Kesenjangan akses terhadap alat pendidikan digital semakin krusial. Meskipun teknologi berkembang pesat, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengaksesnya, menciptakan ketidaksetaraan dalam peluang belajar (Putri et al., 2024). Kesenjangan pendidikan di era digital disebabkan oleh akses internet yang terbatas, masalah finansial, serta kurangnya materi, pelatihan, dan pemahaman tentang alat pendidikan digital. Isma et al., (2023) menambahkan bahwa pendidikan abad 21 menghadapi masalah infrastruktur, kualitas dan relevansi kurikulum, tantangan tenaga pendidik, dan kesulitan pembelajaran jarak jauh.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang tahun 1945 pasal 31 ayat 1, setiap individu sebagai warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus (Solihah et al., 2024). Menurut Marfu’ah et al., (2024), Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengutip data BPS yang menunjukkan bahwa sekitar 3,3% anak usia 5 hingga 19 tahun di Indonesia adalah penyandang disabilitas. Dengan populasi sebesar 66,6 juta jiwa pada tahun 2021, terdapat sekitar 2.197.833 anak penyandang disabilitas dalam rentang usia tersebut.
Data dari Kemendikbudristek pada Agustus 2021 menunjukkan bahwa hanya 269.398 anak penyandang disabilitas yang terdaftar di sekolah berkebutuhan khusus (SLB) dan sekolah inklusi, atau sekitar 12,26%. Ini menunjukkan masih banyak anak penyandang disabilitas yang belum mendapatkan layanan pendidikan formal yang mereka butuhkan (Marfu’ah et al., 2024).
Gambar 1. Tingkat Pendidikan Tertinggi Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Status Disabilitas
Sumber: Kompas Data, Statistik Pendidikan 2022, BPS dalam Marfu’ah et al., (2024)
Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan di era digital, pemerintah telah melaksanakan program pembangunan infrastruktur, pemberantasan kemiskinan, pembagian kuota internet gratis, peningkatan literasi digital, revisi kurikulum, dan kerja sama dengan industri teknologi (Sa’adah, 2024). Namun, evaluasi dan dukungan lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan efektivitasnya.
Dalam mengatasi kesenjangan bagi penyandang disabilitas, pemerintah menerapkan program pendidikan inklusif, yang dirancang untuk peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler (Marfu’ah et al., 2024). Pendidikan inklusif tidak hanya tentang penerimaan, tetapi juga mengakomodasi keragaman (Asriady et al., 2019).
Prinsip dasar pendidikan inklusif mencakup fleksibilitas, keterbukaan, pemenuhan kebutuhan, dan kesiapan untuk perubahan sistem. Tantangan dalam pelaksanaannya meliputi aspek peserta didik, kurikulum, guru, aktivitas belajar, manajemen sekolah, fasilitas, infrastruktur, kerjasama, dan masyarakat (Solihah et al., 2024).
Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung dan memperkuat inklusivitas pendidikan berbasis digital. Inovasi program GO-DIVEN bertujuan mengoptimalkan peran pemerintah dalam meningkatkan digitalisasi pendidikan inklusif melalui analisis PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, dan Hukum) dan kolaborasi berbasis hexahelix. Pendekatan ini mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dari perspektif Balance Scorecard. Analisis PESTEL membantu memahami faktor eksternal yang mempengaruhi program digitalisasi pendidikan (Hariri dan Gischa, 2024). Berikut adalah implementasi peran pemerintah dalam inovasi program GO-DIVEN ditinjau dari perspektif PESTEL analysis.
Gambar 2. Peran Pemerintah dalam Mendukung Program GO-DIVEN
Sumber: Olahan Penulis
Menurut Elistia et al., (2024), Balanced Scorecard (BSC), yang dikembangkan oleh Robert Kaplan dan David Norton pada awal 1990-an, adalah kerangka kerja untuk mencapai keseimbangan strategis. Dalam konteks pendidikan, pemerintah memprioritaskan peningkatan pendidikan inklusif berbasis digital dengan memperbaiki akses dan kualitas infrastruktur digital (The World Bank, 2021). BSC membantu menerjemahkan strategi pemerintah menjadi tindakan melalui empat perspektif utama yaitu pelanggan (peserta didik), keuangan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Gambar 3. Optimalisasi Peran Pemerintah melalui Efektivitas Balance Scorecard
Sumber: Olahan Penulis
Beberapa penelitian tentang konsep hexahelix menunjukkan bahwa konsep ini mencakup pemetaan pemangku kepentingan secara komprehensif. Hexahelix mengintegrasikan kolaborasi quadruple helix dan quintuple helix innovation sebagai cara untuk mempercepat pelaksanaan program-program melalui sinergi antara berbagai elemen (Firmansyah et al., 2022). Konsep helix ini bertumpu pada pentingnya kerjasama lintas sektor dalam menghadapi kompleksitas proses, tujuan, dan tantangan pembangunan (Kelvin et al., 2022). Dalam meningkatkan inklusivitas pendidikan berbasis digital, kerjasama melibatkan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, media massa, serta aspek hukum dan regulasi (Zakaria et al., 2019).
Gambar 4. Kolaborasi Hexahelix dalam Mendukung Pendidikan Inklusif Berbasis Digital
Sumber: Olahan Penulis
Mahasiswa dan tenaga pendidik memainkan peran penting dalam pendidikan inklusif berbasis digital melalui program GO-DIVEN. Mahasiswa sebagai agent of change dapat mengedukasi masyarakat tentang teknologi dan etika online. Mereka juga membimbing generasi mendatang dalam era digital (Santiko, 2023). Menurut DPMK (2024), tenaga pendidik memiliki peran kunci dalam memastikan aksesibilitas teknologi digital bagi peserta didik penyandang disabilitas. Kolaborasi antara berbagai jenis tenaga pendidik dalam sistem inklusif diperlukan untuk mendukung partisipasi semua peserta didik dalam pembelajaran.
Program GO-DIVEN memiliki peran penting dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan berfokus pada pendidikan inklusif berbasis digital. Program ini bertujuan untuk memastikan akses setara ke pendidikan berkualitas bagi semua peserta didik, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, sejalan dengan SDGs 4 (Quality Education).
Dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, program ini juga mendukung penciptaan peluang kerja yang layak dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan SDGs 8 (Decent Work and Economic Growth). Selain itu, program ini membantu mengurangi kesenjangan pendidikan, mendukung SDGs 10 (Reduced Inequalities).
Program GO-DIVEN melibatkan kolaborasi antara akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, media massa, dan sektor hukum, mencerminkan SDGs 17 (Partnerships for the Goals). Dengan demikian, program ini berkontribusi signifikan terhadap pencapaian SDGs 4, 8, 10, dan 17.
Gambar 5. Peran Program GO-DIVEN dalam Mendukung Perwujudan SDGs
Sumber: Olahan Penulis
Kesenjangan akses terhadap media pendidikan digital menjadi masalah yang semakin penting. Program GO-DIVEN berusaha mengatasi hal ini dengan fokus pada pendidikan inklusif berbasis digital dan melibatkan berbagai stakeholder. Mahasiswa dan tenaga pendidik memiliki peran krusial dalam memberikan solusi. Mahasiswa sebagai agen perubahan digital, sementara tenaga pendidik perlu dilatih untuk memastikan aksesibilitas bagi peserta didik penyandang disabilitas. Kolaborasi pemerintah dan pemangku kepentingan diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pendidikan digital. Evaluasi dan peningkatan program harus dilakukan, dengan prioritas utama pada pendidikan inklusif berbasis digital dalam agenda pendidikan nasional.
Asriady, M., Yulianto, M.J., dan Handayana, S. 2019. Konsep difabilitas dan pendidikan inklusif. Inklusi. 1 (1):314.
Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (DPMPK). 2024. Sistem dukungan pelaksanaan pendidikan inklusif. URL: https://pmpk.kemdikbud.go.id/sistem-dukungan-pelaksanaan-pendidikan-inklusif/. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
Elistia, Rojuaniah, dan Mariam, S. 2024. Analisis pendekatan balance scorecard terhadap sasaran strategis perguruan tinggi swasta. Jurnal Lentera Bisnis. 13 (1):485-496. https://doi.org/10.34127/jrlab.v13i1.1044.
Firmansyah, D., Suryana, A., Rifa’i, A. A., Suherman, A., & Susetyo, D. P. 2022. Hexa Helix: Kolaborasi quadruple helix dan quintuple helix innovation sebagai solusi untuk pemulihan ekonomi pasca covid-19. EKUITAS: Jurnal Ekonomi dan Keuangan. 6 (4):476499. https://doi.org/10.24034/j25485024.y2022.v6.i4.4602.
Hariri, F.R., dan Gischa, S. 2024. PESTEL analysis: pengertian, tujuan, dan komponennya. URL: https://www.kompas.com/skola/read/2024/03/09/110000569/pestel-analysis--pengertian-tujuan-dan-komponennya. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
Isma, A., Isma A., Isma, A., dan Isma, A. 2023. Permasalahan pendidikan abad 21 di Indonesia. JUPITER: Jurnal Pendidikan Terapan. 1 (3):11-28.
Kelvin, K., Widianingsih, I., dan Buchari, R. A. (2022). Kolaborasi model penta helix dalam mewujudkan Smart Village Pondok Ranji. J-3P: Jurnal Pembangunan Pemberdayaan Pemerintahan. 7 (2):1–15. https://doi.org/10.33701/j-3p.v7i2.2587.
Marfu'ah, I.R., Yasamara, D.N., Amin, M.N.F.A. 2024. Analisis program pendidikan inklusif bagi disabilitas di Kota Kediri dengan perspektif Problem Tree Analysis. Jurnal Sosial dan Humaniora. 1 (4):178-189.
Putri, R.A., Sari, R. Hasanah, U., dan Habibillah, Z. 2024. Manfaat dan kesenjangan alat pendidikan di era digital. Jurnal Yudistira: Publikasi Riset Ilmu Pendidikan dan Bahasa. 1 (1):46-51.
Sa'adah, N.F. 2024. Revolusi pendidikan di era digital, peluang dan tantangan. URL: https://kumparan.com/nurul-fajri-saadah/revolusi-pendidikan-di-era-digital-peluang-dan-tantangan-22hS2EqmnB6. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
Santiko, P.W. 2023. Peran mahasiswa dalam era digital: membangun masa depan yang berbasis teknologi. URL: https://www.kompasiana.com/tikowahyu8510/651e3925a7e0fa2c794312f5/peran-mahasiswa-dalam-era-digital-membangun-masa-depan-yanh-berbasis-teknologi. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
Solihah, D.S., Herawati, N.I., dan Taufik, I.N. 2024. Manajemen penyelenggaraan program pendidikan inklusif di sekolah dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar. 8 (1):80-93.
The World Bank. 2021. Melampaui unicorn: memanfaatkan teknologi digital untuk inklusi di Indonesia. URL: https://www.worldbank.org/in/country/indonesia/publication/beyond-unicorns-harnessing-digital-technologies-for-inclusion-in-indonesia. Diakses tanggal 17 Mei 2024.
Zakaria, Z., Sophian, R.I., Muljana, B., Gusriani, N., dan Zakaria, S. 2019. The hexa-helix concept for supporting sustainable regional development (case study: Citatah Area, Padalarang Sub District, West Java, Indonesia). Earth and Environmental Science. 396.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan