Mahasiswa dan Drama Teknologi: Antara Ngebut Pakai AI atau Mikir Sendiri
Jika dibandingkan dengan mahasiswa zaman sebelum mengenal apa itu AI, mahasiswa saat ini punya privilege yang belum pernah ada di generasi sebelumnya. Saat ini mahasiswa bisa nanya apa aja ke mesin yang jawabnya dalam hitungan detik. Mulai dari rumus ekonomi, skripsi tentang ketahanan pangan, sampai template email buat dosen, semua bisa dijawab AI.
Tapi muncul satu pertanyaan penting
“Dengan AI yang makin canggih, kenapa cara pikir kita masih begitu-begitu aja?”
AI Udah Masuk Kampus, Tapi Cara Pakainya Masih Gitu-Gitu Aja
Kenyataan di lapangan membuktikan kalau masih banyak mahasiswa pakai AI buat kejar deadline, bukan kejar pemahaman.
• ChatGPT dijadiin mesin tugas
• Google Bard dipakai buat bikin caption galau
• Tools presentasi AI Cuma buat auto-rampung, bukan buat bantu ngerti
AI seharusnya bisa jadi mentor digital, tapi kita malah jadikan dia sebagai asisten for last minute. Bukan salah teknologinya, namun ini tentang bagaimana tetapi cara berpikir manusianya.
Literasi Rendah = Potensi Besar Jadi Percuma
Di Indonesia, banyak mahasiswa punya akses ke AI, tapi nggak ngerti cara mikir dengan AI. Yang terjadi:
• Nyalin jawaban tanpa paham isi
• Percaya semua yang keluar dari mesin, padahal belum tentu benar
• Nggak tahu kapan harus skeptis, kapan harus eksploratif
Ini bukan Cuma soal kecerdasan mahasiswa, tapi soal mentalitas mahasiswa sekarang yang cenderung pemalas dan tidak kritis. Padahal tugas utama mahasiswa itu bukan sekedar cari jawaban, tetapi mencari makna.
AI Bisa Jadi Senjata, Tapi Bisa Juga Jadi Candu
Kalau kamu pakai AI Cuma buat nyontek gaya baru, ya kamu nggak beda jauh sama generasi autosearch. Tapi kalau kamu pakai AI untuk:
• Bikin riset kalian lebih tajam
• Ngembangin ide jadi gerakan
• Ngebentuk portofolio masa depan
Maka kamu udah selangkah lebih maju dari mahasiswa biasa. Pada dasarnya AI itu bersifat netral, yang menentukan hasil akhirnya bukan teknologinya, tapi mindset pemakainya.
So, Mahasiswa Butuh Apa?
1. Literasi AI Adalah Skill Baru yang Wajib Dikuasai
Paham tools-nya, tahu cara bacanya, dan ngerti logikanya.
2. Kritis, Bukan Konsumtif
Jangan asal pakai. AI bukan Tuhan. Selalu cek, bandingkan, dan validasi.
3. AI Boleh, Tapi Karakter Harus Lebih Kuat
Di era informasi, yang bikin kita unggul bukan siapa yang tahu lebih banyak—tapi siapa yang bisa menyaring dan menggunakan dengan tepat.
4. Bangun Karya, Bukan Sekadar Lolos Mata Kuliah
Pakai AI buat bangun brand pribadi, bukan Cuma buat nyari jawaban quiz.
Jangan Sampai Lulus Tanpa Belajar Berpikir
AI bukan musuh. Tapi dia jadi alarm untuk kita kalau berhenti berpikir, dia yang akan jalan terus. Kalau mahasiswa Cuma jadi pengguna pasif, maka gelar dan transkrip nilai akan kalah sama mereka yang tahu caranya berpikir pakai teknologi. Karena di masa depan, yang relevan bukan tentang mereka yang sekedar tahu, tetapi yang tahu cara belajar, berpikir, dan bertumbuh.
Punya AI canggih, tapi otak masih manual?
Masih mau lanjut kayak gitu?