Organisasi Ekstra Memang Penting, Tetapi Mementingkan Organisasi Ekstra Salah

Dari beragam jenis mahasiswa  di bangku perkuliahan yang paling tenar dan banyak dikenal adalah mereka para aktivis kampus. Gimana gak mau terkenal, sejak musim mahasiswa baru muka muka ceria sudah mampang setiap saat. Meski di tengah pandemi, aktivis tak pernah kehabisan akal agar bisa dikenal, dan dikenang.

Saya selalu bangga menyaksikan kawan seperjuangan yang peduli dengan mahasiswa lain, entah atas dalih apapun saya sangat selalu mendukung mereka. Mulai dari persoalan rumit terkait RUU KUHP beberapa waktu lalu, sampai soal SPP secara konsisten kawan seperjuangan yang menamakan diri sebagai aktivis konsisten di garda terdepan.

Para aktivis garis keras, begitu sebutan hamba IPK. Secara mudah bisa kita temui di berbagai organisasi ekstra yang ada di kampus, entah itu yang bernafaskan agama, nasional, atau yang bertendensi pada salah satu partai politik agama nasional kesemuanya bagus. Aktivis adalah mereka yang begitu hobi menggaungkan kata kata pusaka terbentur terbentur terbentur ambyar terbentuk. Kita harus sepakat, organisasi ekstra sebagai wadah tidak pernah bersalah. Ia selalu baik, dan hanya bersifat sebagai benda mati -ekhem.

Lalu siapa yang salah? Sebenarnya saya tidak sedang membuat kesimpulan salah dan benar. Saya hanya ingin menceritakan kisah perjuangan seorang teman di salah satu organisasi ekstra. Saat mahasiswa baru (maba) dulu teman saya itu, sebut saja bernama Panjul sudah menjadi anggota salah satu organisasi ekstra. Ia kakak kelas ketika SLTA dulu, kawan sebaya saya menamai dia dengan sebutan 'senior yang terhormat', dia pernah berkata "ayo bung, kita harus perjuangkan aspirasi rakyat melalui organisasi X ini," dengan semangat ia mengajak saya untuk bergabung.

Saya yang waktu itu masih maba, terus berfikir hendak gabung atau tidak. Hingga pada akhirnya saya turut bergabung dengan banyak dalih. Lambat laun, kawan saya yang memang aktivis banget itu sukses. Ia menjadi orang penting di organisasi tersebut, bahkan saat ia berbicara atau menuangkan gagasan tidak ada yang berani menyanggah -sungguh luar biasa.

Pokoknya dia itu aktivis banget, organisasi bagi dia bermakna segalanya. Sebagai kawan yang peduli saya bangga pada dia. Suatu ketika saya pernah tetapi mengingatkan tujuan orang tua dia menjadikan mahasiswa untuk apa -jelas untuk belajar yang benar, lulus, lalu dapat pekerjaan mapan. Dari saking fanatiknya pada organisasi ekstra sampai ia rela tidak kuliah daring selama satu semester. Ia lebih mementikan keberlangsungan organisasi yang diikuti.

Kasus seperti itu mungkin tidak hanya dialami oleh kawan saya saja, banyak mahasiswa di luar sana yang mengabdikan diri hidup dan mati demi organisasi ekstra yang diikuti. Memang, antara organisasi dan akademik harus seimbang, berpikir idealis dengan bercita cita mati muda layaknya Soe Hok Gie sangat boleh, tetapi jangan lupa realita tidak seindah di dalam mimpi. Kadar idealis dan realistis harus seimbang, jangan sampai mementingkan organisasi berakhir pada tidak mementingkan diri sendiri.

Lah, kan udah dijelaskan kita itu harus love yourself alias mencintai diri sendiri, baru orang lain, baru dia masyarakat umum. Tidak hanya organisasi ekstra, semua organisasi itu memang penting. Manusia sebagai makhluk sosial tentu harus hidup secara berkelompok dalam bingkai tujuan yang sama demi tujuan yang sama pula.

Tetapi, semua itu tidak berarti organisasi menjadi hal yang harus dipentingkan terus menerus. Jauh di luar sana bung, banyak cakrawala pengetahuan yang harus ditempuh tanpa melupakan organisasi tentu. Kadar berorganisasi se-normalnya saja, tidak menjadi kefanatikan berlebihan yang berakhir pada terjebak jadi mahasiswa sepanjang masa -tentu anda semua juga punya cita cita jadi masyarakat umum, meski status sebagai mahasiswa begitu elegan.

  32 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts