata yang ia dapatkan hari ini. Ada juga yang singgah di warung sebelum pulang. Berarti, uang yang ia dapat hari ini bisa jadi sudah habis ketika ia keluar dari warung dengan tentengan kantong plastik berisi makanan untuk keluarga di rumah. Untuk makan besok, ia harus kembali ke jalanan, menunggu kendaraan berhenti, dan beraktifitas seperti hari sebelumnya. Sangat melelahkan. Setiap lorong kecil yang ku telusuri cukup menggambarkan betapa mirisnya kehidupan masyarakat menengah kebawah. Stiker keluarga penerima raskin di pintu kayu lapuk itu dapat menjadi bukti kesulitan hidup mereka. Cahaya matahari pun dapat merambat lurus dari atap rumah yang bocor. Dinding yang tak lagi kokoh suatu saat akan ambruk tanpa tanda-tanda. Bukan hanya satu atau dua rumah, tapi setiap rumah di dalam lorong itu bernasib sama. Apakah ini yang namanya perkampungan di tengah kota?. Kumuh. Ibu :“kamu kenapa nak?” Anak :“aku lapar bu” Ibu :“bapak, ini loh anakmu belum makan. Sabun cuci juga udah habis” Bapak :“iy sebentar, bapak keluar dulu cari uang. Kamu mau makan apa nak?” Anak :“makan apa aja pak”. ... Demikian percakapan singkat yang dapat ku tangkap dari salah satu rumah kumuh itu. Mungkin persediaan raskin mereka sudah habis. Dan pembagian raskin masih beberapa bulan lagi. Anak itu hanya berharap agar perutnya tidak sampai sakit menahan lapar, ibunya hanya meminta sebungkus deterjen untuk mencuci baju agar dapat dipakai lagi esok hari, dan bapaknya harus berusaha agar mendapatkan uang di lampu merah untuk makanan dan sebungkus deterjen. Sore itu aku mengakhiri perjalanan di ibukota. Kembali ke apartemen dengan udara sejuk, pemandangan buatan yang indah, dan tentunya sofa lembut. “gimana, petualangan kamu?” tanya mama “yah, gitu deh ma. Enggak sesuai ekspektasi. Kirain kalau udah ada MRT udah enggak macet, kalau ada rusunawa udah enggak ada lagi perkampungan kumuh, ternyata perubahan itu enggak merubah apapun” jawabku “Yah, mau gimana lagi. Pemimpinnya aja rebutan kursi sampai berkorban nyawa. Gimana masyarakat enggak bingung. Mau ngaduh tapi enggak tau ngaduhnya kemana. Lihat aja tuh, jalanan makin kacau. Kayak kapal pecah aja negeri ini” komen papa “hmm... Bener tuh pa. Sekarang aja jalan raya udah jadi lapangan pekerjaan. Kalau papa bilang kayak kapal pecah, berarti nahkodanya sekarang lagi rebutan setir penger ngatur semua” responku “Udah, enggak usah di lanjutin. Kalian ngomong gitu, sampai mulut kalian berbusa pun enggak bakalan di gubris sama mereka. Hak keluarga miskin aja di makan, gimana mau nerima komen masyarakat seperti kita” sanggah mama. Memang bener sih mereka juga enggak bakalan peduli dengan ucapan rakyat biasa apalagi dengan keluhan masyarakat seperti mereka yang notabennya berada di garis kemiskinan. Mereka layaknya ikan teri dalam kapal yang sudah mulai karam. Iya, kapal itu adalah negeri ini. Sudah mulai dikarati dengan berbagai kasus. Dari kasus pelecehan hingga politik yang terombang-ambing di sekitar kita tanpa jalan keluar yang jelas. Dari kota ini, aku membayangkan. Betapa sengsaranya kehidupan rakyat negeri ini, begitu sulitnya mereka berusaha mendapatkan ketenangan untuk hidup di negeri sendiri, dan seberapa banyak air mata penderitaan mereka demi menjalani kehidupan keras dipinggiran pusat kota. Jujur, miris sekali setiap kali aku menonton pemberitaan melalui media televisi yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera. Nampak jelas penderitaan yang dirasakan oleh rakyat bahkan dari sekilas raut wajah mereka. Ditambah lagi pemberitaan dunia politik yang sudah menjadi rahasia umum atas segala kasus yang terjadi. Melihat itu semua, sebagai generasi dengan visi menjadi penerus bangsa dan dengan misi mengisi kemerdekaan, banyak pertanyaan yang sejak dulu tertampung dalam pikiranku. Apa yang harus dilakukan?. Apa yang sedang dilakukan?. apa yang telah dilakukan?. semua pertanyaan ini ku peruntukkan bagi para wakil rakyat negeriku. Mau di respon atau tidak pun itu terserah mereka. Ini semua hanya semacam opini kritis dariku. Tapi, aku rasa pemikiran kritis itu tidak bisa menjadi senjata yang ampuh untuk merubuhkan keegoan mereka di balik gelar dan jabatan. Namun, apakah sang penanggung jawab itu manusia? Ataukah hanya sebuah benda pajangan dengan fungsi sebagai penghias dalam suatu negara? . Entahlah . dari pengalaman yang kudapat serta berbagai berita yang aku dengar, dapat disimpulkan bahwa semua anak bangsa yang sudah memulai visi dan misinya hanya akan dikatakan sebagai seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa. Padahal sejak kecil bahkan sejak bayi hingga kini kami masih terus di bimbing untuk belajar. Dan hasilnya, kami masih di anggap sebagai “anak kecil yang tak tahu apa-apa”. Jadi, kapan kami bisa memulai visi-misi kami? . kapan kami bisa mulai untuk berpartisipasi dalam perubahan negeri? dan kapan karya kami dapat di dihargai di negeri tempat kami menciptakannya? . Entah apa yang dirasakan oleh para pahlawan yang telah dengan susah payah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. jika mereka melihat kegaduhan dalam negeri tempat mereka begeriliya dahulu. Kalau begini terus, siapa juga yang mau tetap tinggal di kapal yang mulai tenggelam tanpa ada pelampung. Bahkan utang negara menjadi beban yang makin memberatkan kapal. Semua ingin menjadi pahlawan. Kami, generasi penerus ini ingin andil dalam membuat pelampung sekalian mencari cara untuk menambal kebocoran kapal agak tidak tenggelam. Kami hanya ingin ikut berpartisipasi dalam perubahan negeri, bukan untuk mengambil alih, ataupun menggeser jabatan para MENTERI, atau kursi anggota DPR-RI. Kami juga sadar diri, bahwa kami adalah sebagai penerus dan pengisi bukan perampas atau perebut warisan kursi negeri. Kami pun bukan ingin mengincar perhatian lebih dari pemerintah RI, tapi kami hanya ingin menunjukkan hasil pembelajaran kami selama ini. Sebagai anak bangsa yang terlahir di negeri ini, Sejak bayi hingga detik ini. Gambar:https://m.liputan6.com/news/read/3901812/foto-minim-keahlian-pedagang-asongan-marak-di-ibukota

  238 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts