Review Crazy Rich Asian dan Turtles Can Fly: Parahnya Ketimpangan Global

Kalau aku tidak salah ingat, film Crazy Rich Asian yang diluncurkan pada tahun 2018 lalu sukses menuai banyak perhatian positif dengan membawa penonton melihat kehidupan para ‘sultan’ yang hartanya seakan tidak ada habisnya. Tapi di sisi lain, kalau kalian familiar dengan judul Crazy Rich Asian, bagaimana dengan Turtles Can Fly? Sudahkah kalian menonton film yang dibuat di Irak pada tahun 2004 ini?

Kedua film sesungguhnya sama-sama menyajikan alur cerita yang sangat menarik sehingga tak mengherankan keduanya memperoleh berbagai macam penghargaan bergengsi. Namun perbedaannya, adalah latar situasi ekonomi-sosial yang disoroti di masing-masing film— yang sangat kontras jika dibandingkan. Melalui kedua film ini, aku ingin membagi opiniku kepada kalian dengan mengangkat kata kunci ‘global injustice’ atau ketimpangan global.

Kita mulai dari Crazy Rich Asian. Film ini mencampuradukkan nilai-nilai khas Timur—mementingkan keluarga, pendidikan dan kemakmuran hidup, dengan lingkungan yang konsumeristik berhiaskan perhiasan, pakaian, rumah, serta perjalanan mewah. Mengambil latar tempat dominan di Singapura, film ini menyoroti kalangan tertentu— keluarga Young dan kolega-koleganya yang merupakan keturunan China— sebagai karakter yang tidak hanya kaya, melainkan sangat-kaya-raya.

Menariknya, dalam periode tahun 2010 hingga 2019, kawasan Asia-Pasifik memang menempati posisi pertama dengan 6,53 juta miliarder yang memiliki kekayaan bersih tertinggi di dunia, mengalahkan Amerika Utara di posisi kedua dengan hanya 6,3 juta miliarder. Di kawasan Asia sendiri, miliarder berkebangsaan China mendominasi dengan 389 orang, dan menjadi satu-satunya negara di antara 10 negara teratas dengan jumlah miliarder terbesar yang mengalami peningkatan kekayaan miliarder agregat.

Namun di sisi lain, selain menjadi rumah bagi sejumlah besar miliarder dunia, kawasan Asia-Pasifik nyatanya juga menjadi rumah bagi 2 dari 3 pekerja kelas bawah dunia. Pada tahun 2017 saja, sekitar 79% total kekayaan yang dihasilkan di China menjadi milik kalangan kaya yang hanya 1% dari keseluruhan populasi negara tersebut. Bayangkan saja, 1% populasi China tersebut memperoleh nyaris setengah dari keseluruhan kekayaan negara! Populasi elit semacam ini tidak hanya terdapat di China, namun juga di India, Thailand, dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya.

Kalau faktanya begitu, sih, tidak heran ya, bagaimana bingungnya Rachel Chu saat masuk ke dunia kaum elit China yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Dan tentu saja sulit untuk orang awam membayangkannya sejak awal, jika kaum elit yang dimaksud hanya sebesar 1% dari populasi keseluruhan.

Situasi seperti ini bukanlah baru terjadi dalam beberapa tahun belakangan saja. Setiap tahunnya, miliarder dunia semakin meningkat dari segi jumlah dan kekayaan, sementara kaum miskin semakin miskin. Kumpulkan saja 6,9 milyar penduduk, lalu lipatgandakan kekayaan mereka. Nah, hasil yang kita dapat itu sama dengan jumlah kekayaan 1% kaum terkaya di dunia!

Adanya ketimpangan ekonomi ini kemudian mengarah pada ketidakadilan global atau global injustice. Akses hidup yang baik hanya bisa diperoleh dengan uang, dan karenanya kaum kelas menengah ke bawah tidak dapat sepenuhnya menikmati akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lainnya. Kontras sekali dengan kaum elit ekonomi seperti yang kuceritakan di atas, kan? Ketika kaum di puncak piramida ekonomi terjamin hidupnya dengan baik, tiap harinya ada lebih dari 10.000 orang meninggal karena tidak memiliki akses layanan kesehatan, dan ada jutaan orang yang jatuh ke kemiskinan ekstrim karena menanggung biaya layanan kesehatan.

Kekontrasan itu sangat terasa ketika aku beranjak ke film Turtles Can Fly tepat setelah menyelesaikan film Crazy Rich Asian. Dari film berlatarkan mansion, apartemen mewah dan pesta besar, aku dibawa ke kehidupan desa pengungsi Kurdistan di perbatasan Turki-Irak yang sangat jauh dari kata mewah.

Di film ini, ketidakadilan jauh lebih terasa dibandingkan dengan situasi Rachel Chu. Ketika Chu masih mampu memperoleh pekerjaan setingkat profesor ekonomi di universitas terkemuka, anak-anak di desa Kurdistan menyambung hidup dengan memunguti ranjau-ranjau bekas di tanah lapang. Ketika Chu hanya harus berhadapan dengan gemerlapnya dunia kaum elit ekonomi China, anak-anak di desa itu harus berhadapan dengan hidup dan mati. Demi mendapatkan uang dan makanan yang tak seberapa, banyak di antara mereka yang bahkan telah kehilangan tangan dan kaki serta buta akibat ranjau-ranjau tersebut.

Penonton dibawa melihat bagaimana di desa Kurdistan, para pengungsi maupun warga harus berjuang lebih keras karena berada di dunia yang seolah tidak menawarkan tempat bagi mereka. Di piramida ekonomi, karakter dari Crazy Rich Asian seperti menduduki posisi puncak yang runcing namun eksklusif, sedangkan karakter Turtles Can Fly seperti menduduki posisi terbawah yang paling luas namun juga paling rendah.

Ketika setiap harinya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, ketidakadilan global hanya memperkuat berpusatnya akses ekonomi, kesehatan, politik, pendidikan, dan hak-hak dasar HAM lainnya di tangan segelintir kaum elit yang menempati piramida teratas. Disebut timpang dan tidak adil karena terdapat jurang pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang tidak akan pernah menyempit.

Bagiku pribadi, ketidakadilan dan ketimpangan global bukan sesuatu yang dapat dihilangkan sepenuhnya. Namun tentu saja masih terdapat peluang untuk menguranginya, sebagai tugas besar umat manusia bersama yang masih akan menemui jalan panjang serta waktu yang sangat lama.

Sumber:

Ponciano, J. (2020). The Country with the Most Billionaires. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/jonathanponciano/2020/04/08/the-countries-with-the-most-billionaires-in-2020/?sh=7e302be94429.

Shirley, A., dkk. (2020). The Wealth Report, 14th edition. London: Knight Frank.

Statista Research Department. (2020). Number of HNWI worldwide by region 2010-2019. Diakses dari https://www.statista.com/statistics/263488/millionaires-worldwide-by-region/.

Sumber Gambar:

Dokumentasi pribadi, 2021.

Market Watch, 2015. Diakses dari https://www.marketwatch.com/story/china-state-media-warns-of-generational-poverty-2015-01-23

  155 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts