TikTok, Media Sosial Masa Depan

Saya adalah sekte manusia yang menganggap TikTok sebagai platform alay yang nggak jelas.  Sebagai bagian dari sekte sakral ini, saya bangga dengan fakta bahwa saya tidak pernah mengunduh aplikasi dengan logo not musik tersebut ke perangkat saya.

 

Sampai sekarang saya masih bangga dengan fakta ini, dan bahkan penasaran sampai kapan saya bisa terus menjalani hari tanpa aplikasi asal China tersebut.  Ketika teman-teman saya mulai mengikuti arus dan memasang aplikasi tersebut di telepon pintar masing-masing, saya masih berkutat main game daripada melakukan scroll up yang rasanya tidak ada batasnya.  Ada rasa kesenangan sendiri ketika tahu bahwa saya anti-mainstream, tidak gampang mengikuti hal-hal yang sedang tren.  Saya berasa manusia unik.

 

Opini ini berubah ketika beberapa minggu lalu senior kampus saya yang bekerja sebagai content creator bertanya kepada saya: “Kamu punya TikTok nggak?”  Nah, biasanya reaksi yang saya terima ketika saya mengatakan kebenaran saya adalah “Ooh, iya.”  Sebagian besar teman saya tidak banyak tanya dan cuma mengangguk-angguk kalau tahu saya tidak punya aplikasi satu ini.  Seakan-akan mereka sebetulnya memaklumi kalau ada banyak platform lain yang lebih berfaedah untuk dipakai.  Tapi senior saya ini langsung menggebu-gebu bilang “Loh?  Sayang banget!  Kamu coba install deh!”

 

“Ogah Bang, males lihat isinya.”  Iya, semua orang juga tahu kalau dulu aplikasi ini populer karena menjadi tempat share video joget-joget gak jelas yang jadi ajang pamer lekukan tubuh tau pamer kekayaan.  Semacam Musically tapi lebih modern (aduh ketahuan jadulnya nih).  Atau sebagai platform orang berbagi video pamer wajah dengan video transformasi ala-ala dari wajah buluk ke wajah ganteng, lengkap dengan efek slow motion dan filter ala-ala drama Korea.

 

“Padahal isinya bagus-bagus, lho!”  Si Abang keukeuh, dan ia langsung menunjukkan beberapa tagar yang dia ikuti di TikTok.  Ada #technology #collegehack #photography.  Waktu saya scroll halaman TikTok dia, memang sih nggak muncul video orang yang sedang berjoget-joget.

 

“Oh iya Bang.  Ada yang bagus juga.  Tapi kalau singkat-singkat gini mending lihat Youtube aja lebih jelas.”  Saya menyanggah pernyataannya.  Ya, bukan rahasia lagi kalau video-video di TikTok sering clickbait.  Biasanya suka ada video tips atau video menarik yang dipisah-pisah menjadi part one, part two dan seterusnya.  Kan ribet, kenapa nggak langsung lihat yang lengkap di satu video aja kaya di Youtube?

 

“Justru orang sukanya yang singkat-singkat lho Dek.” Begitu katanya.  “Anak-anak zaman sekarang itu lebih suka experience langsung, maunya mendengar dan melihat.  Makanya pada demen lihat video.  Kalau kepanjangan, buat mereka buang-buang waktu.”

 

Ah, iya juga ya?  Kalau dipikir-pikir, saya juga kalau mau beli barang cari video ulasannya dulu.  Karena saya mau lihat bentukan barangnya (walau nggak secara langsung) dan mau mendengar pendapat langsung dari orang yang sudah beli dan sudah pakai duluan.

 

“Terus juga makin ke sini, orang dibilang influencer itu sudah bukan lihat Instagram lagi, tapi lihat TikTok.  Yang dilihat ya jumlah followers sama isi konten videonya menarik atau nggak.”

 

Saya sedikit mengernyitkan dahi mendengar kalimat ini.  Lah, apakah semua orang sudah bosan bermain Instagram?  Bukannya dulu orang-orang terkenal yang sekarang sering seliweran di TV itu banyak yang awalnya selebgram?  Terus karena belakangan YouTube menjanjikan omset pendapatan yang besar dengan AdSense, banyak selebgram yang akhirnya nyambi jadi Youtuber juga?  Uhuk awkarin uhuk.

 

“Emang Instagram udah nggak rame Bang?  Perasaan masih sama kaya dulu,” cuma ini yang bisa saya katakan karena Instagram adalah media sosial paling mutakhir yang ada di handphone saya.

 

“Ya, masih rame, sih.  Tapi kan Abang kerjanya jadi content marketing yang targetnya anak-anak SMA.  Jadi ya harus ngikutin perkembangan zaman.  Dulu zaman kita hebohnya Twitter, kalau sekarang mereka hebohnya TikTok.”

 

Saya cuma bisa manggut-manggut.  Oke, ya sudah itu aplikasi biarlah menjadi ciri khas anak-anak kelahiran 2000 ke atas.  Yang jelas TikTok is not my thing, mungkin karena saya berasal dari generasi yang berbeda dari remaja zaman sekarang.

 

Suatu hari, saya seperti biasa sedang berselancar di Instagram karena sedang nganggur.  Di laman search Instagram biasanya ada banyak postingan acak dari topik atau hal-hal seputar apa yang kita ikuti di Instagram.  Di laman saya sih, kebanyakan ada media-media seputar hewan-hewan lucu, tips dan trik belajar, dan berita-berita Kpop.

 

Saat itulah saya menyadari bahwa… video-video yang ada di Instagram sebagian besar adalah video yang diunggah ulang dari TikTok.  Selalu ada logo khas aplikasi itu di akhir video atau sebagai watermark di video, lengkap dengan username TikTok sang pembuat video.

 

Berikutnya ketika saya berseluncur di YouTube, eh… yang muncul di rekomendasi adalah video-video kompilasi TikTok yang biasanya memiliki tema khusus.  Ada video kompilasi review barang, kompilasi resep masak, kompilasi video belajar… rasanya semua topik ada, termasuk kompilasi TikTok joget-joget pakai lagu WAP-nya Nicki Minaj.  Saya bahkan menikmati layanan beta milik YouTube bernama YouTube Shorts yang ternyata mirip formatnya dengan TikTok.

Lantas saya teringat kalimat terakhir yang menutup perbincangan mengenai TikTok ini dengan Abang kakak tingkat saya: “TikTok itu mempermudah orang untuk membuat konten.  Editing video dibuat gampang kalau pakai aplikasi ini.  Beberapa tahun yang lalu sedikit kan yang profesinya YouTuber?  Soalnya dulu itu video editing sesuatu yang dipandang susah dan repot.  Tapi sekarang semua bisa bikin konten video.”

Ah, benar juga.  TikTok memang sebuah lompatan besar.  Semua orang jadi bisa membuat konten dan berkarya menggunakan kemudahan yang ada di aplikasi tersebut.  Hal ini jujur membuat saya (yang hobi sekali membaca buku, artikel, dan caption Instagram) miris.  Karena kenyataannya, orang zaman sekarang lebih sering scanning dan skimming daripada reading.  Kini semua orang memang lebih suka yang instan, singkat, dan padat.  Banyak yang ingin membaca secara hemat, sehingga orang berlomba-lomba membuat video dengan cermat.  Karena para penonton ingin mendapatkan informasi yang tepat, dengan menonton video yang dapat dipahami dengan cepat.

Kesimpulannya, semua orang bisa menjadi content creator di TikTok dan prediksi saya, kayaknya media sosial ini bakalan tetep populer untuk beberapa tahun ke depan.  Hm…..

  155 Views    Likes  

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

previous post

Moralitas dan Etika Profesional dalam Menyongsong Generasi Pemimpin Masa Depan
Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

next post

Pendaftaran Program Kampus Mengajar Angkatan 8 sudah Dibuka!

related posts