Di Kota Surakarta atau yang juga dikenal dengan Kota Solo terdapat rangkaian perayaan Grebeg Sudiro yang menjadi kearifan lokal di masyarakat dan menunjukkan toleransi antar budaya. Grebeg Sudiro berasal dari “Grebeg” yang berarti perkumpulan, dan “Sudiro” yang berasal dari tempat diadakannya perayaan ini yaitu Kampung Sudiroprajan (daerah pecinan). Masyarakat Tionghoa berkembang di Surakarta bermula pada tahun 1745, Sunan Paku Buwana II memindahkan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta setelah lima tahun terjadinya tragedi pembantaian Geger Pecinan di Batavia, yang membuat banyak kaum Tionghoa yang berhasil selamat mengungsi dan menyebar ke berbagai kota di Jawa, salah satunya kota Surakarta. Masyarakat Jawa dan Tionghoa kemudian hidup berdampingan dan terjadilah akulturasi budaya seperti Barongsai dan Liong.
Perbedaan budaya yang ada sempat mendapat tantangan di saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Setelah peristiwa itu berlalu, masyarakat mulai membangun kembali persatuan agar masa lalu yang kelam tidak terulang. Salah satu wujudnya adalah dengan diadakannya perayaan Grebeg Sudiro yang mulai ada tahun 2007 untuk memperingati hari raya Imlek. Tradisi ini diciptakan oleh warga Sudiroprajan yaitu Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya. Waktu itu, mereka bertiga berkumpul di Pasar Gedhe dan secara tidak sengaja muncullah ide untuk membuat tradisi untuk mengangkat nama Sudiroprajan agar dikenal masyarakat luas. Usul mereka pun mendapat persetujuan dari Kepala Desa Sudiroprajan, dan dapat dukungan dari para tokoh masyarakat dan para budayawan sehingga acara itu dapat diselenggarakan dengan lancar sampai sekarang. Prosesi upacara tradisi tersebut meliputi persiapan material maupun spiritual. Malam hari sebelum acara puncak berlangsung, diadakan ritual sedekah bumi berupa arak-arakan menyusuri kampung-kampung dengan iringan musik dan tarian tradisional yang diakhiri dengan doa demi keselamatan bangsa dan makan bersama. Pada hari berikutnya, acara puncak digelar dengan menyelenggarakan kirab budaya kesenian tradisional yang mengiringi arak-arakan gunungan kue keranjang makanan khas Imlek. Tradisi itu kemudian diakhiri dengan rebutan kue keranjang oleh warga yang hadir. Ada 4.000 buah kue keranjang yang disiapkan untuk diperebutkan penonton yang dipercaya bisa membawa berkah. Rangkaian perayaan juga diisi berbagai kemeriahan, mulai dari bazar kuliner, bazar produk kreatif, pertunjukan seni dan budaya, karnaval budaya, hingga perahu wisata. Grebeg Sudiro semakin meriah dengan ribuan lampion yang menghiasi kawasan Kota Lama Solo, mulai dari Gladak, Balai Kota, hingga Pasar Gede.
Yuk kenali lebih dalam hal-hal tradisional di sekitar kita. Karena kalau bukan kita yang bangga dan melestarikan budaya dan kekhasan daerah kita, siapa lagi?
Referensi:
https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-grebeg-sudiro-bentuk-akulturasi-budaya-tionghoa-dan-jawa-di-kota-solo.html
https://bob.kemenparekraf.go.id/en/2130-grebeg-sudiro-2020/
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan